Sepak Terjang Pamong Praja, dari Masa Penjajahan Kolonial Belanda, Era Kemerdekaan, hingga Pandemi Covid-19

PADA Rabu, 8 September 2021 merupakan Hari Pamong Praja ke-71. Tapi, sejarah Pamong Praja sebenarnya sudah tercatat sebelum zaman kemerdekaan. Ketika itu, Pamong Praja masih berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda.

Kala itu, Pamong Praja masih dikenal dengan nama Pangreh Praja. Dikutip dari situs web Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Pangreh Praja pada zaman penjajahan Belanda memiliki konotasi negatif.

Pangreh Praja di era Pemerintahan kolonial Belanda justru dianggap pengkhianat bangsa. Hal ini akibat latar belakang mereka yang bertugas di bawah komando Belanda dan menjadi alat bagi penjajah.

Profesi sebagai Pangreh Praja lebih dikenal sebagai penindas rakyat juga alat untuk melaksanakan mengeksploitasi kekayaan alam Ibu Pertiwi. Lalu pada zaman setelah kemerdekaan, Pangreh Praja masih tetap menjalankan tugas-tugas pemerintahan.

Yang berbeda, mereka tidak bekerja untuk penjajah lagi, tapi demi kepentingan bangsa Indonesia. Agar citra negatif Pangreh Praja di era penjajahan berubah, namanya pun ikut diubah menjadi Pamong Praja.

Pangreh Praja bersifat mengendalikan dan memperdaya rakyat, sedangkan Pamong Praja bersifat mengayomi, membimbing, membina, mengarahkan, memberdayakan, memberi semangat atau motivasi, serta harus bekerja dengan prinsip tanpa pamrih.

Upaya mengembalikan citra Pamong Praja pun kemudian diperkuat dengan pendirian lembaga pendidikan kepamongprajaan, yakni Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN).

Ketika itu, hampir di setiap provinsi terdapat APDN. Seiring berkembangnya penyelenggaraan pemerintahan, maka pemerintah mendirikan APDN pada 17 Maret 1956 di Malang, Jawa Timur berdasarkan SK Mendagri No.Pend. 1/20/565 tanggal 24 September 1956 yang diresmikan oleh Presiden Pertama RI Soekarno.

Lalu di era pemerintahan Presiden Soeharto, semua institusi pendidikan tersebut pada 14 Agustus 1992 berdasarkan Kepres No. 42 Tahun 1992 dilebur dan diganti namanya menjadi Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN). 

Pada era reformasi STPDN berubah namanya menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). IPDN berlokasi di Lembah Manglayang Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. 

Tugas dan fungsi

Secara definitif Polisi Pamong Praja memang mengalami beberapa kali pergantian nama, tetapi  tugas dan fungsinya tetaplah sama. Hal ini termaktub dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pada  pasal 13 tertulis bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi di antaranya penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, yang termasuk di dalamnya perlindungan masyarakat.

Sementar itu pasal 148 menyatakan bahwa Satuan Polisi Pamong Praja ditetapkan sebagai perangkat daerah. Oleh karena itu, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dapat dijadikan landasan kuat bagi eksistensi keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja dan Satuan Perlindungan Masyarakat.

Seiring berjalannya waktu, keberadaan kelembagaan Polisi Pamong Praja dan Perlindungan Masyarakat telah beberapa kali mengalami perubahan baik struktur organisasi maupun Nomenklatur.

Di kemudian hari juga masih ada kemungkinan terjadinya perubahan. Namun secara substansial, tugas pokok Satuan Polisi Pamong Praja dan Perlindungan Masyarakat tidak mengalami perubahan yang berarti.

Satpol PP mempunyai tugas pokok, yakni memelihara dan menyelenggarakan ketertiban dan ketertiban umum, perlindungan masyarakat, menegakan Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan Keputusan Bupati.

Dalam pelaksanaanya, Satpol PP membantu pelaksanaan peraturan pemerintahan. Pada masa pandemi Covid-19, misalnya. Satpol PP membantu mendorong kedisiplinan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan di ruang publik.

Sebagai contoh, Satuan Tugas Penanganan dan Pengendalian Penyebaran dan Penularan Covid19 di Kabupaten Lumajang berupaya keras agar Kabupaten Lumajang segera terbebas dari Covid-19 dengan berbagai langkah preventif dan persuasif. 

Salah satunya, dengan menggelar operasi yustisi secara gencar di semua wilayah Kabupaten Lumajang, dari tingkat kabupaten hingga tingkat RT sebagaimana Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2021 Tentang Perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Berbasis Mikro dan Mengoptimalkan Posko Penanganan Covid19 di Tingkat Desa dan Kelurahan untuk Pengendalian Penyebaran Covid19.

Satpol PP pun ikut terlibat dalam setiap kegiatan Operasi Yustisi Penegakan protokol kesehatan Covid-19, yaitu bersama Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Lumajang, Dishub Kabupaten Lumajang, Kodim 0821 dan Polres Lumajang. 

Petugas pun memberikan himbauan dan peringatan secara lisan kepada setiap warga yang tidak memakai masker. Sering kali, petugas membagikan masker kepada warga yang tidak membawa masker.

*Penulis: Ayunda A, Anggota Perempuan Satu Indonesia.

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »