
Padang kembali menjadi panggung dramatis bagi pergulatan antara cuaca ekstrem dan kota yang terus tumbuh tanpa sepenuhnya mengantisipasi risikonya.
OLEH: Muhibbullah Azfa Manik
Padang kembali menjadi panggung dramatis bagi pergulatan antara cuaca ekstrem dan kota yang terus tumbuh tanpa sepenuhnya mengantisipasi risikonya.
Dalam rentang 25–27 November 2025, hujan deras yang tak kunjung reda mengubah wajah kota: jalan-jalan berubah menjadi saluran air, rumah sakit kewalahan, dan ratusan keluarga terpaksa menyelamatkan diri ke lokasi aman. Kawasan sekitar RS M. Jamil menjadi salah satu yang paling terdampak, sementara Gunung Pangilun, Ulak Karang, bypass di depan RS Siti Rahmah, hingga Tunggul Hitam tak luput dari genangan.
Cuaca ekstrem yang menimpa Padang bukan semata hujan deras musiman. BPBD Kota Padang merilis data sementara hingga 27 November 2025 yang memperlihatkan skala bencana yang luar biasa: 14 titik banjir, 12 titik banjir bandang, 7 titik longsor, 20 titik pohon tumbang, dan 2 kejadian angin puting beliung.
Rentetan ini bukan hanya statistik; ia memetakan tubuh kota yang tengah mengalami tekanan hidrometeorologi dari berbagai arah.
Dari dataran rendah padat penduduk hingga kawasan perbukitan, hampir semua lapisan terpapar.
Sumber utama fenomena ini adalah perkembangan Siklon Tropis 95B di Selat Malaka. Sejak 21 November, bibit siklon ini memicu konvergensi massa udara yang mempercepat pembentukan awan hujan intens.
BMKG memperpanjang peringatan cuaca ekstrem hingga 29 November, meminta kewaspadaan penuh terhadap potensi longsor, banjir bandang, dan angin kencang.
Dalam lanskap meteorologis regional, kejadian seperti ini bukan anomali tunggal, melainkan representasi dari dinamika atmosfer yang semakin sulit diprediksi.
Atmosfer, Iklim, dan Faktor Global: Pola yang Mengeras
Dalam kacamata akademis, hujan ekstrem Padang tidak dapat dipahami tanpa melihat dinamika iklim yang lebih luas. Indian Ocean Dipole (IOD) dan variabilitas ENSO memainkan peran sentral dalam meningkatkan frekuensi hujan ekstrem di pesisir barat Sumatra.
Studi Sudirman dkk. memperlihatkan bahwa fase IOD negatif meningkatkan suplai uap air dari Samudra Hindia, memperkuat potensi pembentukan awan konvektif.
Penelitian terbaru pada 2025 bahkan menggarisbawahi pengaruh vorteks atmosfer di Samudra Hindia timur.
Vorteks tersebut dapat mendorong pembentukan squall lines, jalur hujan intens yang bergerak cepat dari laut ke daratan.
Dalam konteks Padang, mekanisme ini memperkuat hujan berjam-jam hingga berhari-hari — cukup untuk melampaui kapasitas tampung sungai-sungai kecil dan kanal perkotaan.
Fenomena atmosfer global-terlokal ini menjadikan Padang sebagai kawasan dengan risiko cuaca ekstrem yang semakin meningkat.
Kota ini berada di jalur angin lembap dari Samudra Hindia, berhadapan langsung dengan dinamika cuaca tropis yang kian tidak stabil.
Musim hujan, yang dulu bisa ditebak ritmenya, kini menjadi kalender tak pasti berisi potensi krisis.
Kerentanan Kota dan Tata Ruang: Ketidaksiapan yang Terbuka
Jika atmosfer adalah pemicu, maka kerentanan kota adalah amplifikator bencana. Padang tumbuh pesat dalam dua dekade terakhir, namun kapasitas infrastrukturnya tidak ikut berlari.
Saluran drainase banyak yang dangkal, tertutup sedimen atau sampah; kawasan resapan menyusut oleh pembangunan komersial dan permukiman; dan permukiman baru sering lahir di dataran banjir historis atau bantaran sungai.
Dari 14 titik banjir yang tercatat BPBD, sebagian besar berada di wilayah yang mengalami pertumbuhan penduduk paling cepat — Koto Tangah, Padang Utara, dan Nanggalo.
Sementara itu, banjir bandang di 12 titik mengindikasikan persoalan di hulu: berubahnya tutupan lahan di perbukitan, penurunan kapasitas tanah menyerap hujan, serta meningkatnya aliran permukaan.
Longsor yang terjadi di 7 titik menambah daftar risiko. Tekanan air tanah yang naik, hilangnya vegetasi penahan tanah, dan pembangunan pada lereng yang kurang stabil memperlihatkan betapa kompleksnya interaksi antara alam dan aktivitas manusia.
Adapun 20 titik pohon tumbang dan dua kejadian angin puting beliung mengisyaratkan bahwa ancaman hidrometeorologi datang serentak, bersifat multi-hazard, dan menuntut kesiapsiagaan yang jauh lebih sistematis.
Bencana Baru, Tantangan Lama: Respons yang Terus Diulang
Pemerintah daerah bergerak cepat: membuka posko pengungsian, mengevakuasi warga, membersihkan material longsor, dan menyingkirkan pohon tumbang.
Namun pola respons semacam ini sudah terlalu familier. Ia lebih mirip rutinitas musiman ketimbang strategi mitigasi.
Respons cepat sangat diperlukan, tetapi ia tidak bisa menggantikan kebutuhan akan mitigasi struktural.
Tanpa penataan ulang drainase kota, restorasi kawasan resapan, pengendalian ketat pembangunan di zona rawan, serta sistem peringatan dini hidrometeorologi yang lebih modern, Padang akan terus berkutat dalam siklus bencana yang sama: menunggu hujan datang, tergagap merespons, lalu memperbaiki kerusakan.
Padang membutuhkan pemikiran jangka panjang — bukan hanya pengerukan saluran atau pembersihan sungai saat musim hujan tiba, tetapi rekayasa ulang ruang kota yang mampu memecahkan tekanan air secara alami maupun teknis.
Refleksi Akademik: Membangun Kota yang Tahan Tekanan Iklim
Dalam pendekatan ilmiah kebencanaan, banjir Padang adalah hasil interaksi tiga komponen risiko: hazard (hujan ekstrem), exposure (kepadatan penduduk dan infrastruktur di zona rawan), dan vulnerability (infrastruktur yang tidak adaptif, tata ruang yang tidak responsif terhadap iklim, serta kapasitas kesiapsiagaan yang belum merata).
Di sinilah urgensi kajian akademik memainkan perannya. Analisis hidrologi perkotaan, pemodelan banjir, kajian fenomenologis masyarakat terdampak, serta pemetaan risiko multi-hazard perlu diintegrasikan.
Tanpa landasan ilmiah yang kuat, kebijakan hanya menjadi respons tambal-sulam.
Padang berada pada titik balik sejarah iklimnya. Kota ini dapat memilih untuk membiarkan siklus banjir—dan trauma kolektif yang menyertainya—berulang tahun demi tahun, atau memutus pola itu melalui transformasi tata kota yang serius, radikal, dan berbasis ilmu.
Keputusan itu tidak lagi bisa ditunda. Bukan hanya untuk keselamatan hari ini, tetapi untuk masa depan yang lebih aman bagi ratusan ribu warga yang menggantungkan hidup pada kota yang berdiri di antara laut, perbukitan, dan awan yang semakin sulit ditebak.
(*)
« Prev Post
Next Post »