Hijrah Dari Sumbar Bangkit Menuju Sumbar Sejahtera

Hijrah Dari Sumbar Bangkit Menuju Sumbar Sejahtera
KATA hijrah berasal dari Bahasa Arab, yang berarti meninggalkan, menjauhkan dri dan berpindah tempat. Dalam konteks sejarah, hijrah adalah kegiatan perpindahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw bersama para sahabat beliau dari Mekah ke Madinah, dengan tujuan mempertahankan dan menegakkan risalah Allah, berupa akidah dan syari’at Islam. Dengan melakukan hijrah Nabi Muhammad saw telah membuka ufuk baru dalam sejarah manusia secara umum dan sejarah dakwah Islam secara khusus. Hijrah adalah permulaan bentuk sebuah negara dan semakin jelas kekuatan kaum muslimin.
"Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan." (Qs. At-Taubah ayat 20). "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqaroh ayat 218).

Hijrah sebagai salah satu prinsip hidup, harus senantiasa dimaknai dengan benar. Secara bahasa hijrah berarti meninggalkan. Seseorang dikatakan hijrah jika telah memenuhi dua syarat, yaitu; Pertama, ada sesuatu yang ditinggalkan. Kedua, ada sesuatu yang dituju (tujuan). Kedua-duanya ahrus dipenuhi oleh seorang yang berhijrah. Meninggalkan segala hal yang buruk, negative, maksiat, kondisi yang tidak kondisif, menju keadaan yang lebih yang lebih baik, positif dan kondisi yang kondusif untuk menegakkan ajaran Islam.

Dalam realitas sejarah hijrah senantiasa dikaitkan dengan meninggalkan suatu tempat, yaitu adanya peristiwa hijrah Nabi dan para sahabat meninggalkan tepat yang tidak kondisuf untuk berdakwah. Bahkan peristiwa hijrah itulah yang dijadikan dasar umat Islam sebagai permulaan tahun Hijriyah. Tahun Hiriyah, ditetapkan pertama kali oleh Khalifah Umar bin Khatab ra, sebagai jawaban atau surat Wali Abu Musa Al-As’ari. Khalifah Umar lalu mengumpulkan beberapa sahabat senior waktu itu. Mereka adalah Utsman bin Affan r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., Abdurrahman bin Auf r.a., Sa’ad bin Abi Waqqas r.a., Zubair bin Awwam r.a., dan Thalhan bin Ubaidillah r.a. Mereka bermusyawarah mengenai kalender Islam.

Ada yang mengusulkan berdasarkan milad Rasulullah saw. Ada juga yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan Muhammad saw menjadi Rasul. Dan yang diterima adalah usul dari Ali bin Abi Thalib r.a. yaitu berdasarkan momentum hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Yatstrib (Madinah). Maka semuanya setuju dengan usulan Ali r.a. dan ditetapkan bahwa tahun pertama dalam kalender Islam adalah pada masa hijrahnya Rasulullah saw. Sedangkan nama-nama bulan dalam kalender hijriyah ini diambil dari nama-nama bulan yang telah ada dan berlaku pada masa itu di wilayah Arab.

Menurut Irwan Prayitno Datuk Rajo Bandaro Basa, Baginda Nabi Muhammad saw adalah sosok pendobrak kebatilan sekaligus pembawa perubahan umat, banyak sejarah dan peristiwa yang telah digoreskan. Di antara goresan sejarah yang sangat monumental dalam perjalanan hidup Rasulullah saw adalah peristiwa hijrah dari kota Mekkah ke kota Madinah. Perjalanan yang amat berat, penuh perjuangan dan tantangan.
Baginda Nabi Muhammad saw., berkata ketika hendak meninggalkan kota Mekkah, “Aku cinta kepadamu hai Kota Mekkah, tempat aku dilahirkan. Namun apalah hendak dikata, aku diusir oleh penduduk negerimu sendiri”. Perpindahan yang sengaja dilakukan secara sembunyi-sembunyi, agar terhindar dari kejaran pasukan multinasional Quraisy, dan terpaksa bermalam di Gua Tsur. Rasulullah saat itu pun sempat berkata, “Laa takhaf wa laa tahzan innallaha ma’ana” (jangan takut dan jangan bersedih hati, sesungguhnya Allah berserta kita).

Dari kisah yang tragis dan mengandung makna mendalam tersebutlah, maka ditetapkan Muharram sebagai bulan pertama tahun penanggalan Islam oleh khalifah Umar ibnu Al Khattab atas saran dari menantu Rasulullah saw, Imam Ali bin Abi Thalib. Muharram adalah salah satu dari empat bulan yang dimuliakan (Rajab, Dzulqaidah, Dzulhijjah, dan Muharram), di dalamnya dilarang melakukan peperangan dan tindak kekerasan lainnya.

Bagi Irwan, hijrah dalam pengertian lahir berarti beranjak dari satu tempat ke tempat lain, sedangkan hijrah yang batin (dan maknawi) adalah adanya perubahan sikap dan perilaku (takhali, tahali dan tadzali). Takhali adalah mengosongkan atau pengosongan, membuang sikap dan perilaku yang lalu, kemudian tahali yang artinya mengganti dengan sikap yang baru (yang bernilai lebih baik, tinggi, dan mulia, dst), dan tadzali merasakan nikmatnya (akibat), sebagai misal, berkat pemurah kita dilindungi orang, berkat suka menolong kita banyak memiliki teman dan beberapa kenikmatan yang diberikan Allah SWT kepada kita.

Semangat hijrah, dijadikan Irwan Prayitno sebagai landasan dalam memimpin Sumatera Barat lima tahun kemaren. Pada saat dilantik sebagai Gubernur Sumatera Barat tanggal 15 Agustus 2010, Irwan mendapatkan daerah yang dipimpinnya porak poranda akibat gempa bumi 30 September 2009. Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan secara darurat di sebuah bangunan yang biasanya digunakan sebagai gudang/garase di kantor DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Sumbar. Kepadatan peserta sidang dan tamu undangan memenuhi gudang yang secara darurat disulap menjadi gedung pertemuan, membuat suasana makin terasa sempit, sumpek, dan panas. Kantor DPRD Sumbar saat itu mengalami rusak berat sehingga untuk sementara tak bisa digunakan.

Kantor Gubernur Sumbar juga tak jauh berbeda. Kantor berlantai empat yang biasa disebut rumah bagonjong ini juga mengalami rusak berat. Ratusan karyawan terpaksa berkantor darurat di bangunan yang sebelumnya adalah gedung pertemuan (aula). Di instansi lain, kebanyakan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) terpaksa membangun barak-barak darurat sebagai kantor tempat bekerja. Gubernur dan Wakil Gubernur terpaksa berkantor darurat di rumah dan bangunan bekas kantor PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga). Sekitar 200.000 rumah penduduk rusak, sekolah, rumah ibadah, jalan dan berbagai fasilitas umum lainnya lumpuh.
Persoalan yang dihadapi tidak hanya  masalah bangunan fisik dan berbagai infrastruktur yang porak-poranda, tetapi juga masalah non fisik. Peristiwa dahsyat ini tidak hanya menghancurkan bangunan fisik, tetapi juga memukul mental masyarakat. Peristiwa ini menimbulkan trauma dan ketakutan yang mendalam, banyak masyarakat yang eksodus meninggalkan Sumatera Barat, termasuk pengusaha dan investor.  Banyak yang meramalkan saat itu, kota-kota yang terletak di kawasan pantai akan menjadi kota mati ditinggal penduduknya untuk menghindari amukan gempa dan tsunami.

Kondisi Ranah Minang yang hancur, baik secara fisik dan mental masyarakatnya pasca gempa, harus dibawa hijrah oleh Irwan ke arah yang lebih baik, yaitu Sumbar bangkit. Sumbar harus bangkit dari keterpurukan, Sumbar harus dipulihkan. Alhamdulillah kerja keras, keseriusan serta doa yang dipanjatkan kehadirat Ilahi tidak sia-sia. Upaya serius,  kerja keras dan doa tersebut  membuat berbagai pihak bersimpati turun tangan membantu. Dengan dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) dan dana masyarakat Sumatera Barat sendiri semua kerusakan itu tak mungkin bisa dipulihkan. Pemerintah Pusat mengucurkan dana sebesar Rp 2,7 triliun lebih untuk rehab rekon Sumatera Barat. Para perantau tak kurang mengucurkan pula dana untuk kampungnya, begitu juga pihak lain, negara sahabat, perusahaan, donatur dan berbagai pihak yang tak mungkin disebutkan satu per satu.

Kini pemandangan seperti tiga atau empat tahun lalu itu tak nampak lagi, bahkan nyaris tak berbekas. Kantor-kantor yang dulu rubuh telah dibangun lagi dan diganti dengan yang lebih baik dan lebih kokoh. Begitu juga rumah masyarakat dan fasilitas-fasilitas umum yang dulu luluh lantak telah dibangun lagi dan kembali berfungsi normal. Hotel-hotel dan aktifitas ekonomi lainnya kembali menggeliat. Suasana mencekam, kini tak terlihat lagi bahkan nyaris terlupakan. Sejumlah escape building telah dibangun. Berbagai upaya dilakukan untuk meyakinkan investor bahwa Sumbar sudah aman dan menguntungkan untuk berinvestasi. Kini investor telah berdatangan ke Sumatera Barat. Belasan hotel yang rusak telah direnovasi dan kembali beroperasi. Belasan lainnya merupakan hotel yang baru dibangun. Sungguh sebuah rahmat, justru terjadi penambahan lebih 2.000 kamar hotel pascagempa.

Harus diakui, Irwan berhasil membawa Sumatera Barat hijrah dari ke hancuran menuju Sumbar Bangkit. Namun tentunya, publik Sumatera Barat bisa menilai, bahwa kebangkitan pasca gempa merupakan momentum awal menuju Sumbar Sejahtera yang diinginkan bersama. Untuk mewujudkan Sumbar Sejahtera itu pun tidak mudah, diperlukan pemimpin yang betul-betul amanah, tulus ikhlas dalam membangun negeri ini. Apatah lagi Sumatera Barat dikenal sebagai daerah supermarket bencana. Banjir, longsor, letusan gunung merapi, abrasi pantai, galodo, gempa bumi, tsunami, angin puting beliung, kemarau panjang, kabut asap pernah terjadi. Karena itu penanganan pembangunan di Sumatera Barat perlu mempertimbangkan situasi dan kondisi kebencanaan tersebut.

Bayak orang yang lantah menginginkan "Sumbar Maju." Padahal, untuk menuju "Sumbar Maju" harus melalui "Sumbar Sejahtera" terlebih dahulu. Tak mungkin suatu daerah akan maju, jika masyarakatnya jauh dari kesejahteraan. Makanya, pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur/Wakil Gubernur Sumatera Barat 2015 ini, Irwan Prayitno yang maju untuk periode kedua berpasangan dengan Nasrul Abit, bertekad mewujudkan Sumbar Sejahtera terlebih dahulu. Menjadi sejahtera itu tidak hanya sekedar mencatatkan angka-angka statistik pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tidak pula karena negeri ini kaya, maju dalam bidang teknologi dan tingginya tingkat industrialisasi dan modernisasi.
Dalam kacamata yang berdimensi lebih luas, Irwan mendefinisikan “kesejahteraan” tidak hanya sekedar capaian yang melampaui dari ukuran-ukuran angka pertumbuhan ekonomi semata. Bagi Irwan, kesejahteraan berarti semakin terbukanya kesempatan dan kemampuan (capability) untuk mendapatkan hak-hak dasar sebagai seorang manusia. Sebut saja cukup dan terpenuhinya kebutuhan pangan, mendapatkan pendidikan dasar yang memadai, bebas dari buta huruf, selalu dalam keadaan sehat, terhindar dari kematian (avoiding escapable morbidity), atau berupa kondisi abstrak semisal menjadi bahagia, dihormati, bebas dari rasa takut, bebas dari ancaman penghilangan secara paksa, bebas mengemukakan pendapat, serta bisa berpartisipasi dalam kehidupan sosial bermasyarakat.

Irwan lebih melihat kesejahteraan itu dari dua sisi. Yang pertama dari sisi psikis atau moril yang meliputi sosial, agama, budaya dan lainnya, serta dari sisi fisik atau materil. Jadi, pendekatannya lebih kepada pemberdayaan dan pengembangan sumber daya manusia, atau yang lebih dikenal dengan Human Development Index (HDI). Jika bagi kebanyakan orang, HDI kerap dikaitkan dengan sekedar urusan pengembangan sumber daya manusia, atau pengembangan SDM dalam arti sempit. Namun bagi Irwan, HDI sesungguhnya akan mampu membawa paradigma baru yang akan menjungkirbalikkan cara pandang tentang pembangunan, tentang apa yang harus dicapai, ke arah mana pembangunan harus dilakukan, serta siapa-siapa yang harus disentuh oleh pembangunan itu sendiri.

Khusus di Sumatera Barat, sesuai dengan kultur masyarakatnya, mewujudkan daerah dan masyarakat sejahtera itu harus dilakukan melalui tiga pola pendekatan, yakni geografis, budaya dan prilaku. Apatah lagi, karakter masyarakat Minang bukanlah tipe yang dipekerjakan, melainkan harus diberdayakan. Irwan yakin, pola ini akan mampu dalam mengurai kemiskinan dan menjadi langkah paling bernas untuk meraih kesejehteraan.

Budaya dan kebiasaan orang Minang, sebut Irwan lagi, memperlihatkan program pemberdayaan masyarakat sangat baik dan memberikan dampak positif bagi kemajuan daerah, terutama dalam upaya menuntaskan kemiskinan dan mengurangi pengangguran. Jika di provinsi lain dapat melakukan program dengan pengembangan bidang industri, dan program usaha yang membutuhkan banyak tenaga kerja, di Sumatera Barat justru sebaliknya.

Tipe masyarakat Sumatera Barat tidak memiliki bakat sebagai buruh atau pekerja harian. Mereka lebih suka menyandang status sebagai wirausaha, walaupun sebagai usahawan kecil dan menengah. Nah, inilah yang harus diberdayakan. Jadi, tidak usah dulu terlalu jauh untuk berfikir maju (punya gedung-gedung bertingkat, punya banyak pabrik, industri, dll). Karena jelas, indikator sejahtera tidak hanya sebatas itu. Untuk bisa maju, semua harus sejahtera dulu.
"Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS. al-A’raf ayat 56). "Dan rahmat-Ku meliputi segala  sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami. (Iaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi." (QS. al-A'raf ayat 156-157). "Orang-orang yang penyayang, maka Allah akan menyayangi mereka (memberikan rahmat kepada mereka), sayangilah dan kasilah penduduk bumi, nescaya penduduk langit akan menyayangi kalian." (HR. Abu Daud dan at-Tirmidzi).

Robbanaa aatinaa min ladunka rohmatan wa hayyi lanaa min amrinaa rosyadaa. Laa ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadz dzolimin. Ya Allah, berilah rahmat pada kami dan beri kami petunjuk yang lurus serta sempurna. Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sungguh aku termasuk orang-orang yang zholim. Wallahu A'alam Bishawab.

Ditulis Oleh :
Zamri Yahya
Waki Ketua Forum Komunikasi Anak Nagari (FKAN) Pauh IX Kota Padang/Pimpinan Bara Online Media (BOM) Group

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »