Ingatkan Petinggi Densus 88 Tak Tebarkan Islamphobia, Fadli Zon: Sebaiknya Densus 88 Dibubarkan Saja

BENTENGSUMBAR.COM - Anggota DPR RI Fadli Zon mengingatkan kepada Densus 88 agar tidak menebar narasi-narasi yang menjurus kepada Islamphobia.

Fadli menanggapi pernyataan Direktur Pencegahan Densus 88, Kombes M Rosidi yang menyebutkan kemenangan Taliban berpengaruh terhadap aksi teror di Indonesia.

"Euforia kemenangan Taliban ini dapat membawa dampak terhadap keberadaan kelompok teror di Indonesia. Paling tidak, dapat dijadikan sebagai sarana propaganda mereka," kata Direktur Pencegahan Densus 88, Kombes M Rosidi dalam diskusi daring yang digelar Selasa, dikutip dari CNN.

Rosidi menerangkan bahwa jaringan teroris di Indonesia sering membuat narasi bermodal kemenangan Taliban.

Fadli Zon menilai pernyataan tersebut sudah sulit dipercaya oleh rakyat.

Terorisme, menurut Fadli Zon, memang harus diberantas.

Namun, ia mengingatkan untuk tidak menjadikan terorisme sebagai komoditas.

Ia pun meminta Densus 88 sebaiknya dibubarkan saja.

"Narasi semacam ini tak akan dipercaya rakyat lagi, berbau Islamifobia. Dunia sudah berubah, sebaiknya Densus 88 ini dibubarkan saja. Teroris memang harus diberantas, tapi jgn dijadikan komoditas," ungkapnya.

Kadensus 88 lakukan pendekatan humanis

Diberitakan Warta Kota sebelumnya, bukan hanya tindakan tegas yang harus diambil kepolisian, dalam menyikapi ancaman para pelaku terorisme atau kelompok teroris.

Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri kini juga melakukan upaya lainnya guna mengatasi persoalan tersebut.

Salah satunya mengentaskan perkara terorisme dengan cara pendekatan yang lebih humanis.

Kepala Densus 88 Antiteror Polri, Irjen Martinus Hukom, mengatakan pendekatan humanis dilakukan selain juga dengan cara represif dalam mengatasi terorisme.

Pendekatan ini katanya merupakan amanat undang-undang (UU).

"UU kita yang direvisi, UU Nomor 5 Tahun 2018 yang merupakan revisi dari UU Nomor 15 Tahun 2003, mengamanatkan kepada kita, selain penegakan hukum, ada juga program pencegahan di situ, ada deradikalisasi.

Jadi hukum kita sudah mengamanatkan itu, penyelesaian masalah terorisme dengan pendekatan humanis," papar Martinus dalam diskusi yang ditayangkan kanal YouTube Sofyan Tsauri Channel, Minggu (26/9/2021).

Selain itu, kata Martinus, pendekatan yang lebih humanis dilakukan Densus, lantaran kejahatan terorisme berbeda dengan jenis kejahatan lainnya.

"Kejahatan konvesional seperti perampokan, pembunuhan, pemukulan atau kejahatan apa pun, motifnya bisa karena dendam, bisa karena kepentingan individu, atau kebutuhan.

Tapi kalau saya lihat, terorisme ini kejahatan yang berawal dari pemikiran," tutur Martinus.

Martinus pun mengutip pernyataan aktivis perempuan dan pejuang HAM dari Pakistan yang sempat ditembak Taliban, Malala Yousafzai.

Bahwa terorisme tidak bisa dihilangkan dengan jalan kekerasan. Sebab hal itu merupakan pemikiran atau ideologi.

"Saya mengutip dari salah satu penggiat perempuan di Afghanistan (Pakistan), Malala. Dia umur 17 tahun, dia telah menyuarakan hak-hak dia sebagai anak dan perempuan untuk bersekolah. Kemudian lalu dia mendapat ancaman kekerasan terhadap dirinya. Dia mengatakan, kalau kita membunuh teroris, kita bunuh dengan senjata. Tapi kalau kita membunuh terorisme kita harus bunuh dengan intelektual," papar Martinus.

Bagi Martinus, dalam membereskan persoalan terorisme, menembak mati teroris bukanlah fokus utama. Namun, ideologi kekerasan dari terorisme lah yang terpenting dan harus 'dihabisi'.

"Jadi bagi saya lebih penting kita menghilangkan paham itu (terorisme). Nah untuk menghilang paham itu, satu-satunya dengan cara mencerdaskan," jelasnya.

"Kemudian kita melakukan pendekatan-pendekatan, kita memprofiling, sebenarnya apa sih yang terjadi dengan teman-teman kita ini, saudara-saudara kita ini? Apakah dari aspek psikologi kah? Aspek sosial kah? Atau ideologinya? Atau juga prosperity atau kesejahteraannya," imbuh Martinus.

Pendekatan psikologis tersebut katanya dinilai sangat penting dalam penyelesaian masalah terorisme.
Sebab, dengan begitu bisa diketahui secara pasti penyebab dari serangan teror dilakukan, dan pada akhirnya pencegahan bisa dilakukan.

Cara-cara ini yang kini juga ditempuh Densus 88.

"Ada stairecase model. Ada lima tangga orang menuju kekerasan. Yang jelas intinya ketidakpuasan, kemudian didekati oleh kelompok-kelompok yang mempunyai ideologi kekerasan, lalu dia direkrut, kemudian dia mempersiapkan kekerasan, akhirnya muncul lah dalam bentuk kekerasan," kata dia.

Aspek psikologis ini menurutnya yang harus diketahui persis.

"Oleh karena itu tindakan kekerasan tidak akan menjawab. Jadi penegakan hukum dengan kekerasan atau dengan tindakan tegas, tidak akan menjawab problematika daripada akar terorisme ini," kata dia.

"Jadi yang kita harus lakukan adalah pendekatan yang lebih humanis, dan berkomunikasi dengan mereka. Sehingga kita bisa tahu apa sih akar yang menjadi permasalahan dirinya masing-masing. Secara personal atau secara kelompok, ataupun lain-lain," paparnya. (Tribunnews)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »