Ketika Ahok Dinyatakan Sebagai Korban Kriminalisasi

Basuki Tjahja Purnama alias Ahok
BENTENGSUMBAR.COM - Basuki Tjahja Purnama alias Ahok dinyatakan sebagai korban kriminalisasi oleh Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konstitusi (AMSIK). Pasalnya, dalam kasus Ahok telah terjadi pelanggaran terhadap “due process of law” dan hak asasi manusia (HAM), dan pengadilan terhadap terdakwa Ahok tidak lebih dari akibat tekanan massa.

Penilian itu semakin jelas setelah mencermati dua persidangan terhadap Ahok; menyimak materi dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan nota keberatan (eksepsi) yang dibacakan oleh Ahok dan penasehat hukumnya, Selasa (13/2), dan tanggapan JPU terhadap eksepsi Ahok dan penasehat hukumnya, Selasa (20/12).

Demikian keterangan tertulis yang disampaikan narahubung AMSIK, Umi Azalea, Kamis (22/12). Di jajaran AMSIK ada nama Todung Mulya Lubis, Hendardi, Sulistyowati Irianto, Mayling Oey, Abdullah Alamudi, Neng Dara Affiah, Jim B. Aditya, Henny Supolo, Andi Syafrani, Mohammad Monib, Ruby Khalifah, Nia Syarifuddin, Penrad Siagiaan, Ilma Sovriyanti, Thomas Nugraha, Tantowi Anwari, Woro Wahyuningtyas, Bonar Tigor Naipospos, Uli Parulian Sihombing, Muannas Alaidid, dan Cyril Roul Hakim.

AMSIK membeberkan beberapa alasan terdakwa Ahok adalah korban kriminalisasi. Pertama, tuntutan JPU berdasarkan pada pendapat dan sikap keagamaan MUI pada 11 Oktober 2016. Padahal dalam sistem hukum dan perundangan-undangan di Indonesia tidak mengenal fatwa keagamaan MUI sebagai sumber hukum positif.

“Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI bukan hukum positif, karena itu bersifat tidak mengikat dan tidak wajib diikuti,” sebut Umi Azalea.

Kedua, ketika menggunakan Pasal 156a terhadap Ahok, JPU telah mengabaikan UU 1/PNPS/1965, sebagai ketentuan hukum positif yang masih berlaku dan belum pernah dicabut atau dibatalkan keberlakuannya. Dalam hal ini JPU mengesampingkan mekanisme yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) terhadap seseorang yang diduga melakukan penafsiran yang menyimpang tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia, yaitu prosedur peringatan keras untuk menghentikan perbuatan itu yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama. Apabila Ahok masih juga melanggar peringatan tersebut, barulah kemudian dapat diterapkan ketentuan pidana.

“Dakwaan JPU tanpa memperhatikan dan menjalankan mekanisme peringatan terhadap Basuki Tjahaja Purnama adalah praktik penerapan hukum pidana yang menyesatkan dan wujud nyata dari upaya kriminalisasi,” ungkap Umi Azalea.

Ketika, dalam tanggapan JPU, jaksa malah menyalahkan tuntutan Ahok yang menolak oknum politisi dan Timses kandidat lain yang berkampanye dengan memakai isu SARA dan politisasi ayat, bukan beradu visi misi dan program. Jaksa juga mengatakan bahwa Basuki Tjahaja Purnama merasa benar sendiri karena menuntut kandidat lain agar adu program, bukan mengggunakan Surat Al-Ma’idah 51.

“Bagi kami, tanggapan Jaksa itu menyesatkan karena dalam Pilkada harusnya perdebatan dan alasan pemilihan terkait visi, misi dan program para kandidat, bukan permainan isu SARA dan adu ayat,” papar Umi Azalea. (bs/pojoksatu)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »