Ramai Kasus Pelecehan Seksual, Puan: RUU TPKS Bisa Jadi Pelindung Korban!

BENTENGSUMBAR.COM - Dua Kasus pelecehan perempuan dan anak terjadi tak berselang lama. Pertama kasus pelecehan dosen di UI dan pencabulan anak di bawah umur di Padang. 

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui Catatan Tahunan (CATAHU) untuk tahun 2020, selama 12 tahun sejak tahun 2008 hingga 2019 kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792 persen (hampir 800 persen).

Bagi korban tentu menjadi pukulan keras, baik mental dan fisik. Lantas, apa perlindungan yang didapatkan bagi korban?

Komnas Perempuan merekomendasikan perguruan tinggi di Indonesia untuk membuat tim yang menangani kasus kekerasan seksual berbasis gender di lingkungan kampus. Hal tersebut diungkapkan Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor.

"Kami merekomendasikan kepada perguruan tinggi untuk bisa membentuk tim yang melakukan penanganan kekerasan seksual di kampus," katanya.

Maria menjelaskan bahwa tim tersebut dapat bertugas dalam memastikan korban kekerasan seksual di lingkungan kampus memperoleh perlindungan yang komprehensif.

Selain itu, dia berharap mereka mampu menyediakan crisis center yang bersistem rujukan. Ia menyarankan di dalam crisis center itu menggunakan sistem rujukan supaya ada rujukan rumah sakit, rujukan psikolog, ada juga ke LPSK, dan penanganan-penanganan serta pendampingan hukumnya. 

Menurut dia, crisis center yang bersistem rujukan itu perlu karena tidak semua perguruan tinggi memiliki fakultas hukum, fakultas psikologi, ataupun tenaga ahli dalam menangani kasus kekerasan seksual. 

Dengan demikian, dapat diperoleh perlindungan korban yang komprehensif dan pemberian sanksi kepada pelaku yang bersifat proporsional. Rekomendasi tersebut juga merupakan dukungan dari Komnas Perempuan terhadap Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang dinilai menjadi wujud langkah maju untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman tanpa kekerasan seksual.

Tak hanya itu, panita kerja (Panja) telah menyelesaikan penyusunan draf Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Draf dinilai langkah maju menghadirkan payung hukum bagi korban kekerasan seksual.

"Kita mengapresiasi adanya draf dari panja yang disusun tenaga ahli Badan Legislasi (Baleg)," kata aktivis Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Ratna Batara Munti saat dihubungi, Senin, 21 November 2021.

Dia mengungkapkan tak semua masukan diakomodasi dalam draf RUU TPKS. Seperti kategori kekerasan seksual yang berkurang dari sembilan menjadi lima.

"Padahal kita ingin ada sembilan bentuk (kekerasan seksual)," papar Ratna.

Namun, dia mengapresiasi panja yang menambah sejumlah kekurangan draf RUU TPKS. Salah satunya, melengkapi ketentuan perlindungan terhadap disabilitas.

Ratna menyebut perlindungan terhadap kaum disabilitas korban kekerasan seksual hampir sempurna. Seperti tak ada perbedaan khusus terhadap jenis disabilitas.

"Semua jenis disabilitas masuk dan penanganan terpadu terhadap disabilitas walaupun masih ada catatan belum diatur akomodasi yang layak. Itu belum masuk," ujar dia.

Ratna menilai draf RUU TPKS sudah bagus, meski masih ada kekurangan. Sebab, fokus pada penanganan dan menjamin hak korban kekerasan seksual.

"Secara tujuan masih on the track, judulnya ada kekerasan seksual, kemudian tidak keluar dari maksud dan tujuan. Artinya fokus pada kekerasan seksual," ujar Ratna.

Sementara itu, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani mengatakan masuknya Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021 menunjukkan keberpihakan kepada perempuan dan korban kekerasan seksual.

"Lewat RUU PKS ini negara memperlihatkan keberpihakannya kepada korban kekerasan seksual," kata Puan.

Puan Maharani mengklaim hal ini juga membuktikan bahwa DPR menjadikan aspirasi publik sebagai pertimbangan utama dalam menetapkan RUU prioritas. Dia mengatakan, Dewan menyerap aspirasi kelompok sipil perempuan yang selama ini mendesak perlindungan negara atas kejahatan kekerasan seksual.

"Keinginan publik dipertimbangkan untuk kemudian dilakukan kajian mendalam terkait pro dan kontranya sebelum RUU tersebut masuk dalam Prolegnas prioritas tahun ini," ujar Puan.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebenarnya telah berkali-kali masuk dalam Prolegnas prioritas sejak periode DPR sebelumnya. Namun, berkali-kali pula didrop atau ditunda pembahasannya.

Laporan: Mela

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »