 |
| Negara kembali sibuk menghitung. Menjelang penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026, pemerintah pusat dan daerah berbicara tentang formula, indeks, dan angka statistik. (Ilustrasi). |
OLEH: Muhibbullah Azfa Manik
Negara kembali sibuk menghitung. Menjelang penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026, pemerintah pusat dan daerah berbicara tentang formula, indeks, dan angka statistik. Di Sumatera Barat, hitung-hitungan itu berlangsung di ruang rapat berpendingin. Sementara di luar gedung, buruh menghitung dengan cara lain: berapa hari lagi beras habis, berapa cicilan yang tertunda, dan berapa jam lembur yang harus diambil agar dapur tetap mengepul.
Artikel Kompas.com "UMP 2026: Antara Daya Beli Pekerja dan Daya Tahan Usaha" (28 Desember 2025) menyebut pemerintah tetap berpegang pada formula nasional pengupahan—gabungan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks produktivitas. Formula ini dijual sebagai jalan tengah. Namun di Sumatera Barat, jalan tengah itu justru menjauh dari realitas paling dasar: upah minimum tak lagi cukup untuk hidup layak.
Data resmi memang menunjukkan UMP Sumbar terus naik. Pada 2023, angkanya Rp2.742.476. Tahun 2024 naik menjadi Rp2.811.449. Pada 2025, UMP kembali meningkat hingga mendekati Rp2,9 juta. Jika tren formula yang sama diterapkan, UMP Sumbar 2026 diperkirakan menembus Rp3 juta.
Sisi Positif UMP yang Ditawarkan Pemerintah
Ada 4 hal positif atas UMP yang ditawarkan pemerintah antara lain, (1) Stabilitas Ekonomi dan Kepatuhan Nasional: Formula UMP yang seragam di seluruh Indonesia menciptakan kepastian hukum dan koordinasi kebijakan antarprovinsi. Bagi Pemda Sumbar, ini memudahkan penyelarasan dengan program nasional dan menarik investasi yang menginginkan konsistensi regulasi; (2) Melindungi Usaha Kecil dan UMKM: Dengan menghitung indeks produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, pemerintah berargumen bahwa UMP yang terkendali mencegah gelombang PHK dan kebangkrutan usaha—terutama di provinsi seperti Sumbar yang bertumpu pada UMKM. Hal ini dianggap menjaga ketahanan ekonomi lokal; (3) Mendorong Perencanaan Keuangan Daerah: Adanya formula tetap membantu Pemda Sumbar dalam menyusun anggaran dan proyeksi ekonomi daerah. Kenaikan UMP yang gradual memungkinkan dunia usaha beradaptasi tanpa guncangan mendadak; (4) Mengikat Komitmen dalam Forum Tripartit: Meskipun dinilai masih simbolis, forum tripartit memberikan ruang bagi dialog antara buruh, pengusaha, dan pemerintah. Keberadaan UMP memaksa ketiga pihak untuk bertemu dan membahas isu ketenagakerjaan—sesuatu yang mungkin tidak terjadi tanpa kebijakan ini.
Sisi Negatif UMP yang Dihadapi Pemda Sumbar
Sedangkan sisi negatifnya antara lain, (1) Ketertinggalan dari Biaya Hidup:Seperti disorot dalam naskah, kenaikan UMP kerap tidak sebanding dengan lonjakan harga pangan, sewa, transportasi, dan pendidikan di kota-kota seperti Padang dan Bukittinggi. UMP menjadi sekadar batas bertahan hidup, bukan jaminan kehidupan layak; (2) Penyamarataan yang Tidak Adil: Penerapan UMP seragam di seluruh Sumbar mengabaikan perbedaan biaya hidup antara wilayah perkotaan, pesisir, dan pedalaman. Kebijakan ini lebih memudahkan birokrasi ketimbang memenuhi keadilan spasial; (3) Keterbatasan Dukungan Pendampingan: UMP kerap menjadi kebijakan tunggal tanpa diiringi paket pendukung seperti insentif pajak untuk UMKM, pelatihan produktivitas yang massif, atau subsidi energi yang tepat sasaran. Akibatnya, kenaikan upah dipandang sebagai beban, bukan investasi; (4) Melemahkan Daya Beli dan Ekonomi Lokal: Jika upah naik tipis sementara harga melambung, daya beli buruh tetap stagnan. Hal ini berisiko melesukan pasar lokal dan menghambat pertumbuhan ekonomi yang justru digantungkan pada konsumsi rumah tangga.
Perlu Melibatkan Pihak Terkait
Di sinilah politik pengupahan bekerja. Beban penyesuaian selalu diletakkan di pundak buruh. Produktivitas dijadikan mantra untuk menekan tuntutan upah, tanpa kejelasan siapa yang bertanggung jawab meningkatkan produktivitas itu. Akses pelatihan kerja terbatas, pendidikan vokasi tertinggal, dan perlindungan ketenagakerjaan minim. Namun buruh tetap dituntut lebih efisien dengan upah pas-pasan.
Dialog tripartit yang digembar-gemborkan pemerintah pun layak dipertanyakan. Forum itu rutin digelar, tetapi jarang menghasilkan terobosan. Data produktivitas sektoral tidak dibuka secara transparan. Perhitungan kebutuhan hidup layak kerap disederhanakan menjadi angka rata-rata yang menutupi ketimpangan antarwilayah di Sumbar.
UMP diberlakukan seragam, seolah biaya hidup di Padang sama dengan di daerah pesisir atau pedalaman. Kebijakan ini efisien bagi birokrasi, tetapi abai terhadap keadilan sosial. Negara memilih jalan mudah: satu angka untuk semua, satu formula untuk realitas yang beragam.
Ironisnya, UMP juga kerap diperlakukan sebagai kebijakan tunggal. Pemerintah menaikkan upah, lalu selesai. Insentif pajak daerah untuk UMKM minim. Subsidi energi tak menyasar usaha kecil. Pelatihan produktivitas berjalan sporadis. Akibatnya, kenaikan UMP dipersepsikan sebagai beban, bukan bagian dari strategi ekonomi yang utuh.
Kompas.com mencatat bahwa konsumsi rumah tangga adalah penopang utama ekonomi nasional. Namun kebijakan UMP justru berisiko melemahkan konsumsi itu sendiri. Upah naik tipis, harga naik tajam. Daya beli stagnan. Pasar lokal lesu. Negara lalu heran mengapa ekonomi daerah tak bergerak.
Menjelang 2026, pemerintah kembali menjanjikan keseimbangan antara keadilan pekerja dan ketahanan usaha. Janji ini terdengar familiar. Setiap tahun diulang, setiap tahun pula kegelisahan yang sama muncul. UMP diumumkan, polemik mereda sesaat, lalu kehidupan kembali berjalan dengan beban yang nyaris tak berubah.
UMP Sumbar 2026—berapa pun angka akhirnya—akan menjadi penanda pilihan politik negara. Apakah negara benar-benar berpihak pada kerja sebagai sumber martabat hidup? Ataukah UMP hanya dijadikan instrumen stabilitas semu, agar roda ekonomi terus berputar meski buruh berjalan tertatih?
Di Sumatera Barat, UMP bukan sekadar soal rupiah. Ia adalah ukuran keberanian negara untuk berkata jujur: bahwa pertumbuhan ekonomi tanpa upah layak hanyalah statistik kosong. Selama kebijakan pengupahan masih dikurung dalam formula dan kehati-hatian berlebihan, buruh akan terus diminta memahami keadaan—sementara negara terus menghitung dari kejauhan. (*)