Waspada, Pelaku Penyiksaan Hewan Berpotensi Lakukan Kekerasan yang Menargetkan Balita dan Manula!

PEMAHAMAN tentang cara menyayangi hewan dengan memahami bahwa mereka juga memiliki hak hidup yang sama, berdampingan dengan manusia perlu ditanamkan sejak dini.

Tak banyak orang tau, ternyata pembiasaan kekejaman terhadap hewan dapat memicu tindakan yang mengarah pada kejahatan, seperti tindak kekerasan pada manusia hingga berujung pembunuhan.

Berdasarkan catatan Asia For Animal Coalition, Indonesia berada di urutan nomor satu dunia yang paling banyak mengunggah konten kekejaman terhadap hewan di media sosial.

Dari 5.480 konten yang dikumpulkan, sebanyak 1.626 konten penyiksaan hewan berasal dari wilayah Indonesia. Data ini dikumpulkan sejak Juli 2020-Agustus 2021 dari YouTube, Facebook dan TikTok. Namun, angka ini masih kasar karena terdapat ribuan konten serupa yang lokasinya tidak diketahui. 

Total konten tersebut tercatat telah ditonton sebanyak 5,3 miliar kali saat penelitian tersebut ditulis. Laporan organisasi perlindungan hewan tersebut menyebutkan bahwa konten kekejaman terhadap hewan di dunia maya sebenarnya adalah masalah global yang berskala luas. 

Minim dukungan hukum

Belum lama ini, masih tahun 2021, kasus penjagalan kucing bernama Tayo di Medan, Sumatera Utara sempat menarik perhatian. Setelah perjalanan panjang, akhirnya pelaku divonis 2,5 tahun penjara karena terbukti melakukan pencurian dan pembunuhan hewan.

Sayangnya, tidak semua kasus kekejaman terhadap hewan berhasil dibawa ke ranah hukum, lebih-lebih mendapat hukuman yang membuat jera. Banyak kasus kekerasan bahkan pembunuhan hewan yang mandek di laporan kepolisian.

Kasus Tayo seperti menjadi titik tolak yang memberikan harapan, bahwa hukum masih memihak hak-hak hewan yang seringkali terabaikan. 

Doni Herdaru Tona adalah pendiri Animal Defender Indonesia (ADI) yang terlibat advokasi kucing Tayo, berharap kasus ini bisa menjadi patokan hukum bagi pelaku kekerasan terhadap hewan di Indonesia. Menurutnya, kasus ini bisa menjadi acuan yurisprudensi, bahwa tindakan kekejaman terhadap hewan adalah salah di mata hukum.

Indonesia sebenarnya sudah memiliki aturan tentang hukuman bagi pelaku penyiksa hewan yang di antaranya termuat dalam Pasal 302 dan 406 ayat (2) KUHP. Dalam aturan ini, pelaku penganiayaan ringan terhadap hewan terancam hukuman penjara tiga bulan penjara.

Permasalahannya, pelaporan kasus penganiayaan hewan kerap dianggap remeh oleh pihak kepolisian sehingga sulit memproses pelaku secara hukum. Ketidaktahuan terkait payung hukum ini membuat aparat hukum meremehkan laporan yang masuk

Animal Defender Indonesia sendiri, misalnya, mengaku telah menangani tujuh kasus terkait penyiksaan hewan. Namun, sebagian besar kasusnya terhenti. 

Kejahatan lebih sadis

Tindakan kekejaman pada hewan ternyata tak bisa dianggap remeh. Dalam beberapa kasus kekerasan dan pembunuhan terhadap manusia, pelakunya kerap ketahuan memiliki riwayat melakukan penyiksaan terhadap hewan.

Organisasi nirlaba Humane Society yang berbasis di Amerika Serikat menyebut 88% kasus penyiksaan hewan terjadi di dalam rumah tangga yang memiliki riwayat kekerasan terhadap anak. 

Sementara itu, sebanyak 71% korban kekerasan dalam rumah tangga juga menyebutkan pelaku kekerasan di rumah melakukan hal yang sama terhadap hewan. 

Yang mengerikan, sejumlah pelaku pembunuhan berantai dan brutal pun nyatanya memiliki riwayat penyiksaan hewan. Misalnya, kasus Gary Leon Ridgway yang tercatat pernah membunuh 49 orang di AS. Saat masih kecil, dia mengaku pernah mencekik kucing. 

Contoh nyata lain adalah kasus Eric Harris dan Dylan Klebold. Dua remaja yang bertanggung jawab atas penembakan di SMA Columbine, dan menewaskan 13 orang ini keduanya kerap membanggakan cerita tentang memutilasi hewan kepada teman-temannya. 

Maka tak berlebihan jika Biro Penyelidikan Federal AS (FBI) belakangan ini menjadikan kasus-kasus penyiksaan hewan untuk memprediksi kasus-kasus pembunuhan. 

Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Masih ingat dengan pelaku pembunuhan balita yang mayatnya disimpan dalam lemari 2020 lalu? Ternyata pelaku juga memiliki riwayat sebagai penyiksa hewan, selain dia juga memang menjadi korban kekerasan seksual. Remaja berinisial NS ini pernah melempar kucing dari lantai dua, membakar kodok, dan kepala cicak.

Doni dari Animal Defender Indonesia juga menyebutkan bahwa penyiksa hewan umumnya mengalami gangguan jiwa. Nantinya, lanjutnya, mereka akan meningkatkan targetnya dari hewan sampai manusia, yang sekiranya tidak melawan. Balita dan manula masuk kalangan yang rentan menjadi korban.

Sementara itu, pendiri Jakarta Animal Aid Network (JAAN), Karin Franken, mengatakan, pembiaran atas penyiksaan terhadap hewan sejak kecil bisa menjadi cikal bakal tindakan sadistis di kemudian hari.

Perlu diketahui, Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) sejak tahun 1978 merilis Universal Declaration of Animal Rights atau Deklarasi Universal Hak-Hak Hewan. Deklarasi ini didukung oleh 46 negara dan 330 kelompok pendukung hewan.

Bahkan, setiap tanggal 15 Oktober diperingati sebagai Hari Hak Asasi Hewan. Tak berlebihan, sebagai salah satu makhluk yang hidup di Bumi berdampingan dengan manusia, hewan juga memiliki hak untuk hidup tanpa rasa sakit dan menderita. (Berliana – Anggota Perempuan Indonesia Satu)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »