Mengenal Siti Baroroh Baried, Profesor Perempuan Pertama di Indonesia

Mengenal Siti Baroroh Baried, Profesor Perempuan Pertama di Indonesia
BENTENGSUMBAR.COM - Saat ini, perempuan menjadi profesor sudah tak aneh lagi. Jumlah profesor perempuan di Indonesia dari tahun ke tahun semakin banyak. Namun, berbeda halnya pada tahun 1950-1960an. Saat itu, belum ada profesor perempuan satu pun di Indonesia.


Profesor perempuan pertama di Indonesia baru ada pada 1964. Siapakah dia? Perempuan pandai itu bernama Siti Baroroh Baried. Pada usia 39 tahun, ia mencatat sejarah sebagai guru besar perempuan pertama di Indonesia. Siti merupakan Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM).


Sebelum menjadi Guru Besar, ia menempuh pendidikan di Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia. Siti juga pernah berkuliah di Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Dia berhasil membuktikan bahwa perempuan bisa menempuh pendidikan setinggi-tingginya di mana pun seperti halnya laki-laki. Pada saat itu, belum banyak perempuan yang berani kuliah ke luar negeri karena masih terbawa stigma “buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi, nanti juga ujung-ujungnya ke dapur”.


Setelah menjadi profesor, Siti yang merupakan pakar bahasa juga pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra UGM selama dua periode (1965-1968 dan 1968-1971) dan Ketua Jurusan Asia Barat Fakultas Sastra UGM periode 1963-1975. Selain itu, ia juga aktif mengelola penerbitan Majalah Suara ‘Aisyiyah.


Siti memang masih memiliki hubungan kerabat dekat dengan Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan, pendiri Aisyiyah. Ayahnya, H. Tamim bin Dja’far, merupakan keponakan dari Nyai Ahmad Dahlan. Siti pun lahir di Kauman, daerah tempat K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 1912.


Tumbuh besar di Kauman menjadikan Siti sebagai kader Aisyiyah sejati. Ia merintis perannya di organisasi ini mulai dari jenjang paling bawah hingga menjadi ketua umum. Tak tanggung-tanggung, Siti menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah terlama, yaitu selama lima periode berturut-turut alias 20 tahun. Lagi-lagi dia menuliskan sejarah sebagai perempuan pertama yang menjadi anggota PP Muhammadiyah. 


Di bawah kepemimpinannya, nama organisasi Aisyiyah mulai dikenal di mancanegara. Siti rajin mengenalkan Aisyiyah ke forum-forum global sekaligus menjalin relasi dengan organisasi-organisasi internasional. Contohnya, UNICEF, UNESCO, WHO, UNFPA, UNDP, dan World Bank. Lebih lanjut, istri dari Baried Ishom tersebut juga pernah mengenalkan Aisyiyah di lembaga pendidikan internasional. Ia pernah membawakan presentasi tentang “Aisyiyah and The Social Change Woman of The Indonesia” dalam seminar di Harvard University, Amerika Serikat.


Berkat upaya Siti tersebut, mulai banyak orang asing yang tertarik mempelajari Aisyiyah. Tidak sedikit peneliti dan akademisi dari berbagai perguruan tinggi di dunia yang meneliti tentang organisasi perempuan Indonesia yang aktif di bidang keagamaan dan kemasyarakatan itu.


Memperjuangkan emansipasi sesuai syariat agama


Sebagai seorang akademisi, Siti memiliki kepedulian tinggi akan pendidikan. Memperjuangkan hak pendidikan bagi perempuan pun menjadi prioritas utamanya saat memimpin Aisyiyah. Bagi Siti, perempuan berhak mendapat pendidikan guna meningkatkan harkat dan martabat. Ia juga percaya perempuan harus mengenyam pendidikan sejak usia dini.


Kepedulian Siti akan pendidikan perempuan itu ia tunjukkan melalui pengembangan berbagai lembaga pendidikan. Selama memimpin Aisyiyah, ia pernah mengembangkan Taman Kanak-Kanak (TK) Aisyiyah atau Aisyiyah Bustanul Athfal (ABA), sekolah-sekolah menengah, sekolah kejuruan kebidanan dan keperawatan, serta pendidikan tinggi.


Berkat rintisan Siti, Aisyiyah kini mengelola sekitar 4.500 amal usaha di bidang pendidikan. Mulai dari tempat penitipan anak, kelompok bermain, pendidikan untuk anak usia dini, hingga sekolah tinggi. Selain itu, Aisyiyah juga memiliki berbagai amal usaha lain di bidang kesehatan, sosial, ekonomi, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat.


Siti berharap melalui berbagai lembaga pendidikan tersebut para perempuan bisa memiliki pendidikan yang setara, bahkan melampaui, laki-laki. Dirinya pun mendukung para perempuan membangun karier di luar rumah. Walaupun begitu, Siti menekankan perempuan tetap harus ingat akan kodratnya sebagai perempuan. Baginya, emansipasi yang tepat adalah ketika perempuan dapat mengembangkan dirinya sembari tetap mempertahankan kodratnya sebagai perempuan sesuai perintah Al-Quran.


Menurut Siti, perempuan yang berkarier di luar rumah harus tetap ingat dan menjalankan tanggung jawab mereka sebagai seorang ibu dan istri di rumah. Selain itu, perempuan juga harus memiliki batasan-batasan tertentu agar tidak ‘kebablasan’ saat membangun karier. Misalnya, pergi harus seizin suami serta tidak menelantarkan pendidikan dan perhatian untuk anak-anaknya. Siti sendiri pun tidak pernah melupakan tugas dan perannya sebagai seorang istri dan ibu meski sudah menjadi pemimpin di berbagai organisasi.


Siti tetap aktif di Aisyiyah hingga akhir hayatnya. Ketika wafat pada usia 74 tahun, ia masih menjabat sebagai penasihat PP Aisyiyah dan Pemimpin Umum Majalah Suara Aisyiyah. Perjuangan Siti dalam emansipasi wanita kini dilanjutkan oleh penerus-penerusnya.


(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »