BENTENGSUMBAR. COM - Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono ( AHY) mengkritik Jusuf Kalla yang masih berniat untuk menjadi wakil presiden untuk ketiga kalinya.
Dia menilai, aturan yang membatasi presiden dan wakil presiden hanya bisa menjabat dua kali sudah tepat untuk mencegah terjadinya kekuasaan yang tanpa batas.
"Jika kepemimpinan yang berlangung terlalu lama bisa saja terjadi penurunan dalam peforma, termasuk juga dalam integritas dan sebagainya," kata AHY dalam silaturahmi dengan media di Jakarta, Sabtu, 21 Juli 2018.
AHY mengatakan, pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden tak hanya ada di Indonesia, tapi juga negara lain yang menganut prinsip demokrasi. Di Amerika Serikat, misalnya, jabatan presiden dan wapres dibatasi hanya empat tahun untuk dua kali masa jabatan.
"Tentu ada yang berpendapat kalau masih oke kenapa tidak dilanjutkan. Tetapi, juga harus dimaknai keniscayaan sebuah bangsa adalah terjadinya regenerasi yang diciptakan dengan matang," katanya.
AHY pun mengutip perkataan founding fathers Bung Hatta. Menurut AHY, Wakil Presiden pertama RI itu pernah menyatakan bahwa pemimpin terbaik adalah yang menyiapkan penggantinya.
"Ingat setiap zaman membutuhkan pemimpinnya sendiri, oleh karena itu saya lebih cenderung marilah sebagai bangsa lebih banyak berpikir bagaimana melakukan regenerasi yang baik, bagaimana melakukan penyiapan terhadap generasi penerus kita," ucap dia.
Dijadikan Komoditas Politik
Sebelumnya, AHY mengungkapkan dirinya selalu dijadikan komoditas politik lantaran kerap dipasang-pasangkan dengan beberapa tokoh jelang pemilu presiden 2019 ini.
AHY pernah dipasangkan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia diisukan bakal menjadi calon wakil presiden mendampingi JK di Pilpres 2019 akibat pertemuan Wapres dengan Susilo Bambang Yudhoyono.
Selanjutnya, AHY diisukan dipasangkan dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Namanya juga sejak awal disebut-sebut sebagai cawapres besutan partai itu.
"AHY selalu dijadikan objek atau komoditas dalam politik, dipasangkan seperti terjual sana sini," ujar AHY di acara halal bihalal bersama media di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta, Jumat, 20 Juli 2018.
Padahal, menurut AHY, ia sering berkomunikasi aktif dengan para tokoh dan elite partai. Hanya saja, dia tidak membeberkan pertemuannya kepada khalayak umum.
"Tentu tidak selamanya ada di media, banyak yang di belakang layar karena bagi saya ini membangun chemistry, tidak selalu menggunakan corong," ujarnya.
Demokrat Tidak Plin-Plan
Selain itu, AHY juga menyebut hingga kini partainya masih belum menentukan sikap. Menurutnya, perpolitikan jelang Pemilihan Presiden 2019 masih belum jelas dan banyak kemungkinan yang bisa terjadi.
AHY bahkan mengibaratkan situasi politik saat ini layaknya kabut tebal dalam peperangan. Ia mengatakan dalam kondisi di dalam kabut seperti itu prajurit akan kesulitan dalam menyerang maupun bertahan.
"Kalau masih tebal itu akan mempersulit pasukan yang menyerang atau pasukan yang bertahan. Dalam politik juga serupa, setiap parpol atau elite politik memegang tiket, masih memegang kartunya rapat-rapat," ujarnya.
Atas dasar itu, Demokrat sampai saat ini masih belum menentukan sikap atau masih di tengah. Namun, sikap itu, kata AHY, bukan berarti partainya plin-plan.
"Kalau ada yang mengatakan Demokrat kok plin-plan atau kanan kiri oke itu keliru, karena di tengah pun adalah posisi yang menurut kami baik dan rasional," katanya.
Calon Alternatif Baru
AHY pun menambahkan jika saat ini rakyat bisa saja menantikan hadirnya calon alternatif baru, ataupun poros ketiga selain Prabowo dan Jokowi.
"Rasa-rasanya rakyat kita yang besar itu punya hak-hak untuk menantikan hadirnya calon alternatif," kata AHY.
Menurut Agus, hal ini terlihat dari berbagai survei yang menunjukkan sekitar 40 persen belum menentukan pilihan.
Namun, syarat ambang batas yang mengatur jika partai politik harus mengantongi 20 persen kursi di legislatif menjadi hal yang tidak bisa dihindari ketika ingin mencalonkan presiden baru.
Sedangkan Demokrat hanya mengantongi 10 persen suara.
"Demokrat sendiri hanya mengantongi 10 persen suara. Itulah kenapa elite politik, tokoh politik, membangun komunikasi. Kita lakukan komunikasi politik dengan semua elemen," kata dia.
Tiga Opsi Demokrat
AHY mengatakan, dengan realitas tersebut, ada tiga opsi yang bisa diambil Demokrat dalam menghadapi pilpres 2019.
Anak dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini pun mengatakan jika saat ini semua partai politik memegang kartu rapat-rapat agar mempersulit kubu yang menyerang.
"Kalau kabutnya tebal akan mempersulit pasukan yang menyerang atau bertahan. Dalam politik juga serupa. Semua parpol atau tokoh politik pemegang tiket itu memegang kartunya rapat-rapat," tambah AHY.
(Sumber: kompas.com/cnnindonesia.com/tribunnews.com)
Dia menilai, aturan yang membatasi presiden dan wakil presiden hanya bisa menjabat dua kali sudah tepat untuk mencegah terjadinya kekuasaan yang tanpa batas.
"Jika kepemimpinan yang berlangung terlalu lama bisa saja terjadi penurunan dalam peforma, termasuk juga dalam integritas dan sebagainya," kata AHY dalam silaturahmi dengan media di Jakarta, Sabtu, 21 Juli 2018.
AHY mengatakan, pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden tak hanya ada di Indonesia, tapi juga negara lain yang menganut prinsip demokrasi. Di Amerika Serikat, misalnya, jabatan presiden dan wapres dibatasi hanya empat tahun untuk dua kali masa jabatan.
"Tentu ada yang berpendapat kalau masih oke kenapa tidak dilanjutkan. Tetapi, juga harus dimaknai keniscayaan sebuah bangsa adalah terjadinya regenerasi yang diciptakan dengan matang," katanya.
AHY pun mengutip perkataan founding fathers Bung Hatta. Menurut AHY, Wakil Presiden pertama RI itu pernah menyatakan bahwa pemimpin terbaik adalah yang menyiapkan penggantinya.
"Ingat setiap zaman membutuhkan pemimpinnya sendiri, oleh karena itu saya lebih cenderung marilah sebagai bangsa lebih banyak berpikir bagaimana melakukan regenerasi yang baik, bagaimana melakukan penyiapan terhadap generasi penerus kita," ucap dia.
Dijadikan Komoditas Politik
Sebelumnya, AHY mengungkapkan dirinya selalu dijadikan komoditas politik lantaran kerap dipasang-pasangkan dengan beberapa tokoh jelang pemilu presiden 2019 ini.
AHY pernah dipasangkan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia diisukan bakal menjadi calon wakil presiden mendampingi JK di Pilpres 2019 akibat pertemuan Wapres dengan Susilo Bambang Yudhoyono.
Selanjutnya, AHY diisukan dipasangkan dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Namanya juga sejak awal disebut-sebut sebagai cawapres besutan partai itu.
"AHY selalu dijadikan objek atau komoditas dalam politik, dipasangkan seperti terjual sana sini," ujar AHY di acara halal bihalal bersama media di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta, Jumat, 20 Juli 2018.
Padahal, menurut AHY, ia sering berkomunikasi aktif dengan para tokoh dan elite partai. Hanya saja, dia tidak membeberkan pertemuannya kepada khalayak umum.
"Tentu tidak selamanya ada di media, banyak yang di belakang layar karena bagi saya ini membangun chemistry, tidak selalu menggunakan corong," ujarnya.
Demokrat Tidak Plin-Plan
Selain itu, AHY juga menyebut hingga kini partainya masih belum menentukan sikap. Menurutnya, perpolitikan jelang Pemilihan Presiden 2019 masih belum jelas dan banyak kemungkinan yang bisa terjadi.
AHY bahkan mengibaratkan situasi politik saat ini layaknya kabut tebal dalam peperangan. Ia mengatakan dalam kondisi di dalam kabut seperti itu prajurit akan kesulitan dalam menyerang maupun bertahan.
"Kalau masih tebal itu akan mempersulit pasukan yang menyerang atau pasukan yang bertahan. Dalam politik juga serupa, setiap parpol atau elite politik memegang tiket, masih memegang kartunya rapat-rapat," ujarnya.
Atas dasar itu, Demokrat sampai saat ini masih belum menentukan sikap atau masih di tengah. Namun, sikap itu, kata AHY, bukan berarti partainya plin-plan.
"Kalau ada yang mengatakan Demokrat kok plin-plan atau kanan kiri oke itu keliru, karena di tengah pun adalah posisi yang menurut kami baik dan rasional," katanya.
Calon Alternatif Baru
AHY pun menambahkan jika saat ini rakyat bisa saja menantikan hadirnya calon alternatif baru, ataupun poros ketiga selain Prabowo dan Jokowi.
"Rasa-rasanya rakyat kita yang besar itu punya hak-hak untuk menantikan hadirnya calon alternatif," kata AHY.
Menurut Agus, hal ini terlihat dari berbagai survei yang menunjukkan sekitar 40 persen belum menentukan pilihan.
Namun, syarat ambang batas yang mengatur jika partai politik harus mengantongi 20 persen kursi di legislatif menjadi hal yang tidak bisa dihindari ketika ingin mencalonkan presiden baru.
Sedangkan Demokrat hanya mengantongi 10 persen suara.
"Demokrat sendiri hanya mengantongi 10 persen suara. Itulah kenapa elite politik, tokoh politik, membangun komunikasi. Kita lakukan komunikasi politik dengan semua elemen," kata dia.
Tiga Opsi Demokrat
AHY mengatakan, dengan realitas tersebut, ada tiga opsi yang bisa diambil Demokrat dalam menghadapi pilpres 2019.
Anak dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini pun mengatakan jika saat ini semua partai politik memegang kartu rapat-rapat agar mempersulit kubu yang menyerang.
"Kalau kabutnya tebal akan mempersulit pasukan yang menyerang atau bertahan. Dalam politik juga serupa. Semua parpol atau tokoh politik pemegang tiket itu memegang kartunya rapat-rapat," tambah AHY.
(Sumber: kompas.com/cnnindonesia.com/tribunnews.com)
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »