Jangan Sampai Pak Em Ikut Pula Masuk Got

Jangan Sampai Pak Em Ikut Pula Masuk Got
Wakil Walikota H Emzali dan KSB Kota Padang. 
SORE kemaren, penulis singgah di sebuah warung yang cukup terkenal di kota ini. Sudah lama juga rasanya penulis tidak menikmati kopi racikan si pemilik warung. Kopinya terbilang enak, baunya khas mengundang selera. Biasanya pengunjung warung satu ini tidak ada memesan kopi setengah, tapi segelas penuh.

Warung yang terletak di kawasan pinggiran Kota Padang ini ramai dikunjungi warga pada pagi, siang, dan malam hari. Kalau ingin terlibat diskusi hangat dari A sampai Z, penulis sarankan berkunjung setelah sholat Isya. Biasanya, bapak-bapak langganan warung ini, usai melaksanakan sholat Isya di mesjid, pasti mampir minum kopi atau teh Pauh di warung satu ini.

"Wah, sudah lama juga Malin tidak ngopi bersama kita," ujar Da Ujang, langganan setia warung tersebut.

"Mungkin karena jagoannya menang dalam Pilkada, Malin sudah sibuk bolak-balik Padang-Jakarta," sahut Da Ben, menyindir yang sehari-hari berprofesi sebagai kontraktor kecil-kecilan di salah satu universitas di kota ini.

"Ah, gak juga. Cuma sibuk kerjaan doang. Pilkada sudah usai, gak terlibat lagi urus segala macam, apalagi proyek. Gak punya bakat," sahut penulis.

"Tapi kami dengar Malin sekarang lagi dekat sama Pak Em, ya?" ungkap Da Ujang. Pak Em yang dimaksud Da Ujang adalah Wakil Walikota Padang Emzalmi Zaini.

"Cuma pesan kami, dan Malin tolong sampaikan kepada Pak Em, gak usah masuk got segela kayak yang satu lagi itu, sebab tidak akan mengatasi masalah banjir di kota ini," harap Da Ben.

"Ya, nanti kalau ketemu Pak Em akan saya sampaikan," sahut penulis.

Akhir-akhir ini, aku Da Ben, dia sering membaca berita di surat kabar, salah seorang pucuk pimpinan kota ini sering terlihat masuk got dalam setiap kunjungannya ke tengah-tengah masyarakat. Pemimpin tersebut memungut sampah yang ada di dalam got tersebut. Da Ben menilai, tindakan pemimpin semacam itu tak lebih dari pencitraan semata.

"Tujuannya mungkin baik, ingin meraih simpati masyarakat atau ingin mengajak masyarakat untuk membersihkan sampah secara bergontong royong. Tapi saya menilai, seorang pemimpin tidak layak melakukan itu. Apatah lagi dia punya anak buah, yaitu pasukan kuning," jelas Da Ben.

Mungkin Da Ben benar. Di Minangkabau seorang pemimpin memang ditinggikan seranting, namun sangat tabu melakukan hal-hal semacam itu. Pemimpin, apalagi jika sudah bergelar Datuk pula, maka akan tabu dilihat orang melakukan pekerjaan yang dianggap merendahkan diri. Seperti masuk got, menjunjung (membawa, red) beras diatas kepala, dan marah menghentakan kaki.

Dan mungkin karena itu pulalah, pada Pilpres kemaren banyak orang Minang tidak memilih Jokowi yang suka blusukan masuk got karena dinilai pencitraan. Hasil survai dari beberapa lembaga survai pun menyatakan tingkat kepuasan warga dari etnis Minang terhadap kinerja Jokowi adalah yang terendah dibanding warga dari etnis lain yang ada di Indonesia.

Misalnya saja survai yang dilakukan oleh Lembaga Survai Indikator Politik Indonesia yang menyebutkan, warga dari etnis Minang yang puas terhadap kepemimpinan Jokowi 36,1 persen dan yang kurang puas 63,9 persen. Survei ini dilaku­kan 18-29 Januari 2016. Menurut Gubernur Provinsi Sumatera Barat Irwan Prayitno melalui tulisannya yang berjudul "Minang dan Jokowi" yang diterbitkan oleh salah satu media harian lokal, angka ini langsung mengingatkan kita kepada hasil pemilu presiden 2014 di Sumbar di mana pasangan Jokowi-JK memperoleh suara 23,1 persen dan pasangan Prabowo-Hatta memperoleh 76,9 persen yang merupakan prosentase tertinggi di Indonesia.

Salah satu hal yang bisa menjawab pertanyaan tadi adalah budaya yang ada pada orang Minang ketika melihat pemimpin yang biasa disingkat 3T. T pertama adalah takah, yaitu performance, postur tubuh yang bagus, rupawan, gagah, penampilan yang menarik dan nampak berwibawa, tulis Irwan Prayitno.

Orang Minang akan melihat apakah seseorang memiliki ketakahan yang memadai yang diperlihatkan dari sikap, perilaku, tampilan, cara  bicaranya di depan publik atau cara menyampaikan pikiran melalui lisan dan tulisan, serta bagaimana gaya memimpinnya. Bagaimana bahasa tubuhnya dalam berkomunikasi di depan publik.

T kedua adalah tageh yaitu tegas, berani, kuat, kokoh,  ber­pendirian dan muda. Orang Minang akan melihat apakah seorang pemimpin itu mampu menjadi tumpuan harapan rakyatnya. T ketiga adalah ‘tokoh’.  Orang Minang akan menilai apakah seorang pemimpin layak untuk menjadi tokoh bagi mereka, mampu memberikan keteladanan, layak didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting. Ketokohannya juga diakui dalam skala yang lebih luas lagi. Keilmuannya juga sudah terbukti dan diakui, baik ilmu agama, adat, dan akademik.

Sementara Jokowi sendiri tampil di publik dengan gaya “apa adan­ya” dan “dari sononya” dengan wajah yang ndeso serta cara bicara “rakyat kebanyakan” yang ternyata digemari oleh masyarakat Indo­nesia sehingga dalam pemilihan presiden 2014 lalu meraih suara terbanyak.

Namun jika melihat 3T tadi, penampilan Jokowi rupanya kurang matchingdengan budaya yang ada pada orang Minang. Sehingga mayoritas rakyat Sumbar cenderung memilih Prabowo. Figur Prabowo dianggap lebih sesuai dengan selera orang Minang. Begitu juga pada pilpres 2 kali sebelumnya, SBY menang telak di Sumbar. Kecendrungan ini pun terjadi pada pilkada dan pemilu. Demikian kutipan dari analisa Irwan Prayitno tersebut.

Untuk kondisi masyarakat Sumatera Barat yang mayoritas etnis Minangkabau, analisa Irwan Prayitno tersebut mungkin saja benar. Makanya kita lihat, jika ada seorang pemimpin yang melakukan blusukan ke tengah-tengah masyarakat, lantas masuk got ke luar got, bukannya simpati yang diraihnya, sebaliknya malah menjadi tontonan gratis. Disaat pemimpin membersihkan lokasi yang baru saja ditertibkan dan digusur, malah warga menonton dengan berpangku tangan.

Bagi orang Minang, seorang pemimpin haruslah bekerja dengan otak, bukan otot. Dia diharapkan melahirkan konsep pembangunan yang komprehensif dan menyeluruh. Konsep pembangunan yang direncanakan secara matang dan berkelanjutan.

Misalnya saja dalam mengatasi persoalan banjir, tak bisa secara spontan seorang pemimpin melakukannya dengan memungut sampah di got. Mungkin cara itu baik untuk mengajak masyarakat agar jangan membuang sampah sembarangan. Tetapi tetap saja dibutuhkan penanganan banjir dengan membuat sistem drainase perkotaan yang baik.

Menurut Zulkifli, Ketua Kelompok Siaga Bencana (KSB) Kota Padang dalam sebuah diskusi ringan dengan penulis, warga Kota Padang butuh pemimpin yang memiliki konsep yang matang dalam penanganan banjir. Tidak bisa instan begitu saja. Butuh penanganan yang menyeluruh.

Kondisi Kota Padang, sebut Zulkifli, tidak separah DKI Jakarta. Kenapa Ahok bisa menangani banjir di Jakarta? Karena Ahok punya konsep. Nah, warga kota membutuhkan konsep yang matang dalam membangun sistem drainase perkotaan. Zulkifli memberikan penilaian semacam itu, tentu saja punya alasan tersendiri, apatah lagi dia sering terjun langsung ke tengah-tengah warga jika bencana banjir melanda.

Wallahul Muwafiq ila aqwamith Thariq. Semoga Allah menuntun kita ke jalan yang paling lurus.

Ditulis Oleh:
Zamri Yahya, SHI
Wakil Ketua FKAN Pauh IX Kota Padang dan Wakil Ketua PK KNPI Kuranji

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »