Yang Bertahan dari Banjir dan Longsor: Sejarah Ketangguhan Jalur dan Jembatan Kereta Api Lembah Anai

Yang Bertahan dari Banjir dan Longsor: Sejarah Ketangguhan Jalur dan Jembatan Kereta Api Lembah Anai
Bagian paling krusial dari jalur ini terletak di antara Kayu Tanam dan Padang Panjang, yang membelah celah sempit pegunungan Anai—sebuah lorong alam dengan dinding curam, lembap, dan rawan bencana. 

SEJAK
akhir abad ke-19, jalur kereta api Sumatra’s Westkust bukan sekadar sarana angkutan, melainkan urat nadi yang menghubungkan pesisir barat Sumatra dengan dataran tinggi Minangkabau. Jalur inilah yang mengikat Padang—Kayu Tanam—Padang Panjang, sebuah lintasan yang oleh para insinyur kolonial sendiri diibaratkan sebagai tangga yang memungkinkan manusia “memanjat” dari Benedenlanden (dataran rendah) menuju Bovenlanden (dataran tinggi).

Bagian paling krusial dari jalur ini terletak di antara Kayu Tanam dan Padang Panjang, yang membelah celah sempit pegunungan Anai—sebuah lorong alam dengan dinding curam, lembap, dan rawan bencana. Namun justru di sinilah tampak dengan jelas bagaimana rel, jembatan, dan manusia diuji oleh alam, berulang kali, dan tetap dibangun kembali.

Rel yang Mendaki Gunung

Perbedaan ketinggian di lintasan ini luar biasa.
Kayu Tanam berada pada ketinggian 144 meter di atas permukaan laut. Hanya lima kilometer ke atas, halte Kandang Ampat sudah berada di ketinggian 305 meter. Empat kilometer berikutnya, Kampung Tengah mencapai 470 meter. Dan Padang Panjang—lima kilometer setelahnya—terletak di ketinggian sekitar 772 meter.

Artinya, dalam jarak 15 kilometer, kereta api harus menanjak lebih dari 630 meter, sebanding dengan jarak antara Den Haag dan Leiden di Belanda, namun dengan perbedaan elevasi yang ekstrem. Kemiringan ini terlalu curam untuk sistem rel biasa, sehingga digunakan rel bergerigi sistem Riggenbach, teknologi khusus untuk tanjakan tajam, yang dipasang di banyak bagian jalur ini.

Lembah yang Indah—Sekaligus Mematikan

Air hujan dari pegunungan Merapi dan Singgalang mengalir melalui celah ini menuju laut, terutama lewat Sungai Anai, Aia Putih, dan sejumlah anak sungai kecil. Dalam kondisi normal, sungai-sungai ini tidak berbahaya. Airnya deras namun jernih, mengalir di antara bongkah batu besar, menambah keindahan lanskap yang memesona.

Namun keindahan ini berubah menjadi kehancuran ketika hujan turun bukan lagi sebagai hujan tropis biasa, melainkan curahan air tanpa henti.

Pada malam Natal 1892, banjir besar (banjir bandang) menghantam lembah ini. Sungai Anai meluap menjadi arus raksasa, merobek jalur kereta api dan jalan raya utama ke dataran tinggi hanya dalam hitungan menit. Sebuah jembatan besi bentang 50 meter terseret setelah pondasinya tergerus, dan baru berhenti 40 meter di hilir dalam kondisi remuk. Di Kampung Tangah, sebuah jembatan parabola lainnya hancur total tak tersisa meskipun hanya seukuran kertas tulis.

Perbaikan pascabencana itu menelan biaya sekitar 600.000 gulden, jumlah yang sangat besar pada masanya. Namun hasilnya nyata: dari 1893 hingga Januari 1904, jalur ini berfungsi tanpa gangguan berarti.

Bencana 5 Januari 1904: Alam Menguji Lagi

Pada 5 Januari 1904, hujan ekstrem kembali mengguyur pegunungan. Kali ini, kerusakan bukan hanya disebabkan oleh luapan air sungai, tapi juga oleh longsoran tanah besar-besaran yang menimpa rel.

Kejadian ini sangat mengkhawatirkan karena tambang batu bara Ombilin sedang beroperasi penuh. Kapal-kapal yang datang dari Eropa mengandalkan pasokan batu bara di Pelabuhan Emma (Teluk Bayur), terlebih saat pasokan dari Jepang terancam akibat gangguan pengiriman.

Untungnya, kerusakan tahun 1904 tidak sebesar bencana 1892. Dalam waktu lima minggu, hubungan antara dataran rendah dan dataran tinggi berhasil dipulihkan. Persediaan batu bara di pelabuhan pun cukup untuk menjaga kelangsungan pelayaran. Yang lebih penting: seluruh perbaikan besar tahun 1892 terbukti kokoh dan berfungsi sebagaimana mestinya.

Sungai yang murka

Sungai Anai selama 13 tahun mengalir tenang di sisi rel dan jalan raya. Namun ketenangan tersebut diuji saat batang pohon dan bongkah batu yang runtuh dari gunung menyumbat alurnya, sekitar 500 meter di hulu jembatan Tambun Tulang.

Sumbatan ini memicu amarah sungai. Air menerobos penghalang itu, menghantam pondasi jembatan, dan menghancurkan jembatan besi parabola bentang 50 meter, persis seperti yang pernah terjadi di Kampung Tengah lebih dari satu dekade sebelumnya.

Hujan semakin deras. Komunikasi telegraf terputus. Kereta nomor 11 yang berangkat dari Padang pukul satu siang tak pernah tiba di Padang Panjang. Tim penyelamat yang dikirim terpaksa berjalan kaki di tengah badai, hingga akhirnya mundur karena malam dan bahaya longsor.

Kereta tersebut ternyata terhenti hanya 200 meter sebelum Kampung Tengah, terjebak longsoran di depan dan belakang. Para penumpang, kebanyakan penduduk pribumi terpaksa bermalam di dalam gerbong.

Ketika cuaca membaik, kehidupan darurat pun tumbuh: api dinyalakan, makanan dimasak, dan halte berubah menjadi ruang bertahan hidup. Bahkan kepala halte sempat menjual persediaan makanannya dengan harga yang sangat tinggi, ”sebuah ironi di tengah bencana besar."

Kerusakan Teknis yang Mengerikan

Di beberapa titik, rel tertimbun tanah dan batu hingga 150 meter panjangnya. Di tempat lain, sebuah jembatan kecil tergerus pondasinya. Pada satu titik paling parah, seluruh struktur rel, termasuk rel bergerigi dan bantalan baja, tergeser dari tanggul dan terlempar ke sungai, melintasi jalan raya pos.

Banjir bandang kemudian datang seperti tembok air setinggi hingga enam meter di atas permukaan normal. Kepala jorong Guguk menyaksikan langsung kedahsyatan arus ini. Jembatan besar Tambun Tulang kembali runtuh.

Dibangun Kembali - Sekali Lagi

Respons cepat dilakukan. Insinyur kepala W. de Jongh bersama Lindhout segera mengatur perbaikan. Ratusan pekerja didatangkan dari Ombilin. Gudang darurat dibangun. Dalam hitungan hari, telegraf berfungsi kembali. Dalam sebulan, hampir seribu pekerja terorganisasi.

Alih-alih membangun ulang jembatan yang runtuh, para insinyur memilih memaksa sungai kembali ke alur lamanya, menutup satu bentang jembatan dengan tanggul batu yang diperkuat.

Pada 13 Februari 1904, kereta kembali melintas. Hubungan antara Bovenlanden dan Benedenlanden pulih sepenuhnya.

Warisan yang Bertahan

Lembah kembali tenang. Rel kembali hidup. Para pekerja membuktikan bahwa semangat pembangunan tidak pernah mati. Mereka, para insinyur dan teknisi lama, menunjukkan bahwa jalur ini bukan sekadar infrastruktur, melainkan hasil kecerdasan, keberanian, dan ketekunan menghadapi alam yang ganas.

Ironi Zaman Kini

Jalur dan jembatan kereta api Lembah Anai telah berulang kali dihantam banjir bandang, longsor besar, dan kehancuran struktural. Ia runtuh, lalu dibangun kembali dengan perhitungan teknis, disiplin, dan tanggung jawab, karena sejak awal dipahami sebagai infrastruktur vital, penghubung ekonomi, mobilitas, dan keselamatan wilayah.

Lebih dari satu abad kemudian, ketika ancaman alam dapat dihadapi dengan ilmu dan perawatan, justru muncul wacana pembongkaran sepihak. Bukan karena struktur ini kalah oleh alam, bukan karena ia gagal secara teknis, melainkan karena alasan yang tidak pernah dijelaskan secara terbuka dan rasional kepada publik.

Sejarah 1904 mencatat satu hal dengan jelas:

jalur ini tidak pernah menyerah pada bencana.

Maka jika hari ini ia dihapus, itu bukan kegagalan alam atau teknik, melainkan kegagalan akal sehat, tanggung jawab sejarah, dan kepentingan publik.

Disunting dari: Eigen haard; geilustreerd volkstijdschrift - Beschadiging van den Spoorweg ter Sumatra's Westkust, 5 Januari 1904 DOOR TH. Delphrat.

***Marjafri, Ketua Komunitas Anak Nagari Sawahlunto & Ketua Forum Pencinta Kereta Api Sawahlunto.

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »