Serba-Salah Jadi Pemimpin Perempuan, Hujan-hujanan Dianggap Pencitraan Tapi Kalau Takut Hujan Disebut Manja

BENTENGSUMBAR.COM - Bangsa Indonesia sepertinya masih belum terlepas dari budaya patriarki. Masyarakat cenderung gampang melakukan pembunuhan karakter kepada para perempuan yang membuktikan diri mampu mencapai posisi kepemimpinan. Seakan serba salah, segala gerak-gerik mereka menuai sindiran sana sini. Wajar, kalau pemimpin perempuan di Tanah Air harus punya mental baja.

Sederet CEO atau presiden direktur perempuan di perusahaan besar mengaku kerap mendapat cibiran. Bahkan ketika berhasil duduk di jabatan tertinggi, mereka masih harus berkutat dengan masalah serupa. Begitupun di dunia politik.

Perempuan di panggung politik kini seakan menjadi pemanis dan hanya demi tujuan “memenuhi syarat” yang ditetapkan undang-undang. Yang menyedihkan, perlakukan diskriminatif masih terjadi pada perempuan yang berhasil menjabat kursi kepemimpinan.

Salah satu cerita datang dari Bupati Jember, Faida. Dia adalah salah satu perempuan yang berhasil menduduki jabatan sebagai kepala daerah di Jawa Timur. 

Faida yang memiliki latar belakang sebagai pengusaha dan dokter pernah bercerita bahwa menjadi seorang perempuan yang menduduki jabatan kepala daerah tidaklah mudah.

Dalam sebuah diskusi bertema “Perempuan sebagai Kepala Daerah: Pola Kepemimpinan dan Kebijakan”, dia menyebut bahwa pemimpin perempuan kerap dianggap remeh.

“Tidak mudah menjadi pemimpin perempuan kalau laki-laki tidak bermasalah soal gender. Tapi kalau perempuan selalu diremehkan. Pemimpin laki-laki yang belum membuktikan hasil kerjanya tidak pernah dilecehkan karena gendernya,” kata Faida.

Faida yang sebelumnya tak pernah berkecimpung di dunia politik dan bukan kader partai bahkan sempat mendapat tindakan yang kurang berkenan di hatinya. Dalam sebuah rapat paripurna, dirinya pernah mendapat sindiran dari salah satu anggota DPRD Jember.

“Dalam rapat paripurna dengan terang-terangan menyindir kalimat, bahwa pejabat-pejabat perempuan yang tidak bisa memberikan pernyataan di kantor rakyat mulai besok pakai cobek dan wajan saja masak di dapur,” ungkap Faida.

Pernyataan itu, menurut Faida, sungguh menyakitkan karena dilontarkan dari tokoh masyarakat yang seharusnya menjadi panutan malah melecehkan gender. Apalagi, lanjut dia, pernyataan datang dari seorang tokoh masyarakat yang seharusnya menjadi contoh.

Serba salah

Bahkan seorang pemimpin perempuan cenderung lebih tinggi menerima serangan berupa sindiran atau komentar negatif. Alih-alih memberi masukan yang membangun, publik lebih memilih menyerang karakter seorang pemimpin perempuan.

Sebagai contoh, aksi Ketua DPR Puan Maharani menanam padi di tengah hujan bersama petani di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, menuai cibiran pedas dari berbagai kalangan.

Hal serupa terjadi ketika baliho Puan bertaburan di mana-mana. Cemoohan dan ejekan bahkan berujung pada pencoretan baliho dengan kata-kata tidak pantas. Padahal, baliho tokoh politik lain seperti Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar baik-baik saja.

Lebih jauh, dua tokoh politik tersebut juga tak mendapat banyak “nyinyiran” soal baliho yang sama-sama banyak terpasang. Agaknya, standar yang berbeda diterapkan kepada tokoh laki-laki.

Soal menanam padi pun tetap bisa saja menjadi polemik dan mengundang serangan jika Puan tak jadi turun ke sawah akibat hujan. Pasalnya, menurut Ketua Gema Perjuangan Maharani Nusantara (GPMN) Jawa Timur Marsiswo Dirgantoro, Puan telah dijadwalkan mengunjungi desa tersebut saat musim hujan.

Menurut Marsiswo kunjungan kerja Puan Maharani selaku Ketua DPR ke sejumlah daerah sudah terjadwal. Karena itu, kata dia, tidak mungkin menolak hujan turun di daerah yang dikunjungi. 

Kalau saja ketika itu Puan datang dan menolak melanjutkan kegiatan sesuai jadwal, sebagian publik tetap akan mencaci Puan dan menilainya takut untuk turun ke sawah ketika hujan. Bisa jadi dengan tambahan sebutan “ratu” dan sejenisnya.

Pendek cerita, untuk seorang sosok politik perempuan, tingkah lakunya akan sarat serangan verbal. Istilahnya ya serba salah. 

Soal penolakan interupsi anggota dewan saja, misalnya. Puan mendapat serangan begitu hebat dan bertubi-tubi. Padahal, kejadian serupa pernah dilakukan oleh Ketua DPR sebelumnya, demi menjaga jalannya rapat. Namun ketika itu, tak ada banjir sindiran.

Indonesia memang belum siap untuk menerima sepenuhnya kepemimpinan perempuan. Seringkali, kita dibutakan oleh kungkungan gender dan budaya patriarki. 

Tak hanya di jabatan kepemimpinan. Dalam rumah tangga pun, perempuan lebih berpotensi mengalami diskriminasi. Padahal, fakta membuktikan, banyak ibu ikut berperan mencari nafkah bagi keluarga. 

Yang mengenaskan, mereka harus menjalani berbagai peran itu tanpa dukungan yang memadai, baik dalam keluarga maupun masyarakat.

Perjalanan masih panjang. Semoga dengan lahirnya banyak perempuan kuat dan berprestasi akan semakin membuka pikiran dan akhirnya meruntuhkan tembok budaya yang mengikat ini.

Laporan: Mela

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »