BENTENGSUMBAR.COM - Beberapa hari belakangan publik Indonesia dihebohkan dengan penggunaan mata uang Dinar dan Dirham di Pasar Muamalah Depok, tepatnya di Kelurahan Tanah Baru, Depok, Jawa Barat.
Berdasarkan hukum Syari'ah Islam, dinar adalah uang emas murni yang memiliki berat 1 mitsqal atau setara dengan 1/7 troy ounce yang berpedoman pada Open Mithqal Standard (OMS). Sedangkan dirham, berdasarkan ketentuan OMS, memiliki kadar perak murni dengan berat 1/10 troy ounce.
OMS adalah standar untuk menentukan berat dan ukuran dinar dan dirham modern. Standar ini juga dikenal sebagai standar Nabawi karena berusaha untuk menduplikasi koin dinar dan dirham yang digunakan di zaman awal perkembangan Islam.
Pasar Muamalah di Depok yang menggunakan mata uang Dinar dan Dirham ini hanya dibuka dua minggu sekali, mulai pukul 7 pagi hingga pukul 11 siang.
Selain dengan mata uang Dinar dan Dirham, pasar ini juga menerapkan sistem syariat Islam dalam bertransaksi. Jika pembeli tidak memiliki uang, maka bisa melakukan pertukaran barang atau barter.
Ulama asal Sumatera Utara Ustad Tengku Zulkarnain melalui cuitannya di twitter menegaskan, jual beli boleh dengan sistem barter atau tukar menukar.
Menurutnya, jual beli boleh memakai mata uang, boleh juga memakai emas (Dinar) dan perak (Dirham). Sebab, prinsip jual beli adalah ridho sama ridho.
Ustad Tengku Zulkarnain menegaskan, darimana jalannya orang jual beli memakai alat tukar emas dan perak kemudian dituduh anti NKRI.
"Jual beli itu boleh dgn sistem barter, tukar menukar. Boleh pakai mata uang.
Boleh pakai emas(dinar) atau dirham(perak). Prinsip jual beli itu ridho sama ridho. Darimana jalannya org jual beli pakai alat tukar emas/perak kemudian dituduh anti NKRI. Sedangkan pakai Kartu Boleh?" cuitnya melalui akun twitter @ustadtengkuzul, dikutip BentengSumbar.com, Sabtu, 30 Januari 2021.
Sanksi Pidana
Meski demikian, penggunaan mata uang Dinar dan Dirham dalam wilayah negara RI melanggar hukum.
Bank Indonesia (BI) menegaskan setiap orang yang tidak menggunakan rupiah dalam bertransaksi dapat dijatuhi sanksi pidana kurungan atau penjara paling lama satu tahun. Selain itu, orang tersebut dibebankan denda maksimal Rp200 juta.
Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menuturkan ketentuan itu tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Ia menuturkan Pasal 21 UU tentang Mata Uang menyebutkan rupiah wajib digunakan dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan transaksi keuangan lainnya.
"Dengan demikian kalau ada transaksi menggunakan denominasi non rupiah melanggar Pasal 21 UU tentang Mata Uang, dengan sanksi pidana kurungan paling lama satu tahun dan pidana denda paling banyak Rp200 juta," ujarnya, Kamis, 28 Januari 2021.
Sanksi tersebut diatur dalam Pasal 33 UU tentang Mata Uang. Disebutkan apabila setiap orang yang tidak menggunakan rupiah dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan transaksi keuangan lainnya maka dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan pidana denda paling banyak Rp200 juta.
"Kalau ada yang menolak untuk menerima rupiah yang dimaksudkan untuk pembayaran juga dikenakan sanksi pidana yang sama," imbuhnya.
(by)
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »