BENTENGSUMBAR.COM - Tak ada lagi nama Tengku Zulkarnain dalam susunan petinggi Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk periode 2020-2025. Pada periode sebelumnya, laki-laki paruh abad yang biasa disapa Tengku Zul ini adalah Wakil Sekretaris Jenderal MUI. Semua tahu MUI adalah lembaga keagamaan paling mentereng di negeri ini. Fatwa MUI sangat berpengaruh tak hanya dalam kehidupan beragama, tapi juga bernegara.
Sebagai insan penting dalam kelompok 212 yang ikut menggulingkan Basuki Tjahaja Purnama alias BTP dari kursi Gubernur DKI Jakarta, Tengku Zul cukup terkenal. Dia juga sering sejalan dengan Muhammad Rizieq Shihab, pemimpin Front Pembela Islam (FPI). Idealisme Tengku Zul yang kerap menyerempet hal-hal berbau SARA tentu memancing sikap antipati golongan yang berseberangan dengan kelompok 212. Tengku Zul setidaknya pernah ditolak menginjakkan kaki di Kalimantan. Ada yang menyebut Tengku Zul menganggap orang Dayak itu kafir dan tidak layak masuk surga.
Semua tahu Tengku Zul adalah pendukung pasangan Prabowo-Sandi dalam Pilpres 2019. Terhadap pemerintahan Joko Widodo, dirinya memosisikan diri sebagai oposisi.
Sepak terjang Tengku Zul di dunia politik, termasuk di ranah media sosial, membuatnya lumayan tersohor. Gaya berpolitiknya senapas dengan FPI yang cadas dalam perkataan dan Tengku Zul jelas dikenal sebagai ulama yang keras. Tapi siapa sangka Tengku Zul, yang berkarakter keras dan terkesan saklek dalam beragama, ternyata punya bakat bermain musik dan menyanyi.
Lihai Bermain Gitar
Tengku Zul bisa bermain gitar akustik sambil menyanyikan lagu yang pernah dipopulerkan Jose Feliciano, "Angela". Dan lagu itu bukan satu-satunya yang dia bisa. Lagu yang dipopulerkan grup vokal Bimbo, "Rindu Rasul", pernah pula dijajalnya. Di usia yang makin menuju senja, Tengku Zul tetap ingat lagu ketika dirinya masih kecil, "Bebek-bebekku", yang dulu dipopulerkan Vien Is Haryanto. Bahkan Tengku Zul bisa pula memainkannya dalam irama keroncong dan dangdut. Tidak buruk.
Waktu "Bebek-bebekku" populer, Tengku Zul masih SD. Seingat Tengku Zul, seperti dikatakannya di hadapan Fadly Zon, dia sudah dibelikan organ kecil saat kelas dua SD. Sambi menanak nasi, dia main organ. Waktu kelas empat Tengku Zul dibelikan gitar oleh ayahnya, yang meluangkan waktu mengajarkannya bermain gitar klasik setelah jam pulang kerja.
Di rumahnya ketika ia kecil, sang ibu adalah orang yang mendorongnya belajar agama. ”Satu hari main gitar empat jam, tapi ibu saya titip satu hari baca Qur'an satu juz,” aku Tengku Zul.
Untuk urusan mengaji, sejak belia dirinya sudah mendatangi guru-guru agama yang pernah belajar di negara-negara Islam Timur Tengah. Zul mengaku di tahun 1975 dirinya pernah ikut MTQ. Mengaji jalan, main musik juga jalan. Beberapa alat musik pun bisa dikuasainya.
Tengku Zul bahkan sempat mengikuti Bintang Radio Televisi dan mencapai babak final sehingga ia bisa masuk televisi pada 1980. Dua tahun berikutnya dia ikut lagi untuk kategori dewasa. Pernah juga dia menulis sekitar 80 lagu. Untuk anak muda yang berbakat musik, track record Tengku Zul tergolong sangar.
Tengku Zul mengaku pernah menjadi penyanyi profesional—yang sempat bernyanyi di Tiara Hotel—dan baru berhenti ketika jadi dosen Sastra Inggris Universitas Sumatra Utara (USU) pada 1987. Akhirnya, sejak 1988, dia fokus mengaji lagi.
Pada 1990-an Tengku Zul lebih dikenal sebagai pemuka agama Islam. Mula-mula di daerahnya, lalu akhir 1990-an dia hijrah ke Jakarta. Seingatnya, sejak akhir 1990-an dia kerap jadi penceramah di banyak tempat, hingga di depan orang-orang pemerintahan. Hingga zaman kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, Tengku Zul kerap diundang berceramah di mana-mana. Namun, menurut klaimnya, di zaman kepresidenan Joko Widodo, namanya dicoret agar tak diundang.
Sebagai pemuka agama, Tengku Zul kadang dipanggil kiai atau ajengan dan orang Aceh memanggilnya tengku. Sebagai anak dari Tengku Rafiuddin Sauddin, Tengku Zul memang punya jatah nama 'Tengku'—gelar untuk pemuka agama Islam beserta keluarganya. Ayah Tengku Zul masih kerabat kesultanan Serdang. Sementara ibunya berdarah Tionghoa.
Soeharto adalah Panutannya
Beruntunglah Tengku Zul muda dan bisa berdendang dengan bebas di zaman Orde Baru. Pada masa ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah musnah, musik pop dengan lirik menye-menye dan irama mendayu-dayu begitu merajalela.
Semua tahu Tengku Zul antikomunis dan dengan keras menentang kebangkitan kembali komunisme. Tengku Zul menganggap pemerintahan Republik Rakyat Tiongkok yang komunis adalah penganut sistem otoriter. Tapi Tengku Zul lebih bisa memaklumi rezim neofasis Orde Baru.
Di mata Tengku Zul, Soeharto adalah sosok yang istimewa. Meski Soeharto tidak menghukum ABRI karena ada personelnya yang memancing kerusuhan Tanjung Priok, bagi Tengku Zul, Soeharto adalah presiden yang dekat dengan Islam.
"Pak Harto juga mengusulkan diadakannya pesantren kilat pada masa libur sekolah. Terbukti pada masa-masa itu tawuran pelajar banyak berkurang," tutur Tengku Zul dalam buku Pak Harto: The Untold Stories (2011: 595) yang disusun Mahpudi. Menurutnya, setelah Soeharto tak jadi presiden, tawuran pelajar ramai lagi.
”Saya tengah berada di Medan ketika mendengar berita wafatnya Pak Harto. Saya pun berupaya mengejar pesawat terakhir yang mendarat tengah malam dan langsung bertakziah. Saya melihat wajah jenazah Pak Harto berwarna merah jambu,” akunya dalam buku yang sama.
Di sekitar jenazah Seharto, yang baginya tanpa cela, Tengku Zul mencium "ada keharuman tertentu yang khas" yang dia tak tahu berasal dari mana. Meski suka dengan Soeharto dan pernah bertemu keluarga Soeharto, Tengku Zul merasa dirinya bukan bagian dari Keluarga Cendana.
Cocok Menggantikan Iwan Fals
Kini, setelah tak sibuk lagi di MUI, yang tugasnya berat karena mengurusi umat Islam Indonesia yang bermacam-macam kemauannya, Tengku Zul bisa punya banyak waktu untuk berdakwah. Tidak ada salahnya juga berdakwah lewat musik seperti Bimbo atau Rhoma Irama. Sebagai bagian dari kelompok 212, Tengku Zul tentu punya basis pendengarnya sendiri.
Melihat betapa kritisnya Tengku Zul soal PKI atau soal letak calon ibu kota baru RI yang menurutnya lurus dengan Beijing dan mudah dijangkau rudal antarbenua, Tengku Zul paling tidak bisa menulis lagu untuk mengkritik pemerintah, seperti dulu dilakukan Iwan Fals muda. Sebagai mantan dosen sastra Inggris, Tengku Zul juga seharusnya dapat menulis lagu berbahasa Inggris. Barangkali Tengku Zul bisa menggantikan Iwan Fals yang sudah tidak segarang dulu lagi.
Soal menyanyi, Tengku Zul punya potensi melampaui Wiranto atau SBY. Dua jenderal itu tak pernah jadi finalis bintang radio dan televisi. Menjadi penyanyi adalah profesi yang cocok bagi Tengku Zul setelah MUI mendepaknya. Dan menyanyi bukan sebuah dosa, apalagi jika niatnya memperbaiki umat.
Source: Tirto.id
« Prev Post
Next Post »