| Pengamat politik, Rocky Gerung menilai bencana banjir dan longsor besar di Sumatera bukan sekadar peristiwa alam, melainkan cermin paradoks cara negara bekerja. |
Di satu sisi, warga bergerak spontan menggalang donasi miliaran rupiah.
Di sisi lain, pemerintah dinilai gagap menetapkan status bencana nasional dan sejumlah pejabat justru menjadikan lokasi bencana sebagai panggung pencitraan.
Dalam perbincangan di kanal YouTube miliknya, Rocky menyebut solidaritas warga jauh lebih tanggap dibanding kinerja negara.
Ia menyinggung penggalangan dana yang dilakukan masyarakat sipil, relawan, mahasiswa, hingga komunitas-komunitas kecil yang sanggup mengumpulkan bantuan besar dalam waktu singkat.
Sementara itu, keputusan pemerintah pusat untuk menaikkan status menjadi bencana nasional masih juga tertahan, padahal dampak bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sudah menelan ratusan korban jiwa dan menghancurkan infrastruktur di banyak wilayah.
Menurut Rocky, situasi ini sekaligus memperlihatkan betapa kuatnya rasa kemanusiaan di masyarakat sipil.
Ia menyebut uluran tangan publik sebagai bukti bahwa nilai “kemanusiaan yang adil dan beradab” dalam Pancasila masih hidup di tengah warga.
Kontrasnya, negara justru tampak ragu dan lamban, seolah berhitung lebih dulu soal konsekuensi anggaran bila status bencana nasional diumumkan.
“Orang sekarang menganggap lebih baik bayar pajak lewat bencana daripada ditagih pemerintah,” sindir Rocky, menggambarkan ketidakpercayaan publik terhadap cara negara mengelola pajak dan anggaran, terutama ketika diuji dalam situasi darurat.
Rocky juga menyoroti maraknya aksi pejabat yang hadir di lokasi bencana dengan kamera mengikuti di belakang.
Ia menyebut cara seperti itu bukan empati, melainkan sekadar “tebar pesona” di tengah penderitaan warga.
Ia mencontohkan aksi pembagian bantuan dari helikopter yang disorot dari berbagai sudut kamera, hingga gaya panggul karung beras yang dipamerkan pejabat di depan media.
Menurutnya, gestur seperti itu lebih mirip pertunjukan kekuatan fisik ketimbang kepemimpinan yang mampu membaca akar masalah bencana.
“Di mana ada kamera, di situ enggak ada empati. Itu artinya mau pamer,” ujar Rocky, menilai bahwa yang dijual ke publik adalah citra, bukan kerja mitigasi yang sungguh-sungguh.
Rocky juga mengkritik pernyataan sebagian pejabat yang terkesan meremehkan situasi sebelum melihat langsung kondisi di lapangan.
Ia menyinggung pernyataan pejabat yang menyebut banjir “tidak seseram di media sosial”, sebelum akhirnya meminta maaf setelah menyaksikan langsung kehancuran di daerah terdampak.
Sikap seperti itu, menurut Rocky, hanya menguatkan kesan bahwa empati pemerintah datang terlambat.
Dalam percakapan itu, Rocky juga menyinggung kecenderungan pejabat yang justru menyindir mahasiswa karena dianggap tidak ikut turun langsung mengangkut bantuan.
Ia menilai sudut pandang seperti itu keliru dan menempatkan beban yang seharusnya ada di pundak negara ke bahu warga biasa.
“Enggak mungkin disuruh mahasiswa untuk panggul-panggul beras. Itu tugas lembaga-lembaga negara yang memang dibentuk untuk mempercepat mitigasi,” tegasnya.
Rocky menyoroti bagaimana Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari berbagai kampus, komunitas relawan, hingga kelompok ibu-ibu justru sibuk menggalang donasi kecil-kecilan—mulai Rp5.000—yang kemudian terkumpul menjadi ratusan juta hingga miliaran rupiah.
Di sisi lain, lembaga negara yang punya kewenangan, anggaran, dan struktur birokrasi lengkap dinilai justru lamban dan tak terkoordinasi.
Rocky mengaitkan bencana di Sumatera dengan kerusakan lingkungan yang sudah lama dibiarkan.
Ia menyoroti pembalakan hutan dan pemberian izin usaha kepada korporasi besar di kawasan Batang Toru dan sekitarnya, yang belakangan menjadi sorotan publik setelah banjir bandang membawa gelondongan kayu tanpa daun terbawa arus ke pemukiman.
Ia menyebut, banjir bandang di Sumatera bukan sekadar akibat hujan ekstrem dan siklon tropis, tetapi juga buah dari eksploitasi hutan yang sistematis.
Sejumlah kajian dan laporan lembaga seperti WALHI menilai kerusakan ekologis di ekosistem Batang Toru dipicu aktivitas tambang, perkebunan, dan proyek energi yang membuka tutupan hutan secara masif.
Kementerian Lingkungan Hidup sendiri telah menyatakan akan memanggil delapan perusahaan yang beroperasi di sekitar Daerah Aliran Sungai Batang Toru untuk dimintai keterangan terkait dugaan kontribusi mereka terhadap kerusakan lingkungan yang memperparah bencana.
Rocky menilai pola ini sebagai akibat dari “persekongkolan” kepentingan antara sebagian pejabat dan korporasi.
Ia menyebut adanya potensi hubungan tidak sehat ketika pejabat duduk sebagai komisaris, langsung maupun melalui keluarga, di perusahaan-perusahaan yang mendapat izin mengelola sumber daya alam di wilayah hulu.
“Eksploitasi manusia atas manusia melahirkan eksploitasi manusia terhadap alam. Yang kena musibah justru mereka yang tak punya akses informasi dan kebijakan,” ujarnya.
Salah satu titik kritik paling tajam Rocky adalah soal lambannya pemerintah pusat menetapkan status bencana nasional atas tragedi banjir dan longsor di Sumatera.
Padahal, sejumlah kepala daerah sudah menyampaikan tak sanggup menanggung beban penanganan dan pemulihan sendirian.
Menurut Rocky, bila status bencana nasional ditetapkan, negara berkewajiban menanggung biaya mitigasi, pemulihan jangka panjang, hingga rehabilitasi sosial-ekonomi korban.
Keterlambatan keputusan ini ia sebut sebagai bentuk “kecurangan” politik, sebab selama ini pusat menikmati kue ekonomi dari eksploitasi sumber daya alam di daerah yang kini justru menanggung kerusakan paling parah.
Ia menyebut Presiden Prabowo semestinya memberi sinyal tegas dengan segera menetapkan status bencana nasional dan sekaligus meninjau kembali seluruh izin dan proyek yang sejak beberapa tahun terakhir telah diperingatkan berpotensi memicu katastrofi ekologis.
Bagi Rocky, himbauan umum agar warga menjaga lingkungan atau memasukkan materi perlindungan hutan dalam kurikulum sekolah tidak cukup.
Anak-anak, kata dia, justru perlu diajak melihat langsung bagaimana hutan ditebang, bagaimana satwa seperti gajah terusir dari habitatnya, dan bagaimana desa-desa terjepit di antara dinding industri dan konsesi.
“Akar persoalan bukan di hilir, tetapi di hulu. Energi boleh saja disebut bersih di hilir, tapi kalau di hulu hanya dikuasai segelintir pemain dengan proses izin yang timpang, itu kotor secara politik,” tutur Rocky.
Tragedi banjir dan longsor di Sumatera, dengan ratusan korban jiwa dan kerugian ekonomi yang ditaksir puluhan triliun rupiah, menjadi ujian besar bagi pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto.
Di tengah janji pemberantasan korupsi, peningkatan kesejahteraan, dan pembangunan berkelanjutan, publik kini menagih konsistensi sikap negara: berani menertibkan izin usaha yang merusak lingkungan, transparan membuka data, dan hadir cepat tanpa menjadikan bencana sebagai panggung pencitraan.
Rocky menutup perbincangan dengan ajakan agar publik terus mengawasi, mengkritik, dan menagih kejujuran pemerintah dalam menata ulang tata kelola lingkungan dan kebencanaan.
Bagi dia, bencana di Sumatera adalah alarm keras bahwa nilai kemanusiaan dan keadilan sosial yang tertulis di Pancasila hanya akan bermakna jika negara berhenti menutup mata terhadap jejak eksploitasi di balik lumpur dan puing-puing di daerah terdampak.
“Salam akal sehat,” pungkasnya. (*)
Sumber: Herald ID
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »