Warga DKI Gugat ke MK, Minta Jabatan Anies Sebagai Gubernur Jakarta Bisa Diperpanjang

BENTENGSUMBAR.COM - Sebanyak enam orang pemohon dari berbagai latar domisili berbeda mengajukan gugatan atau uji materi kepada Mahkamah Konstitusi (MK), atas UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi UU Pilkada.

Mengutip dari salinan yang diunggah di situs resmi MK, Rabu (9/3/2022) keenam pemohon tersebut adalah A. Komarudin seorang pekerja swasta yang tinggal di Ancol Jakarta Utara. Kedua, Eny Rochayati seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Penjaringan Jakarta Utara.

Kemudian, ketiga, Hana Lena serang yang tinggal di Karulu, Jayawijaya, Papua. Keempat Festus Menasye yang beralamatkan di Asotipo, Jayawijaya, Papua. Kelima Yohanes Raubaba, seorang yang tinggal di Yapen Selatan, Papua. Keenam adalah Prilia Yustiati yang juga satu domisili dengan Yohanes.

Dalam salah satu petitumnya, mereka meminta agar masa jabatan kepala daerah yang habis di 2022 dan 2023 bisa dapat diperpanjang. Dalam hal ini dua warga DKI yang mengunggat secara tak langsung meminta Anies Baswedan selaku Gubernur DKI Jakarta periode sekarang tetap bisa menjabat.
Diketahui, Anies sendiri akan habis jabatannya sebagai gubernur pada 16 Oktober 2022.

"Dapat memperpanjang masa jabatan kepala daerah yang sedang menjabat dan/atau habis masa baktinya pada 2022 dan 2023," demikian salah satu bunyi petitum yang dikutip dari salinan permohonan uji materi di MK.

Menurut para pemohon, uji materi dilakukan karena hak mereka sebagai warga negara telah dilanggar dengan adanya Pasal 201 ayat (9). Mereka keberatan dengan frasa dalam pasal tersebut yang mengatakan diangkatnya penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat walikota sampai dengan terpilihnya kepala daerah yang baru melalui Pemilihan serentak 2024.

Selain itu, pemohon juga tidak sepakat dengan Penjelasan Pasal 201 ayat (9) UU Pilkada khususnya pada frasa masa jabatannya (penjabat) adalah 1 tahun dan dapat diperpanjang 1 tahun berikutnya dengan orang yang sama/berbeda.

Kemudian, pemohon juga keberatan dengan dipilihnya para penjabat tadi berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya untuk gubernur, sesuai Pasal 201 ayat (10) UU Pilkada dan pasal yang sama pada ayat (11) yang berbunyi penjabat bupati/walikota berasal dari pimpinan tinggi pratama.

"Hak pemohon menjadi terlanggar karena dalam jangka waktu tertentu, para pemohon akan dipimpin oleh kepala daerah yang bukan berdasarkan pemilihan yang demokratis," demikian.
Bahkan untuk di wilayah DKI, pemohon 1 dan 2 akan dipimpin oleh kepala daerah yang tidak dipilih rakyat secara demokratis selama dua tahun. Sebab masa kepemimpinan gubernur DKI akan habis pada tahun 2022.
"Ini bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945," tegas pemohon.

Akan Ada Kekosongan

Selain pengangkatan penjabat kepala daerah dapat menabrak hak konstitusi warga negara, beleid tersebut tenyata juga menciptakan ruang kosong pada aturan kepemimpinan.

Sebagai contoh di Jakarta. Pemohon menjelaskan, dalam skenario masa jabatan gubernur yang habis pada tahun ini,maka pemerintah pusat akan menugaskan penjabat yang tidak dipilih secara demokratis.

Selanjutnya, masa jabatan penjabat boleh diperpanjang hingga 2 tahun nyatanya masih berpotensi menciptakan kosong ruang yang belum memiliki landasan hukum.

Pemohon mengambil contoh pada masa dinas Gubernur Jakarta yang akan habis pada Oktober 2022 dan akan digantinkan Penjabat Gubernur hingga maksimal Oktober 2024, sedangkan Pilkada serentak baru pada November 2024.

"Jika Pilgub terjadi 2 putaran ditambah sengketa Pemilu di MK, maka dapat diprediksi pengisian jabatan gubernur Jakarta definitif baru bisa sekitar Mei atau Juli 2025. Oleh karena itu berpotensi terdapat kekosongan kepemimpinan selama 6 bulan dan ini belum diatur dalam Undang-Undang," rinci pemohon.

Dengan pemaparan tersebut, para pemohon meminta kepada MK untuk menerima permohonan uji materil ini untuk seluruhnya dan menyatakan Pasal 201 ayat (9) dan Penjelasan Pasal 201 ayat (9), Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU Nomor 10 tahun 2016 sebagai konstitusi bersyarat dengan sejumlah poin.

Isi Petitum

Berikut poin dari petitum pemohon yang berharap diterima MK:

A. Ada ketentuan mengenai mekanisme pengisian Penjabat Kepala Daerah yang demokratis.

B. Calon Penjabat Kepala Daerah memiliki legitimasi dan penerimaan yang paling tinggi dari masyarakat.

C. Merupakan orang asli Papua untuk penjabat kepala daerah di Pemprov Papua dan Papua Barat dan Pemkab/Pemkot di Papua dan Papua Barat

D. Melalui proses penilaian yang mempertimbangkan usulan dan rekomendasi dari Majelis Rakyat Papua,Dewan Perwakilan Rakyat Papua, DPRD, Pemuka agama dan masyarakat.

E. Ada ketentuan yang jelas mengenai persyaratan-persyaratan sejauh mana peran, tugas dan kewenangan dari Penjabat Kepala Daerah yang ditunjuk.

F. Dapat memperpanjang masa jabatan kepala daerah yang sedang menjabat dan/atau habis masa baktinya pada 2022 dan 2023

G. Bukan berasal dari kalangan Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia; dan

H. Independen dan bukan merupakan merepresentasikan kepentingan politik tertentu dari Presiden atau Pemerintah Pusat.

Sumber: Liputan6

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »