Terkait Gempa Cianjur, Ketum Bapera: Nyawa Sangat Berharga, Pelajari Sejarah Dan Segera Berbenah!

BENTENGSUMBAR.COM – Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga Jumat (9/12/2022) terdapat 3.332 bencana alam yang terjadi di Indonesia dengan 563 orang meninggal dunia, 43 orang hilang, 8.694 luka dan 5.081.060 orang mengungsi. Terakhir adalah gempa bumi di Cianjur, Jawa Barat. 

Ketua Umum DPP Barisan Pemuda Nusantara Fahd El-Fouz A Rafiq menyatakan bahwa bencana alam sangat akrab dengan bumi Nusantara dimana yang terbaru Gempa Cianjur merupakan siklus 20 tahun sekali. Namun, ia menyayangkan karena literasi dan edukasi pada masyarakat terkait kegempaan dan mitigasi rendah dan buruk.

“Literasi kegempaan rendah dan mitigasi bencana yang buruk seperti Gempa Cianjur sampai harus menelan 334 korban tewas. Ini bukan mengkambinghitamkan akan tetapi disinilah kelemahan negara kita dalam mengelola bencana alam,” ujar Fahd pada media ini, Jumat (9/12/2022).

Mengutip data sejarah, Fahd mengungkap bahwa pada kasus Gempa Cianjur dimana pernah terjadi sebelumnya yakni pada 1982 dan 2000 lalu. 

“Sumber gempa yang menimpa Cianjur pada 3 minggu yang lalu ini, berada di zona Sesar Cimandiri dan berkekuatan 6,7 skala richter. Dan BMKG pun telah menyatakan wilayah Cianjur sebagai kawasan rawan gempa bumi permanen yang sangat merusak dan tercatat sejak tahun 1844,” paparnya.

Padahal menurut Fahd, Indonesia pernah dilanda bencana gempa dimana sampai memakan korban tewas sebanyak 4.340 jiwa di Palu (Sulawesi Tengah) pada 2018 lalu atau yang sangat dahsyat yakni Tsunami Aceh pada 2004 silam dengan korban tewas sekitar 224.000 jiwa. 

“Bumi Nusantara ini kan berada di cincin api, zona seismik aktif, dimana lempengan berbeda kerak bumi bertemu. Kita yang dahulu pernah belajar geografi masa masa SMP dan SMA pasti tidak asing dengan kalimat ‘pertemuan lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia mempengaruhi Indonesia bagian barat’. Subduksi keduanya yang menyebabkan terbentuknya deretan gunung berapi di Pulau Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok. Sementara di bagian timur, kedua lempeng ini bertemu dengan Lempeng Pacific,” Fahd menjelaskan lebih detail. 

Mantan Ketum PP AMPG ini menegaskan bahwa kebiasaan orang Indonesia yang tidak hilang adalah ketika bencana alam datang, kemudian kaget setelah responsif lalu lupa.

“Oalah, asli hal ini jangan dibiasakan apalagi berurusan dengan bencana alam yang berkaitan dengan nyawa manusia, zaman makin canggih harusnya gerak cepat dan bisa diantispasi. Secanggih apapun struktur kalau kultur belum Tangguh akan sulit. Ingat budaya kita adalah pitutur. Pendekatan ke masyarakat jangan melupakan kultur ini,” tegasnya.

Karena itu, kejadian gempa dan tsunami yang dialami Indonesia berturut-turut, menurut Fahd, harusnya mampu menjadi refleksi khususnya bagi pemerintah dan jajarannya sehingga bisa terus belajar dari kejadian yang lalu. 

“Nyawa manusia sangat berharga. Kalau salah kelola maka akan banyak nyawa melayang. Ingat, alam selalu memberikan kode tersirat ketika akan ada bencana alam,” katanya mengingatkan. 

Mantan Ketum DPP KNPI ini menyarankan, perlu adanya suatu zona sesar yang tidak terlalu luas contohnya dijadikan kawasan hijau, ini sangat mungkin dilakukan di kawasan Sesar Cimandiri karena memang relatif banyak daerah yang belum dibangun. 

“Akan tetapi disisi lain untuk penerapan zonasi rawan bencana ini tidak mudah dilakukan karena berbenturan dengan kepentingan lain. Pada banyak kasus bencana di Indonesia, penetapan dilakukan setelah bencana terjadi. Ya, Namanya daerah rawan harusnya tidak menjadi pemukiman penduduk. Ide ini perlu komitmen bersama. Misal, oke daerah ini nggak boleh dibangun karena daerah sesar, yang ini boleh. Seringnya yang terjadi di lapangan adalah kepentingan lebih kompleks dari sekedar kepentingan untuk pengurangan risiko bencana,” tukas Fahd. 

Menurut putra penyanyi dangdut A Rafiq itu, Jepang dan Indonesia menjadi negara yang paling sering mengalami gempa, namun yang membedakan Indonesia dengan negeri sakura tadi adalah soal teknologi gempa yang dimiliki dan aksi mitigasi. Jepang lebih cepat belajar dari gempa bumi yang sudah menerjang sejak ratusan tahun lalu. 

Jepang punya BUOY yang bisa deteksi tsunami dan gempa yang beroperasi penuh bahkan teknologinya terus di-upgrade dan sudah super canggih. Indonesia sendiri pasca Tsunami Aceh punya BUOY tetapi sesudah itu tidak bisa dioperasikan. 

“Kami apresiasi pemasangan BUOY. Tetapi penting diingat peningkatan literasi dan mitigasi bencana kepada masyarakat harus linier sehingga pengrusakan atas BUOY yang dipasang pasca tsunami Aceh tak terulang. Untuk memasang alat pendeteksi tsunami dan gempa dini di tengah laut yang apabila dicuri berarti kehilangan milyaran rupiah. Sekali lagi masyarakat juga perlu digandeng dengan peningkatan melek informasi terkait gempa dan bencana alam lainnya termasuk bagaimana menjaga dan merawat alat seperti BUOY sehingga ke depan saat terjadi gempa atau bencana lain dapat meminimalisir korban sebagaimana Jepang telah memberikan contoh,” tandasnya.

“Mulai hari ini kesalahan kesalahan dimasa lalu jangan terjadi lagi khususnya soal penanggulangan gempa dan tsunami. Jangan biarkan nyawa masyarakat menjadi taruhan karena kelalaian kita yang tidak pernah belajar dari sejarah. Ingat salah satu tugas negara adalah menyelamatkan nyawa rakyatnya. Gempa bumi yang melanda cianjur bukan sekedar bencana alam lantas hanya beri bantuan lalu selesai. Selain mitigasi dan sosialisasi kondisi Indonesia yang rawan akan gempa karena ada Ring of Fire, zona seismik aktif di mana lempeng-lempeng berbeda di kerak bumi bertemu. Alangkah baiknya pemerintah memprioritaskan pada Pembenahan teknologi dengan alur deteksi yang lebih singkat. Sehingga warga dengan mudah untuk mengantisipasi dan meminimilisir korban jiwa,” pungkas pria yang juga Ketua Bidang Ormas DPP Partai Golkar itu. (ASW)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »