Kebenaran Tidak Meninggalkan Pembela Bagiku

Kebenaran Tidak Meninggalkan Pembela Bagiku
SEBAGAI lelaki yang lahir dari suku Ghifar, Abu Dzar adalah seorang pemberani, terus terang dan jujur, sebagaimana umumnya orang-orang gurun. Segera setelah Khalifah Utsman tampil sebagai pemimpin kaum Muslimin, Abu Dzar menyaksikan benih-benih korupsi dan ketidakadilan mulai tumbuh. Kemudian lama-kelamaan menggurita.

Orang-orang di sekeliling Khalifah telah memanfaatkan kedekatan dan kekerabatan untuk meraih sebanyak-banyaknya kekayaan. Para sejarawan mencatat, pada era ini praktik korupsi, kolusi dan nepotisme sudah sedemikian parah.

Abu Dzar yang hidup dan selalu berada dalam bimbingan Nabi, sangat risau melihat kenyataan seperti itu. Ingin rasanya dia menebas leher para penilap uang rakyat itu dengan pedangnya sendiri. Namun dia teringat akan sabda Nabi: “Jika kamu menemukan ketidakadilan, bersabarlah. Jangan gunakan pedangmu, lakukan perlawanan dengan lisanmu.”

Maka mulailah Abu Dzar melakukan perlawanan secara terbuka dengan lisannya. Dia berpidato di berbagai tempat, di tengah orang banyak, di depan tempat tinggal khalifah. Dia tidak pernah ragu untuk menegur pejabat pemerintahan yang batil, walaupun itu kerabat dekat Nabi sendiri.

Karena kerasnya itu, Khalifah Utsman mengasingkan Abu Dzar dari Medinah ke Damsyik (kini Syria), tempat Muawiyah berkuasa sebagai gubernur. Saat itu Muawiyah tengah membangun “Istana Hijau” dengan bantuan arsitek Romawi dan Persia.

Abu Dzar selalu muncul setiap hari di tempat itu. Dia berteriak lantang, “Hai Muawiyah, jika kau bangun istana ini dengan uang sendiri, maka perbuatan itu mubazir. Dan jika kau bangun dengan memakai uang rakyat, maka hal itu merupakan pengkhianatan.”

Ketokohan Abu Dzar mendapat tempat di hati rakyat Damsyik. Banyak orang yang mendukung gerakan moral tersebut. Simpati bagi perlawanan Abu Dzar mengalir setiap hari. Tentu saja kenyataan ini membuat gundah Muawiyah karena khawatir kepopuleran Abu Dzar mengancam posisinya.

Dia mencoba menyuap Abu Dzar dengan sekantong emas. Tapi siasat licik itu ditolak mentah-mentah. Sambil menuding Muawwiyah, Abu Dzar berkata: “Bukankah kalian itu yang oleh Al-Qur’an disebut sebagai penumpuk emas dan perak, dan yang akan dibakar tubuh dan mukanya pada hari kiamat dengan api neraka?!”

Beberapa kali Abu Dzar dibuang ke sejumlah tempat, tapi tidak juga membuatnya kapok. Dia tetap berteriak menuding ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang makin merajalela.

Akhirnya kekesalan Khalifah Utsman memuncak. Abu Dzar dituduh sebagai provokator dan biang keresahan. Maka sahabat Nabi itupun dibuang ke sebuah tempat sunyi di padang pasir, Rabadzah namanya. Lokasi itu adalah gurun panas tanpa air, berada di lintasan jemaah haji. Khalifah melarang orang untuk mendekatinya apalagi memberi bantuan. Abu Dzar dibuang bersama istri dan anak-anaknya.

Di Rabadzah, setelah ditinggal mati oleh anak-anaknya, ia bersama isteri hidup sangat sengsara. Berhari-hari sebelum akhir hayatnya, ia bersama isteri tidak menemukan makanan sama sekali.

Orang mulia yang bernama Abu Dzar Al-Ghifari akhirnya wafat, semasa hidupnya ia pernah berkata: “Kebenaran tidak meninggalkan pembela bagiku…”

Kematian Abu Dzar sesuai sabda Rasul Saw :"Abu Dzar berjalan sendirian, meninggal sendirian dan akan dibangkitkan sendirian....”

Penulis: Denny Siregar, Pengamat Sosial, Politik, dan Budaya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »