Baratan: Sejarah Negeri Tanpa Kasta di Bali

Baratan: Sejarah Negeri Tanpa Kasta di Bali
Di sebuah perbatasan sunyi antara wilayah Tabanan dan Boeleleng, pernah berdiri sebuah negeri kecil yang makmur, kuat, dan disegani: Baratan. 
***
Negeri yang Sirna dari Peta, tetapi Tidak dari Ingatan

Di sebuah perbatasan sunyi antara wilayah Tabanan dan Boeleleng, pernah berdiri sebuah negeri kecil yang makmur, kuat, dan disegani: Baratan. Kini, tak ada lagi yang tersisa selain hutan lebat, rumpun bambu raksasa, dan sisa-sisa parit tua yang membisu. Sekitar 150 tahun sebelum catatan ini ditulis pada 1870, Baratan mengalami kehancuran total melalui sebuah pengkhianatan yang terencana dengan rapi—sebuah tragedi yang menghapus satu peradaban kecil dari peta sejarah Bali.

** Republik Baratan: Negeri Tanpa Kasta

Pada masa jayanya, Baratan dikenal sebagai sebuah republik yang unik. Penduduknya merupakan orang Bali asli yang menolak sistem pembagian kasta. Mereka juga memeluk keyakinan religi tersendiri dan tetap setia menyembah dewa-dewa leluhur yang berbeda dari sistem keagamaan kerajaan-kerajaan besar di sekitarnya.

Sekitar 1.600 kepala keluarga hidup menetap di Baratan. Kehidupan mereka bertumpu pada keahlian menempa logam: emas, perak, dan tembaga. Hasil karya mereka terkenal di seluruh pulau karena keindahan dan ketahanannya. Dari kerja keras tanpa henti inilah Baratan mencapai tingkat kemakmuran yang tinggi, cukup untuk berdiri sebagai sebuah negara kecil yang mandiri dan disegani.

Namun, kemakmuran itu justru menabur benih kecemburuan.

** Kecemburuan Kerajaan-Kerajaan Besar

Kerajaan-kerajaan besar di sekeliling Baratan—Mengoei, Tabanan, dan Boeleleng—memandang negeri kecil itu sebagai ancaman. Kekayaan, kemandirian, dan kekuatan militernya menimbulkan iri yang semakin membesar.

Beberapa kali mereka mengerahkan ribuan pasukan untuk menyerang Baratan. Namun setiap serangan selalu gagal. Keberanian penduduk Baratan mematahkan semua upaya penaklukan bersenjata. Negara kecil itu, meski tampak remeh di peta, terbukti sangat sulit ditundukkan.

Kegagalan demi kegagalan membuat para penyerang mengubah strategi. Jika kekuatan tidak berhasil, maka tipu daya dijadikan senjata.

** Perdamaian Palsu dan Tipu Muslihat

Baratan kemudian ditawari perjanjian damai. Perdamaian itu diterima dengan itikad baik. Hubungan antarnegara kembali tampak harmonis, bahkan disebut sebagai persahabatan. Aktivitas perdagangan pun kembali ramai seperti sedia kala. Ratusan pedagang dari berbagai wilayah berdatangan untuk menukar barang mereka dengan hasil logam Baratan.

Tanpa rasa curiga, penduduk Baratan menerima para pendatang itu sebagai tamu. Bahkan ketika jumlah mereka semakin membeludak, setiap rumah bersedia menampung empat hingga lima orang. Keramahan menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat Bali saat itu—dan justru di situlah kehancuran disemai.

** Malam Pembantaian di Baratan

Pada suatu malam yang tampak biasa, ratusan orang dari Boeleleng, Tabanan, dan Mengoei memenuhi Baratan. Mereka disambut, diberi makan, dan dipersilakan beristirahat. Larut malam, seluruh desa terlelap dalam tidur nyenyak.

Namun di balik kegelapan itu, pengkhianatan bergerak.

Pada satu isyarat yang telah disepakati, para tamu bangkit secara serentak. Mereka menyembunyikan senjata-senjata yang mereka temukan di dalam rumah-rumah. Dengan tali yang telah mereka persiapkan, mereka membelenggu penduduk yang masih tertidur—laki-laki, perempuan, hingga anak-anak—tanpa perlawanan berarti.

Segala sesuatu berlangsung begitu cepat. Bahkan sebelum sebagian besar warga benar-benar tersadar, mayoritas penduduk telah terikat. Siapa pun yang mencoba melawan dibunuh tanpa ampun.

Sekitar 7.000 orang Baratan ditawan dan dibawa pergi sebagai budak.

** Musnahnya Sebuah Negeri

Setelah penduduknya dilumpuhkan, Baratan dijarah habis-habisan. Seluruh kekayaan dirampas. Rumah-rumah dibakar. Desa itu dijadikan lautan api. Apa yang tidak hangus oleh api, kemudian dihancurkan sepenuhnya oleh pihak Mengoei, yang saat itu secara administratif menguasai wilayah Baratan.

Dalam waktu singkat, sebuah negeri yang pernah makmur lenyap sama sekali dari permukaan bumi.

** Jejak yang Tersisa: Hutan, Parit, dan Batu-Batu Tua

Di tempat di mana dahulu berdiri negeri yang hidup dan berdenyut oleh aktivitas manusia, kini hanya tersisa pepohonan tinggi, bambu raksasa, serta bekas parit lama (gloembang) dan bongkah-bongkah tembok tanah dan batu (tombok). Tidak ada lagi tanda-tanda kemewahan, tidak ada lagi suara palu pandai besi, tidak ada lagi kehidupan kota.

Baratan telah kembali ditelan alam.

** Keturunan yang Tetap Bertahan

Meski negaranya telah dihancurkan, garis keturunan Baratan tidak sepenuhnya lenyap. Di sebuah desa kecil di dekat Singa Raja, para warga yang diyakini sebagai keturunan mereka masih bertahan hingga masa penulisan tahun 1870.

Mereka tetap setia pada keahlian leluhur: menjadi pandai besi, pandai tembaga, dan pandai emas. Agama mereka melarang bertani, dan mereka tetap memegang teguh kepercayaan terhadap dewa-dewa nenek moyang.

Di tengah kehancuran sejarah, tradisi itu menjadi satu-satunya warisan yang masih hidup.

** Penutup: Baratan dan Wajah Gelap Sejarah

Kisah Baratan memperlihatkan bahwa sebuah peradaban tidak selalu runtuh oleh peperangan terbuka. Terkadang, kehancuran justru datang melalui senyuman, janji damai, dan jamuan makan yang berujung pada pembantaian dalam tidur.

Baratan bukan sekadar desa yang hilang, melainkan simbol tentang bagaimana pengkhianatan mampu menghapus sebuah negeri, sekaligus pengingat kelam tentang rapuhnya rasa percaya dalam sejarah manusia.

---

*Disunting dari : Tijdschrift voor Neerland's Indiƫ, jilid 4, tahun 1870*
*marjafri, jurnalis

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »