Indonesia Akan Izinkan Komisi HAM PBB Sambangi Papua

Indonesia Akan Izinkan Komisi HAM PBB Sambangi Papua
BENTENGSUMBAR. COM -  Indonesia dikabarkan mengizinkan Komisi Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) untuk memantau situasi kemanusiaan di Papua. Hal ini diakui Komisi Tinggi untuk HAM, Michelle Bachelet, setelah berkoordinasi dengan pemerintah.

Pemerintah Indonesia menyetujui desakan Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) untuk membuka akses bagi tim pemantau ke Kabupaten Nduga, Papua. Tuntutan OHCHR dilayangkan menyusul penyerahan petisi berisi 1,8 juta tandatangan oleh organisasi pembebasan papua, United Liberation Movement of West Papua (ULMWP), Jumat, 25 Januari 2019 silam.

Sikap Indonesia dipastikan oleh Komisioner OHCHR, Michelle Bachelet, kepada harian Inggris The Guardian pada Rabu, 30 Januari 2019. Seperti yang dilaporkan, Bachelet sudah berkomunikasi dengan pemerintah Indonesia ihwal "situasi hak asasi manusia" di Papua Barat. Dia lalu meminta akses menuju kawasan konflik di Nduga.

"Secara prinsip Indonesia setuju untuk mengizinkan kantor komisi mengakses Papua dan kami sedang menunggu konfirmasi dari pemerintah Indonesia," kata Juru Bicara OHCHR, Ravina Shamdasandi, kepada The Guardian. Dia sebelumnya sempat menuding kebijakan pemerintah Indonesia tidak mengatasi akar masalah separatisme di Papua.

Pekan lalu Presiden ULMWP, Benny Wenda, menumpang sesi pertemuan antara OHCHR dan Vanuatu buat menyerahkan petisi kemerdekaan Papua Barat berisikan 1,8 juta tandatangan. Shamdasandi mengatakan kehadiran Benny tidak dijadwalkan sebelumnya.

Atas dasar itu pemerintah mengecam Vanuatu yang dinilai "melakukan langkah manipulatif melalui penyusupan Benny Wenda ke dalam delegasi Vanuatu," tulis Perwakilan Tetap RI di PBB lewat pada Selasa, 29 Januari 2019 lewat laman internetnya. Menurut PTRI, pihak OHCHR "sangat terkejut" atas kehadiran perwakilan ULMWP.

Benny mengaku sempat kesulitan mengumpulkan tanda tangan lantaran laman petisi di internet diblokir pemerintah Indonesia. Akhirnya dokumen petisi tersebut "diselundupkan dari satu ujung ke ujung lain Papua," kisahnya kepada Guardian.

Wenda mengklaim penduduk Papua Barat tidak menikmati kebebasan berpendapat atau berkumpul, seperti yang dimiliki penduduk Indonesia lainnya. Petisi itu pun menjadi satu-satunya jalan untuk mengundang perhatian," kata dia. "Beratnya mencapai 40 kg. Ini seperti buku paling besar di dunia."

Sebanyak dua pertiga penduduk Papua yang berjumlah 2.5 juta orang diklaim ikut mendukung langkah tersebut.

Dia sempat berbicara dengan Bachelet untuk membahas situasi di Kabupaten Nduga yang sejauh ini telah menewaskan 11 penduduk dan memaksa sebagian lain untuk mengungsi menyusul operasi militer TNI dan Polri. Menurut ULMWP, sebanyak 22.000 orang melarikan diri ke hutan dan gunung buat mencari perlindungan.

Klaim itu dibantah TNI. Juru Bicara Kodam XVII Cendrawasih, Kolonel Inf. Muhammad Aidi, menilai tudingan Wenda tidak beralasan. Menurutnya narasi yang digunakan ULMWP bertentangan dengan fakta di lapangan. "Dia tidak bisa menunjukkan bukti dari yang dituduhkan," kata dia kepada Reuters. "Justru Organisasi Papua Merdeka yang membunuh warga sipil tak berdosa."

Aidi merujuk pada peristiwa pembunuhan 16 pekerja konstruksi dan serdadu yang membantu peroyek pembangunan jalan dan jembatan di kabupaten Nduga. OPM berkilah para pekerja merupakan serdadu yang menyamar dan sebabnya tidak tergolong penduduk sipil.

Sebagai buntut TNI dan Polri menggelar operasi militer dalam skala besar. Aparat antara lain dituding menggunakan bom fosfor terhadap warga sipil, sesuatu yang sudah dibantah oleh TNI dan pemerintah Indonesia. Gubernur Papua, Lukas Enembe, sempat mendesak pemerintah agar menghentikan operasi militer lantaran penduduk mengalami trauma. TNI menolak permohonan tersebut.

(Source: jawapos.com)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »