BENTENGSUMBAR.COM - Pengamat politik digital Bambang Arianto, turut memberikan komentar perihal pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang mengklaim tentang Kementerian Agama (Kemenag) hadiah untuk Nahdlatul Ulama (NU).
Menurut peneliti Institute for Digital Democracy (IDD), pernyataan seperti ini lumrah dalam teori-teori kekuasaan.
Pasalnya, dalam teori kekuasaan, meraih suatu jabatan itu bisa menjadi indikator keberhasilan dari suatu asosiasi, partai politik maupun figur politik.
Tapi, sayangnya Menag Yaqut membicarakan hal privasi seperti ini dengan menggunakan saluran partisipatoris seperti media sosial.
"Artinya, Menag Yaqut tidak sadar bila kita sekarang itu hidup di era demokrasi digital," katanya, Rabu, 27 Oktober 2021.
"Sejatinya, kalau mau membicarakan persoalan internal ya harus offline bukan melalui saluran berbasis digital," sambungnya.
Pasalnya, era digital apapun yang disampaikan meski itu urusan internal, berpotensi akan diketahui oleh publik.
Artinya, saat ini siapa saja bisa dengan mudah memviralkan. Apalagi sekarang media sosial bisa dijadikan saluran whistleblowing system dalam membuka skandal apapun.
Intinya, langkah taktis meredam kegaduhan di era demokrasi digital adalah dengan memberikan klarifikasi dan permintaan maaf.
Sebab era demokrasi digital, permintaan maaf akan bisa menurunkan tensi kegaduhan.
Selain itu permintaan maaf akan menjadi pembelajaran bagi pejabat publik lainnya ketika membuat pernyataan kontroversial.
"Terakhir, ini pelajaran bagi para pejabat publik maupun politisi untuk berhati-hati memberikan pernyataan di era demokrasi digital seperti saat ini," pungkasnya. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »