PAGI itu, saya buka tablet usang yang menjadi kebanggaan saya siang malam untuk berasyik masyuk didunia maya. Kabel carger masih tergantung di tablet dan dengan masih bermalas-malasan saya cek obrolan private ataupun postingan di group WA. Betapa kagetnya saya, ternyata ada pesan dari seseorang yang membuat saya ta’jub.
Isi pesannya “…….bisa saya telepon sekarang?” Saya jadi salah tingkah, panik, karena ternyata pesan tersebut dikirim pada pukul 22.35. Sayapun berencana hendak menelpon orang tersebut, namun karena etika, rasanya ndak pantas saya telepon, karena berkemungkinan “beliau” tersebut lagi sibuk ataupun ada kegiatan yang tidak boleh diganggu. Akhirnya saya membalas pesan “beliau” dengan meminta maaf, karena tablet semalaman di carge dan tidak sempat melihat pesan karena keburu tidur. Persoalan selesai setelah saya mendapatkan jawaban yang menyenangkan dari “beliau”.
Isi pesannya “…….bisa saya telepon sekarang?” Saya jadi salah tingkah, panik, karena ternyata pesan tersebut dikirim pada pukul 22.35. Sayapun berencana hendak menelpon orang tersebut, namun karena etika, rasanya ndak pantas saya telepon, karena berkemungkinan “beliau” tersebut lagi sibuk ataupun ada kegiatan yang tidak boleh diganggu. Akhirnya saya membalas pesan “beliau” dengan meminta maaf, karena tablet semalaman di carge dan tidak sempat melihat pesan karena keburu tidur. Persoalan selesai setelah saya mendapatkan jawaban yang menyenangkan dari “beliau”.
Persoalan tidak selesai sampai disitu, tak berapa lama, sekira 2 jam kemudian, saya kembali terkaget-kaget, ada lagi pesan private di WA saya, “…….. boleh saya telpon?” waduh…. Saya menyalahkan diri sendiri, karena tak selalu dekat dengan tablet dan mencek pesan yang ada. Akhirnya, saya berkesimpulan, saya harus telpon “beliau”, agar tak berketuntang lagi hati, agar sedap pula rasa jiwa.
Pada deringan pertama telepon saya langsung diangkat, lalu terjadilah perbincangan yang sangat akrab tak berjarak, layaknya teman yang telah bersahabat puluhan tahun. Segan saya jadinya, karena sang “beliau” buat saya terlalu bermurah, terlalu merendahkan diri untuk berbasa-basi dengan saya yang bukan sesiapa.
Saya berfikir, alangkah indahnya akhlak “beliau” ini, yang tidak merasakan sebagai orang penting, sebagai penguasa, sebagai pejabat utama, sebagai orang berpendidikan tertinggi, sebagai orang yang sangat didambakan rakyatnya untuk bertemu dan bercakap-cakap. Setiap orang di Sumatera Barat pasti ingin dekat, bersenda gurau, kalau perlu berfoto bersama.
Nah…..Biasanya seseorang yang telah berkuasa, punya kedudukan penting, tak penting benarlah menanyakan seseorang itu lagi apa, karena yang ditelepon adalah “anak buahnya”, rakyatnya. Kalau ada mau sesuatu pasti akan langsung telepon dan orang-orang pasti akan sangat bangga menerima telepon dari “beliau”, kalau perlu membayar, membayarlah, asal “beliau” bisa telpon mereka.
Namun anehnya, sang “beliau” dengan akhlak dan kesantunannya, “mintak izin” dulu kepada saya yang pasti akan sangat bangga pula ditelepon oleh “beliau”. Kalau perlu telepon beliau tersebut, saya save, tidak saya hilang-hilangkan. Tiap bertemu orang akan saya unjukkan, bahwa saya tadi ditelepon oleh “beliau”.
Biar panas pula hati kawan-kawan saya, biar orang-orang tahu, babhwa saya berkawan dengan orang penting, maka bak rasa orang penting pulalah saya. Kalau perlu saya capture jam, tanggal “beliau” menelpon saya. Serasa diatas karambia pongkong saya, karena bangganya ditelepon oleh beliau. Entahlah, penuh hati saya menceritakannya nanti.
Saya terharu, budi, akhlak beliau sungguh menyusup kalbu. Tak perlulah rasanya baca buku tentang etika, tak perlu pulalah awak berkuliah tentang akhlak, karena dalam diri “beliau” telah ada contoh suri tauladan tentang kesantunan itu sendiri. Kepada saya saja beliau seperti itu, apalagi kepada masyarakat yang lain… subhanallah…
Rasanya buat awak-awak, tak pentinglah menanyakan dulu kepada orang lain untuk boleh menelpon atau tidak. Tak peduli pulalah kita dengan kondisional seseorang saat kita menelpon. Pokoknya kita ada perlu, telepon saja. Kalau perlu kangkang kuyak orang itu mengejar telponnya yang berdering, karena mungkin kita orang penting buat orang itu. Namun sang “beliau” dengan kesantunan yang telah melekat dalam perilakunya, menghargai orang lain dengan terlebih dahulu menanyakannya, boleh atau tidak. Subhanallah…
Saya tak bisa lagi bercakap-cakap tentang kesantunan, tentang etika dan akhlak tampa membandingkannya dengan akhlak etika beliau. Saya perhatikan, setiap “beliau” bicara dengan orang lain, “beliau” selalu menganggap diri orang lain atau lawan bicaranya adalah orang penting. Beliau fokus dan matanya tak lepas dari orang yang bicara dengannya, sehingga orang tersebut benar-benar dianggap orang penting oleh beliau.
Menghargai….!!! Betul, itu suatu contoh akhlak yang menghargai orang lain. Ini adalah fatsoen yang sangat jarang dan langka oleh para petinggi kita saat ini.Saya berasumsi, bahwa “beliau” tidak membeda-bedakan orang lain. Kaya, miskin, tua, muda, pejabat ataupun tidak, dimata “beliau” adalah sama.
Makanya ada ketersinggungan pepara mereka yang dianggap tokoh atas sikap “beliau” yang menyamaratakan sikapnya dengan orang kebanyakan. Padahal pepara tokoh merasa mereka harus dihormati lebih dari orang-orang kebanyakan, kalau perlu “beliau” membungkuk-bungkuk sedikit, biar terasa ketokohan mereka. Kalau datang dari rantau dijemput, kalau perlu disediakan fasilitas lainnya dengan karpet merah. Namun bagi “beliau”, hal tersebut tidak berlaku, karena bagi beliau siapapun adalah sama.
Hal inilah yang menyebabkan beberapa tokoh-tokoh yang merasa tokoh (entah siapa yang menokohkan), merasa sakit perut atau sakit gigi dengan ulah beliau ini. Tak tanggap “beliau” ini rupanya dengan kemauan beberapa tokoh yang minta ditokohkan. Dibencilah beliau, diseranglah beliau. Berkompak-kompak pulalah beberapa tokoh itu menghantam “beliau” dengan berbagai teori-teori yang kadang tidak dimengerti oleh rakyat kebanyakan.
Itulah beliau, dengan sabar dan tawadhu’ tetap berpegang dengan prinsipnya yang tidak membeda-bedakan orang, menghormati orang lain. Adakah beliau-beliau lain selain “beliau”? Mudah-mudahan ada, dan saya merasa harus ada, karena kita membutuhkan orang-orang seperti “beliau” untuk membangun sumatera barat yang sejahtera. Beliau itu adalah Prof DR H Irwan Prayitno, Psi, M.Sc., Datuk Rajo Bandaro Basa.
Solok, 4 Nopember 2014 Jam 21.50 WIB
Jr Bendank
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »