Pembantaian di Bali (Puputan Badung)

Pembantaian di Bali (Puputan Badung)
Artikel ini disusun dan disunting berdasarkan laporan yang dimuat dalam De arbeider; socialistisch weekblad voor de provincie Groningen. 

PENGANTAT


Artikel ini disusun dan disunting berdasarkan laporan yang dimuat dalam De arbeider; socialistisch weekblad voor de provincie Groningen, edisi 27 Oktober 1906, yang merekam secara rinci peristiwa pembantaian dan puputan di Badung, Bali.


***Puputan Badung: Hari Ketika Bali Diselimuti Api dan Darah***


Surat kabar Hindia Oktober 1906 memberitakan penyerbuan Kesiman dan Denpasar. Bagi orang luar, itu hanyalah laporan perang. Namun bagi masyarakat Bali, yang terjadi di tanah Badung adalah tragedi kehancuran sebuah kerajaan, ketika ribuan leluhur memilih mati terhormat daripada menyerah pada kekuatan asing. Apa yang mereka sebut (Belanda) dengan "zelf-moord-op-groote-schaal—bunuh diri massal" , bagi Bali itu adalah puputan, perjuangan hingga napas terhenti.


Ketika pasukan Belanda mendekati Kesiman, hanya ratusan meter dari puri, raja dan para pengikutnya keluar dengan tombak di tangan. Meskipun mereka tahu serangan itu tidak mungkin menembus senapan yang diarahkan kepada mereka; namun kehormatan lebih berharga dari rasa takut.


Koresponden Belanda sendiri mengakui keberanian itu sebagai sesuatu yang “berbatasan dengan kegilaan.”


Serangan itupun seketika berakhir: para pejuang Badung rebah satu per satu. Raja, para punggawa, penawing, hingga anak-anak lelaki tumbang di antara tumpukan tubuh yang berlumuran darah. 


Saat Asisten Residen Schwarz mencari jasad sang raja, ia menemukan sang pemimpin dengan tengkorak hancur, sementara seorang penawing wanita yang sudah sekarat—masih mencoba menusuk siapa pun yang hendak menyentuh tuannya. Ia dilucuti dengan susah payah. Jasad raja pun dibawa pergi.


Tak lama kemudian, asap pekat membelah langit. Puri telah dibakar, simbol kehancuran dan penolakan untuk menyerah.


Puri Kesiman telah kosong, dan pasukan Belanda bergerak ke Pemecutan. Di sana, adegan yang sama terulang: para punggawa dan rakyat bersenjata tombak datang menyerbu, namun senapan cepat (snelvuurbatterij) membantai mereka sebelum sempat mendekat.


Di pihak Belanda, korban lima tewas dan empat belas luka. Tapi di pihak Bali—tanah kami—yang gugur diperkirakan enam ratus jiwa, mungkin lebih. Banyak yang terluka, dan sebagian dari mereka justru dibawa kepada lawan untuk dirawat, di sebuah dunia yang sudah tidak mereka kenal lagi. Bivak didirikan di puri yang kini tinggal puing.


Ketika penggeledahan dilakukan, mereka menemukan saudara perempuan raja terbujur di atas ranjang. Ia mengenakan kain terbaik miliknya; keris yang ia hunus ke tubuhnya sendiri menjadi saksi pilihan terakhirnya. Di puri Denpasar, hal yang sama terjadi lagi dan lagi. Menurut koresponden Locomotief, 2.000 orang Bali tewas, walaupun laporan resmi menyebut hanya empat ratus.


Pagi pukul delapan, pasukan bergerak menuju Denpasar. Dari kejauhan, orang-orang Bali terlihat mengikuti gerak pasukan: mereka maju, lalu mundur kembali, seperti bayangan yang tersapu angin. Penjagaan di pinggir desa dibuat dari bambu berduri, namun tidak cukup menahan gelombang serdadu bersenjata modern.


Sesampainya di Denpasar, mendekati puri, ratusan rakyat—pria, wanita, anak-anak—berdiri bersenjata tombak dan keris. Mereka bukan tentara. Mereka hanya tahu satu hal: lebih baik mati daripada menyerah.


Lalu muncullah raja Badung. Ia duduk di atas kursi berlapis emas, diusung oleh empat pengikut setianya, sementara puri di belakangnya membara oleh api yang ia perintahkan sendiri. Ia maju hingga hanya beberapa puluh langkah dari pasukan asing. Di sana, dengan tenang dan penuh wibawa, ia menusuk keris ke dadanya sendiri.


Para pengikutnya menerjang, lalu menyusul tuannya: sekitar tiga ratus orang menusuk diri mereka sendiri, satu demi satu, di depan para serdadu Belanda yang bahkan tidak sanggup menahan air mata.


Putra bungsu raja keluar paling akhir, memimpin dua ratus pembawa tombak. Anak itu baru berusia sekitar sepuluh tahun. Ketika seorang kapten memintanya meletakkan senjata, ia ditikam oleh pengikutnya sendiri—sebuah kesetiaan yang tragis, mengikuti adat puputan hingga ke generasi termuda.


Saat pasukan memasuki puri, hampir tidak ada lagi yang hidup.


Sore pukul empat, pasukan melanjutkan penaklukan ke Pemecutan. Raja Pemecutan memilih jalan yang sama: ia membakar purinya dan menusuk diri sendiri bersama istri-istrinya di dalam istana yang dilalap api.


Setelah semuanya berakhir, yang tersisa hanyalah benda-benda yang dianggap “jarahan”: gagang keris berpatung Buddha emas, keris berhias permata, beberapa bernilai lebih dari seribu gulden. Namun bagi kami, yang hilang jauh lebih besar: sebuah kerajaan, sebuah harga diri, dan ribuan nyawa yang memilih kehormatan daripada penaklukan.


***Epilog***


Di tanah Badung, api yang membakar puri bukan sekadar nyala kehancuran—itu adalah tanda terakhir sebuah bangsa yang memilih berdiri tegak meski dunia runtuh di sekelilingnya. Para raja, punggawa, penawing, perempuan, bahkan anak-anak, memasuki gelanggang maut dengan dada terbuka, keris terhunus, dan harga diri yang tak pernah tunduk.


Mereka tahu peluru akan lebih cepat daripada langkah mereka, namun mereka melangkah juga. Mereka tahu tombak tak akan menembus senjata modern, namun mereka mengangkatnya juga. Mereka tahu bahwa hidup akan dirampas, tetapi kehormatan tidak boleh disentuh.


Puputan Badung bukan sekadar catatan sejarah; ia adalah gelegar terakhir sebuah keberanian yang menolak padam, gema dari manusia-manusia yang memilih kemerdekaan batin di saat mereka kehilangan segalanya. Di antara asap puri yang hangus, tubuh-tubuh yang terbaring, dan keris-keris yang masih hangat, tersisa satu hal yang tak pernah bisa dijarah:

martabat mereka yang gugur tanpa menunduk.


Dengan darah mereka sendiri, para leluhur menulis bab yang paling pahit namun paling berani dalam sejarah Bali—sebuah bab yang hidup bukan karena kemenangan, tetapi karena keteguhan yang tak dapat dikalahkan oleh siapa pun.


...................

.....................................


- Ket. foto: 

* Jenazah Pangeran Badung dipindahkan ke Puri Denpasar setelah pertempuran bunuh diri (poepoetan) pada ekspedisi Bali ketujuh yang ditujukan terhadap Pangeran Badung.

* Pembuat/lainnya: Weede, HW van.


sumber foto: KITLV

sumber tulisan: De arbeider; socialistisch weekblad voor de provincie Groningen, edisi 27 Oktober 1906

Disunting: Marjafri, pendiri dan ketua komunitas anak nagari

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »