Beda Gaya Blusukan Jokowi dan Mahyeldi

Beda Gaya Blusukan Jokowi dan Mahyeldi
GAYA kepemimpinan Presiden Joko Widodo mampu membawa terobosan politik di negeri ini. Kekuatan Jokowi bukan hanya pada diri Jokowi sendiri, tetapi juga pada rakyat yang menghendaki pemimpin seperti itu. Saat ini, gaya kepemimpinan Jokowi menjadi panutan bagi sebagian Kepala Daerah (Kada).

Blusukan yang akan dilakukan Presiden Joko Widodo dinilai mampu mengefektifkan kebijakan dan program yang diusung pemerintahannya. Jokowi adalah tipe pemimpin yang selalu memastikan bahwa antara policy (kebijakan), rencana dan pelaksanaan harus sejalan. Blusukan itulah cara dia memastikan bahwa apa yang direncanakan benar-benar dilaksanakan di lapangan.

Dari blusukan itu juga, Jokowi mendengarkan suara rakyat sebagai dasar menetapkan kebijakan dan membuat rencana yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga, apa yang direncanakan memang betul-betul yang dibutuhkan rakyat, bukan hanya yang diingini pemimpin.

Kekuatan Jokowi juga terletak pada prinsipnya. Ini model pemimpin yang sedang dibutuhkan bangsa ini, saat banyak pemimpin yang tidak berani mengambil risiko dan kurang kuat dalam memegang prinsip. Maka kekuatan Jokowi bukan hanya pada diri Jokowi sendiri, tetapi juga pada rakyat yang menghendaki pemimpin seperti itu. Keraguan sebagian pihak terhadap kemampuan Presiden Jokowi dalam memimpin negara, sebenarnya sulit menemukan buktinya.

Beberapa Kepala Daerah meniru gaya blusukan Jokowi ini dalam melaksanakan kebijakan yang diambilnya. Hasilnya, Kepala Daerah tersebut juga mengundang decak kagum rakyatnya. Ia dianggap pemimpin yang merakyat, pemimpin yang mengerti dan paham akan kebutuhan rakyat. Misalnya saja Walikota Padang H Mahyeldi Ansharullah, sejak dilantik menjadi walikota sampai saat ini, kerap kali melakukan blusukan di berbagai tempat di Kota Padang.

Sebagian orang tetap bersikeras, gaya blusukan politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut berbeda dengan yang dilakukan Jokowi. Mereka mengatakan, gaya blusukan Mahyeldi sudah dilakukan sang walikota semenjak masih menjabat wakil walikota. Mahyeldi blusukan bukan untuk pencitraan, tetapi ikhlas dalam mengemban amanah jabatan. Itu kata mereka.

Namun tak dapat dipungkiri, gaya blusukan Jokowi dan Mahyeldi memiliki kesamaan yang susah untuk dibedakan. Penulis melihat disini, karena alergi dengan sosok Jokowi dan bersimpati dengan Mahyeldi, sebagian mereka berusaha membantah kesamaan gaya blusukan Mahyeldi dengan Jokowi.

Selain blusukan, kesamaan antara Mahyeldi dengan Jokowi adalah sama-sama memperlihatkan kesederhanaan, terutama dalam gaya berpakaian, baju dan celana yang dikenakan merupakan pakaian orang kebanyakan, terutama dalam keseharian, diluar formalitas protokoler kenegaraan.

Banyak pihak yang menilai, keberhasilan Mahyeldi dalam melaksanakan kepemimpinannya di Kota Padang, tidak terlepas dari blusukan yang dia laksanakan. Warga kota sering melihat Mahyeldi turun tangan langsung menyapu jalan, masuk got untuk membersihkan sampah, membersihkan sampah yang berserakan di pasar, Pantai Padang, dan tempat lainnya.

Gaya kepemimpinan yang suka blusukan, berpenampilan sederhana, dan apa adanya memang disukai oleh orang Indonesia. Tetapi, pada beberapa etnis dan suku, gaya kepemimpinan seperti itu dianggap kurang pas dilakukan oleh seorang pemimpin. Salah satunya adalah etnis Minangkabau, dimana sampai saat ini, berdasarkan survai beberapa lembaga survai nasional menyatakan tingkat kepuasan orang Minangkabau terhadap Jokowi rendah.

Gubernur Provinsi Sumatera Barat Prof DR H Irwan Prayitno, Psi, MSc, Datuk Rajo Bandaro Bangsa berpendapat, budaya yang ada pada orang Minang ketika melihat pemimpin yang biasa disingkat 3T. T pertama adalah takah, yaitu performance, postur tubuh yang bagus, rupawan, gagah, penampilan yang menarik dan nampak berwibawa.

Orang Minang akan melihat apakah seseorang memiliki ketakahan yang memadai yang diperlihatkan dari sikap, perilaku, tampilan, cara  bicaranya di depan publik atau cara menyampaikan pikiran melalui lisan dan tulisan, serta bagaimana gaya memimpinnya. Bagaimana bahasa tubuhnya dalam berkomunikasi di depan publik.

T kedua adalah tageh yaitu tegas, berani, kuat, kokoh,  ber­pendirian dan muda. Orang Minang akan melihat apakah seorang pemimpin itu mampu menjadi tumpuan harapan rakyatnya. T ketiga adalah ‘tokoh’.  Orang Minang akan menilai apakah seorang pemimpin layak untuk menjadi tokoh bagi mereka, mampu memberikan keteladanan, layak didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting. Ketokohannya juga diakui dalam skala yang lebih luas lagi. Keilmuannya juga sudah terbukti dan diakui, baik ilmu agama, adat, dan akademik.

Sementara Jokowi sendiri tampil di publik dengan gaya “apa adan­ya” dan “dari sononya” dengan wajah yang ndeso serta cara bicara “rakyat kebanyakan” yang ternyata digemari oleh masyarakat Indo­nesia sehingga dalam pemilihan presiden 2014 lalu meraih suara terbanyak.

Namun jika melihat 3T tadi, penampilan Jokowi rupanya kurang matching dengan budaya yang ada pada orang Minang. Sehingga mayoritas rakyat Sumbar cenderung memilih Prabowo. Figur Prabowo dianggap lebih sesuai dengan selera orang Minang. Begitu juga pada pilpres 2 kali sebelumnya, SBY menang telak di Sumbar. Kecendrungan ini pun terjadi pada pilkada dan pemilu.

Irwan Prayitno menyimpulkan dalam analisanya, masyarakat Minang memiliki sikap realistis, rasional, dan logis di satu sisi, dan punya selera tersendiri (budaya) di sisi lain. Dan keduanya itu ternyata bisa berjalan masing-masing tanpa saling menjatuhkan.

Wallahul Muwafiq ila aqwamith Thariq. Semoga Allah menuntun kita ke jalan yang paling lurus.

Ditulis Oleh:
Zamri Yahya
Anggota PWI Cabang Sumatera Barat/Wartawan Utama di Media Online BentengSumbar.com

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »