Didik J. Rachbini: Katanya Pertumbuhan Ekonomi Naik, Kok Kredit Masih Seret?

BENTENGSUMBAR.COM - Ekonom Senior Prof. Dr. Didik J Rachbini menyoroti penetrasi perbankan yang terus turun dalam diskusi “Katanya Pertumbuhan Ekonomi Naik, Kok Kredit Masih Seret?” di Jakarta, Rabu, 25 Agustus 2021. 

Prof. Didik juga mempertanyakan kinerja perbankan saat-saat ini. “Bahkan tragisnya saat ini penetrasi perbankan ke masyarakat meski dalam keadaan normal hanya 42% malah lebih rendah dari penetrasi perbankan Filipina 70%, Bangladesh 64% bahkan kalah dengan Myanmar. Apalagi Singapura yang 136%," tegasnya.

Ia menilai bahwa pimpinan bank pemerintah mencari posisi aman dengan tidak terus mengembangkan level penetrasinya. ”Bank tidak mejadi pelopor mendorong dinamika bisnis, cuma ikut saja perdagangan dan bisnis yang ada," kata Prof. Didik yang juga rektor Universitas Paramadina ini.

Menurutnya, CEO BUMN pemerintah, termasuk bank, seperti dalam disertasi Sandi Uno, level entrepreneurship inisiatifnya sangat rendah hanya 44 persen.  “Ini menyebabkan BUMN dan bank BUMN mandeg. Jika demikian terus maka Indonesia akan terus tertinggal dan cepat tua karena sebelum naik menjadi negara kaya, semua indikatornya sudah meredup.”

Didik juga menilai bahwa setelah krisis, perbankan cenderung tidak bergerak untuk penetrasi ke masyarakat, dan hanya “melayani” orang-orang kaya saja. “Bahkan terkesan manja ketika hanya ‘main’ di SUN yang pertumbuhannya hampir 40%. SUN juga bunganya paling tinggi di dunia dan amat menguras pajak masyarakat," ujarnya.  

Dr. Aviliani – Ekonom Senior INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) menyoroti perubahan perkembangan perbankan saat ini. “Di masa pandemi seperti sekarang, untuk menjaga tingkat kepercayaan masyarakat, pemerintah telah membuat kebijakan agar masyarakat tetap percaya kepada perbankan.” 

Tercatat, pertumbuhan dana masyarakat yang disimpan di bank cukup tinggi mencapai 10% yang berarti orang hanya menyimpan saja diperbankan. “Hal itu mungkin akibat PPKM dan pandemi hingga masyarakat tidak mau berbelanja dulu dan memilih jalan aman menyimpan saja dananya di perbankan.” 

Pengalaman pada krisis 2008 dan 1998 ketika perbankan collapse maka tingkat kepercayaan masyarakat akan turun. “Beruntungnya, hal itu tidak terjadi di masa pandemi saat ini. Karena itulah, pertumbuhan ekonomi RI meskipun rendah, tapi terlihat masih biasa-biasa saja," katanya. 

Kondisi sejak pandemi diiringi dengan turunnya daya beli masyarakat. Maka otomatis supply atau orang yang bertransaksi atau penjualan juga akan turun.

Jika konsumen tidak ada, maka transaksi ke perbankan juga tidak ada karena tidak ada rencana investasi. “Akibat dari itu penyaluran kredit perbankan akan rendah, bahkan tumbuh negatif. Jika dipaksakan bank untuk memberikan kredit, masalahnya yang meminta kredit bank tidak ada," kata Aviliani. 

Saat ini memang banyak kebijakan yang diberikan agar ekonomi tetap stabil sampai ekonomi membaik. “Mungkin hingga 2023 karena pertumbuhan ekonomi pada 2022 diperkirakan lebih buruk ketimbang 2021," katanya lagi.

Terkait kredit Avilian imenyatakan bahwa ke depan penyaluran kredit ke masyarakat tidak akan didominasi oleh lembaga perbankan. “Dengan banyak tumbuhnya fintech dan multifinance yang lain, maka alternatif bagi masyarakat untuk mendapatkan kredit mudah dan cepat akan semakin banyak dari lembaga keuangan nonbank," ujarnya.

Eko B. Supriyanto, ME – Pimpinan Redaksi Infobank juga menyoroti tentang penetrasi perbankan. “Perbankan dimungkinkan untuk kembali memperbaiki tingkat penetrasi hingga 62% seperti tahun 1980-1998, namun harus terlebih dulu membereskan sektor riil.” 

Menurut Eko, kredit perbankan juga sedang mengalami masalah besar dengan kondisi daya beli masyarakat, ditambah menurunnya minat investasi dan kebutuhan kredit perbankan di masa pandemi.

“Dengan kondisi yang demikian ini, maka sulit mengharap peran perbankan untuk mencapai tingkat penetrasi sebagaimana masa-masa sebelum krisis. Apalagi sampai mengharapkan perbankan dan kredit menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi," kata Eko.  

Hal itu ditambah faktor para bankir sekarang yang berbeda dengan geliat para bankir tahun 80-an – 90-an yang berani melakukan create the business.

“Perbankan sekarang cenderung hanya menunggu saja bantuan pemerintah agar tidak collapse dan merasa lebih aman bermain dengan pembelian SBN dari obligasi yang ditawarkan pemerintah,” pungkasnya.  

Laporan: Arief Tito

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »