Kota Ku, Siang Islami, Malam Penuh Warna-Warni

Satpol PP Merazia Salah Satu Tempat Hiburan di Kota Padang.
Satpol PP Merazia Salah Satu Tempat Hiburan
di Kota Padang. Fotdok: Amrizal Rengganis. 
MIRIS, itulah yang penulis rasakan, dan mungkin juga dirasakan sebagian warga kota yang peduli dengan perilaku remaja di daerah ini. Betapa tidak, kewajiban berbusana muslim terkesan sekedar memenuhi himpauan Pemerintah Kota Padang, sejak himbauan itu dikeluarkan Fauzi Bahar sampai kepada Walikota Mahyeldi Ansharullah saat ini.

Anda bisa melihat dengan nyata, seiring dengan denyut kehidupan malam di Ranah Bingkuang tercinta, banyak diantara remaja dan wanita dewasa yang ke luar rumah, tidak lagi mengenakan jilbab. Padahal, disaat siang hari, pada jam sekolah dan jam kerja, kota ini bak seperti kota santri, dimana remaja perempuannya berbusana muslim, begitu juga perempuan dewasa yang bekerja di instansi pemerintah dan swasta, berbusana muslim semua.

Orang yang sekali, dua kali berkunjung ke Kota Serambi Madinah al Munawwarah akan terkagum-kagum dan berkata dalam hati, "Sungguh Islami sekali suasana di kota ini, kaum wanitanya sopan-sopan dan berbusana muslim semua. Aurat tertutup, pertanda suruhan agama dilaksanakan dengan sempurna." Apatah lagi, jika orang itu hanya mengungjungi Kota Padang di siang hari, tanpa sempat merasakan kehidupan malam di kota ini.

Pada suatu kesempatan, seorang teman yang sudah lama merantau, bertahun-tahun tak pulang ke Kota Padang, akibat kesibukan mengurus perusahaanya yang besar itu, ketika turun dari pesawat dan menginjakan kaki di Ranah Bingkuang, dalam benaknya, "Kota kelahiran ku sudah menjadi kota Islami."

Keyakinannya itu didasari oleh informasi yang dia terima malalui media, terutama berita-berita relis yang dikirim humas ke beberapa media lokal dan nasional, baik media cetak maupun media online yang mengambarkan Kota Padang sebagai kota Islami, suatu pengambaran yang diidam-idamkan seseorang yang merindukan masyarakat Madani. Informasi media menyakinkan teman ini, Kota Padang sudah menjadi kota Islami, apalagi walikotanya seorang ulama, begitu pula gubernurnya, sering diundang menjadi penceramah kian kemari.

Tak hanya itu, kota ini juga dicanangkan oleh walikotanya sebagai kota penghafal al Quran, dan kota pejuang subuh. Walikotanya pun turun langsung membina akidah warga dengan melakukan Jum'at keliling dan walikota langsung bertindak sebagai khatib Jum'at.

Sungguh kota ideal, kota yang menerapkan ajaran dan tuntunan agama. Tergambar dibenak teman ini, kegiatan Jum'at keliling yang dilakoni walikota adalah penerapan dari kitab fiqh, misalnya saja dalam kitab Al Ahkam Al Sulthaniyah. Dalam kitab itu, Imam Al Mawardi menegaskan, salah satu kewajiban pemimpin adalah mengajak umat ke jalan Allah SWT dan menjadi imam salat serta khatib Jum'at.

Namun, ketika hari beranjak senja, dan gelap malam pun sedikit demi sedikt mulai menyelimuti kota, taragak (ingin, red) pula teman ini menikmati kuliner khas Padang yang sudah bertahun-tahun tak singgah di lidahnya. Kalau pun di rantau dia jumpai, rasanya tak sesedap di kampung sendiri, karena rata-rata yang bikin bukan orang Padang, tetapi orang dari etnis lain yang dikasih pakaian seragam karyawan rumah makan Padang, lantas diberitahu arti kata, "Tambuah ciek da."

Setalah melepaskan taragak makan masakan Padang di seputaran Bypass, ia pun taragak melihat suasana pusat kota, sembari menikmati kopi atau jus Pinang Mudo. Setelah beputar kian kemari, teman ini akhirnya menemukan penjual jus Pinang Mudo di kawasan Diponegoro. Dimatikan mesin motor, diparkir di pinggir jalan. Walau terbilang pengusaha sukses, kalau di kampung teman ini lebih suka berpenampilan sederhana, naik motor kian kemari, manjalang dunsanak dan teman lama. "Lebih praktis," katanya kepada penulis.

Jus Pinang Mudo pun dipesan. Dengan ramah penjual jus melayani. Jus siap, teman ini bergegas ke motornya. Sambil duduk, dia nikmati jus Pinang Mudo tersebut. Namun, tak lama kemudian, ada suara wanita yang menyapanya dengan santun dari dalam mobil, "Butuh cewek bang?"

Lama dia pandangi wanita muda itu. Dengan wajah ragu, ia pun bertanya, "Adik siapa ya? Apa kita pernah ketemu," tanya teman ini lugu. Maklumlah, teman ini di Pulau Jawa merupakan salah seorang ketua ormas Islam.

Dengan sabar wanita itu menjelaskan siapa dirinya, terutama pekerjaan khusus yang dilakoninya pada malam hari. Setelah mendengar penjelasan singkat wanita itu, baru teman ini tahu dan berkata dalam hati, "Oh, lonte kiranya." Dan dengan lembut teman ini mengatakan, "Maaf dik, saya lagi tak butuh cewek."

Bayangan kota Islami dalam benaknya kembali hadir. Tetapi hatinya bertanya, "Kok ada juga yang jualan dendeng lambok berjalan di malam hari ya? Tapi biasalah, di kota besar kan memang banyak yang jualan itu."

Tapi kejanggalan kembali dia temukan. Sepanjang perjalanan, dia lihat banyak muda-mudi nongkrong. Kalau siang hari dia lihat banyak yang berjilbab, tapi pada malam hari suasananya agak lain, banyak diantara remaja wanita yang dia temui dengan rambut tergerai, dan dicat pirang pula, kayak bule, tapi berkulit sawo matang.

Dari perjalanan dia dari pagi sampai larut malam, baru teman ini tahu, pada siang hari kota kelahirannya terlihat Islami, namun pada malam hari penuh warna warni, tempat-tempat maksiat menghiasi kehidupan malam di kota ini. Di kota yang dicintai, disamping mesjid dan mushalla tumbuh subur, ternyata hotel dan tempat hiburan juga menjamur. Bahkan jarak antara tempat ibadah dari tempat hiburan ada yang teramat dekat, tak sampai 200 meter.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat, Buya Gusrizal Gazahar termasuk yang prihatin dengan kondisi kota ini. Betapa tidak, program-program keagamaan yang telah dicanangkan Pemerintah Kota (Pemko) Padang ternyata belum mampu merubah akhlak dan perilaku generasi muda dan remaja.

Dalam sebuah wawancara dengan penulis, Senin, 25 April 2016 melalui telepon selular, Buya Gusrizal mengatakan, mestinya, ketika ada program-program yang mendorong anak-anak ini dekat dengan al Quranul Karim, dekat dengan penampilan yang Islami, yaitu jilbab, tentu program itu berharap ada auputnya. Auputnya adalah anak-anak yang ada sensitifitas. Bahwa mereka hendaknya sensitif sekali kalau ada hal-hal yang berbau-bau kemaksiatan, mestinya mereka menghindar.

Menurut Buya Gusrizal Gazahar, pemerintah telah mencanangkan program-program yang bagus, program yang baik, program yang mendorong untuk hafizh al Quran, mendorong mereka bisa bermoral, mendorong mereka untuk bisa berpenampilan Islami, tetapi autput yang diharapkan belum lagi terwujud. Pasti ada sesuatu yang keliru dalam hal ini, di luar program tersebut.

Kuncinya, tegas Buya, MUI ingin melihat program ini, bukan hanya program pendidikan di sekolah. Bukan hanya program pemerintah, bukan hanya soal pengawasan dan dakwah para ulama. Catatan penting yang perlu jadi perhatian, beberapa tempat di Sumatera Barat, termasuk di Kota Padang, malah berjamuran kafe-kafe. Akibatnya, anak-anak muda mudah mendapatkan akses ke tempat tersebut dan aktifitas mereka di tempat semacam itu tidak bisa terkontrol dengan baik.

Untuk itu, kata Buya Gusrizal Gazahar, dengan adanya ide untuk menjadikan Sumatera Barat sebagai destinasi wisata alam, dimana ada fasilitas perhotelan segala macam, harus didorong agar sesuai dengan ketentuan syariat. Tujuannya untuk meminimalisir kegiatan-kegiatan yang mengarah ke pelanggaran norma agama.

Wallahul Muwafiq ila aqwamith Thariq. Semoga Allah menuntun kita ke jalan yang paling lurus.

Ditulis Oleh:
Zamri Yahya
Anggota Muda PWI Cabang Sumatera Barat/Wakil Ketua FKAN Pauh IX Kota Padang

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »