Pemerintah Hapus Data Kematian, Data Kematian Ngaco, Malah Dihilangkan

Pemerintah Hapus Data Kematian, Data Kematian Ngaco, Malah Dihilangkan
BENTENGSUMBAR.COM - Keputusan pemerintah untuk menghapus data kematian pasien corona dari indikator penanganan COVID-19 dinilai “ngaco” oleh ahli epidemiologi. Pemerintah didesak untuk memperbaiki data kematian pasien corona, alih-alih menghapusnya dari indikator evaluasi penanganan.


Kritik ini bermula ketika Koordinator PPKM Jawa-Bali, Luhut Binsar Pandjaitan, mengakui, pihaknya telah menghapus angka kematian pasien corona dari indikator penanganan COVID-19. Dia menjelaskan, keputusan itu diambil,  karena data kematian pasien corona memiliki masalah input hingga bisa menimbulkan distorsi penilaian.


"Evaluasi tersebut kami lakukan dengan mengeluarkan indikator kematian dalam penilaian karena kami temukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang sehingga menimbulkan distorsi dalam penilaian," kata Luhut dalam konferensi pers virtual, Senin, 9 Agustus 2021 malam.


Pengakuan Luhut ini muncul tatkala pemerintah melonggarkan level PPKM di 26 kabupaten/kota dari Level 4 menjadi Level 3 pada 10 hingga 16 Agustus 2021. Luhut mengatakan, pelonggaran level PPKM di 26 kabupaten/kota tersebut “melanjutkan perbaikan kondisi di lapangan yang cukup signifikan.”


Meski demikian, kematian akibat COVID-19 di Indonesia masih yang tertinggi di dunia dalam sepekan terakhir dan konsisten di atas 1.000 per hari. Luhut menyebut, diakibatkan oleh adanya kesalahan pada saat memasukkan data kematian. Sehingga keputusan selanjutnya yakni dengan meniadakan angka kematian dari indikator penanganan COVID-19.


Keputusan tersebut disebut “ngaco” oleh ahli epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono. Jika pemerintah , katanya, punya masalah input data kematian. Hingga menimbulkan akumulasi data yang bisa mendistorsi penilaian, mestinya yang dilakukan adalah perbaikan data, bukan indikatornya yang dihapus.


Ngaco. Semua indikator itu dikembangkan melalui suatu proses. Kalau tidak bisa diinterpretasikan, bukan berarti dihapus.- Pandu Riono, ahli epidemiologi Universitas Indonesia -


“Yang menjadi pertanyaan, kalau masalahnya di data, datanya diperbaiki. Bukan indikatornya yang dihapus. Itu cara berpikir yang salah," katanya seperti dikutip kumparanSAINS, Selasa, 10 Agustus 2021.


Kalau kita tidak tahu kematian, apa yang terjadi? Bagaimanapun juga indikator ini mengindikasikan suatu fenomena. Kalau kematiannya masih tinggi, itu artinya ada suatu masalah yang mesti diatasi.”


Senada dengan Pandu, epidemiolog dari Universitas Griffith Dicky Budiman juga menilai bahwa pemerintah tak bisa menjadikan alasan sengkarut data sebagai dalih menghapus data kematian dari indikator evaluasi.


Dicky menjelaskan, indikator wajib dalam pengendalian pandemi itu ada indikator awal dan indikator akhir. Indikator awal termasuk kasus harian, test positivity rate, angka reproduksi. Selain itu, ada pula indikator akhir yang mencakup keterhunian rumah sakit dan data kematian.


“Dampaknya sangat serius, ya. Artinya, kita menjadi buta terhadap situasi. Karena indikator kematian adalah indikator wajib dalam memantau,” ucap Dicky kepada kumparanSAINS, Selasa, 10 Agustus 2021, menanggapi keputusan pemerintah menghapus data kematian sebagai indikator evaluasi penanganan.


“Kalau tidak ada, ya kita kehilangan (arah). Seperti mobil kehilangan kaca spion. Kita enggak bisa melihat kebelakang. Dan ini berbahaya banget.”


Hingga kini, tidak jelas apakah pemerintah akan tetap menghapus data kematian dari indikator penanganan pandemi untuk evaluasi PPKM pada tanggal 16 Agustus nanti. Sebelumnya, data kematian merupakan salah satu indikator penetapan level PPKM.


Perlu dicatat, apa yang dipermasalahkan para ahli adalah tidak dimasukkannya data kematian pasien corona dalam evaluasi penanganan pandemi di Indonesia. Bagaimanapun, data kematian corona masih di-update secara berkala oleh pemerintah.


Dicky menegaskan, pemerintah perlu memperbaiki input data ketimbang menghapus indikator kematian. Sebab, indikator kematian merupakan salah satu indikator wajib dalam evaluasi penanganan.


“Kalau alasannya adalah masalah sengkarut data, ya tidak bisa,” ujar Dicky. “Bukan menjadi alasan kita hilangkan, tapi harus kita perbaiki. Data itu begitu. Kalau kita punya masalah kan, bukan dihindari, tetapi diperbaiki.”


Laporan: Reko Suroko

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »