Sosok Mama Aleta, Sang Pelestari Lingkungan dan Pejuang Hak Perempuan

Sosok Mama Aleta, Sang Pelestari Lingkungan dan Pejuang Hak Perempuan
KERUSAKAN lingkungan memberikan dampak buruk bagi semua orang. Mulai dari banjir, global warming, hingga muncul berbagai macam penyakit. Salah satu penyebab kerusakan lingkungan adalah pembangunan tambang yang mengorbankan kawasan alam di daerah yang seharusnya bisa dipakai untuk penghijauan, beternak atau mencari sumber air masyarakat sekitar.


Karena itu, tak mengherankan bila banyak warga lokal yang menolak pembangunan kawasan tambang di daerah mereka. Namun, sering kali warga tak berani menyuarakan penolakan mereka karena takut terhadap tekanan dari pihak yang berkuasa. Berbeda halnya dengan Aleta Baun atau biasa dipanggil Mama Aleta.


Perempuan asal Tanah Mollo, Timor Tengah Selatan (TTS) ini, berani menyatakan perlawanannya terhadap pembangunan tambang di Kawasan Gunung Mutis yang merupakan gunung tertinggi di bagian barat Pulau Timor. Dahulu kala, Kawasan Gunung Mutis menjadi tempat warga sekitar menggembalakan ternak mereka. Ada pula yang berkebun dan membuka ladang. Selain itu, tempat ini juga menjadi daerah tangkapan air untuk memenuhi kebutuhan air sebagian besar masyarakat Timor.


Kebiasaan itu terus berlanjut hingga akhirnya harus terhenti pada 1995 karena ada dua perusahaan marmer yang masuk ke sana. Warga tak boleh lagi melakukan aktivitasnya seperti dulu. Kawasan Gunung Mutis dipagar agar warga tak bisa masuk dan situs ritual adat dirusak. Parahnya lagi, Gunung Batu keramat Anjaf dan Nausus yang merupakan bagian dari Kawasan Gunung Mutis dibelah oleh granat.


Melihat hal tersebut, Mama Aleta tak bisa tinggal diam. Berbagai cara ia lakukan untuk melawan. Misalnya, menghidupkan ritual-ritual adat, membuat tim intel untuk kampung, konsolidasi untuk melakukan demonstrasi, dan menduduki kantor Bupati. Mama Aleta pun banyak mendapat ancaman hampir setiap minggu karena tindakan protesnya tersebut.


Namun, ia tidak menyerah. Mama Aleta mencoba jalan lain dengan mengajak 150 perempuan untuk menenun di celah-celah gunung batu yang hendak ditambang. Kegiatan ini mereka lakukan selama setahun. Akhirnya, perjuangan mereka tak sia-sia. Perusahaan tambang tak lagi bisa melanjutkan aktivitasnya dan pergi dari sana.


Mama Aleta pernah menyatakan bahwa perjuangannya adalah sebuah perjuangan yang sangat panjang, tepatnya sejak 1995-2012. Ia mengakui ada rasa lelah atau pun stres. Banyak tantangan, tetapi ia dan rekan seperjuangannya menemukan strategi baru untuk menang. Aksi mereka adalah perjuangan damai. Setelah 17 tahun, akhirnya masyarakat mendapat kembali hak-hak adat mereka terhadap hutan seluas 12.000 hektar.


Setelah itu, Mama Aleta bersama warga lainnya bekerja sama memulihkan kembali lahan yang rusak. Mulai dari penanaman pohon, memperluas hutan, dan melindungi mata air. Warga pun bisa kembali memanfaatkan kawasan itu untuk berkarya dan melakukan aktivitas ekonomi. Mereka membentuk kelompok perempuan penenun, pertanian organik, dan peternak.


Mama Aleta Fund


Perjuangan Mama Aleta dalam melestarikan lingkungan membawanya ke peraihan penghargaan Lingkungan Hidup, Goldman Environmental Award 2013 di San Fransisco, Amerika Serikat. Mama Aleta berencana untuk memanfaatkan uang yang ia dapat dari penghargaan ini untuk membantu para perempuan di daerah timur Indonesia. Perempuan yang juga memiliki kepedulian tinggi akan pelestarian alam seperti dirinya.


Menurut Aleta, pihak yang paling terdampak dari kerusakan lingkungan adalah perempuan. Sebab, perempuan memiliki kedekatan dengan alam dan banyak berhubungan dengan alam saat mengurus rumah tangga. 


Dalam sebuah wawancara, Mama Aleta menyatakan bahwa kerusakan lingkungan dan perubahan iklim memberikan kesulitan paling utama pada perempuan karena mereka yang mengurus pangan, konsumsi, juga kedekatan dengan alam, hutan, dan air.


Dengan dibantu oleh Samdhana Institute, Mama Aleta mendirikan Mama Aleta Fund (MAF). Melalui MAF, dirinya ingin mendukung dan pendanaan bagi perempuan, serta mempromosikan kepemimpinan perempuan. Khususnya, perempuan di bagian timur Indonesia. 


Menurutnya, bagian Barat Indonesia sudah lama hancur, maka masyarakat sebaiknya turut serta selamatkan bagian timur, apalagi di Timur banyak kekeringan yang terjadi, kemiskinan, tenaga kerja wanita ke luar negeri. Ia merasa harus menyelamatkan ruang hidup yang juga berujung ke penyelamatan pangan.


Tak berhenti di situ, Mama Aleta meneruskan perjuangannya melawan pembangunan kawasan tambang untuk penyelamatan lingkungan dengan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nusa Tenggara Timur periode 2014-2019. Dirinya bertekad untuk selalu menjaga keutuhan lingkungan.


Ia mengatakan akan terus menjaga keutuhan lingkungan karena masyarakat adat di Nusa Tenggara Timur adalah masyarakat petani yang selama ini bersentuhan langsung dengan kekayaan alam. Mama Aleta menyatakan, lingkungan harus hijau dalam arti ketika musim hujan ada sumber air, maka harus di manfaatkan untuk menanam pepohonan dan Bertani.


Dirinya akan mendorong pembuatan Peraturan Daerah perlindungan bagi masyarakat adat. Selain itu, ia mengajak masyarakat untuk selalu merefleksikan diri dengan menyalahkan diri sendiri sebelum menyalahkan alam setiap terjadi bencana alam.


*Penulis: Anya Putri

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »