Dahlan Iskan Bicara Kasus BLBI Rp 100 T: Ini Kejahatan Massal

Dahlan Iskan Bicara Kasus BLBI Rp 100 T: Ini Kejahatan Massal
BENTENGSUMBAR.COM - Pemerintah melalui Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) terus berupaya memanggil para obilgor dan debitur yang terlibat skandal ini, termasuk para pihak yang memiliki utang belasan triliun.


Berdasarkan publikasi Laporan Keuangan 2020 Bank Indonesia (BI), terungkap bahwa pada tahun 1998/1999 BI telah memberikan BLBI kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter tahun 1998 di Indonesia sebesar Rp 144.536.094 juta (Rp 144,54 triliun).


Dalam lapkeu BI itu, disebutkan bahwa sebagai tindak lanjut Persetujuan Bersama antara Gubernur BI dan Menteri Keuangan tanggal 6 Februari 1999, telah dilakukan pengalihan BLBI posisi tanggal 29 Januari 1999 dari BI kepada Pemerintah c.q. BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) sebesar Rp 144.536.094 juta (Rp 144,54 triliun) dengan Akta Penyerahan dan Pengalihan Hak (Akta Cessie) tanggal 22 Februari 1999.


"Di sisi lain Pemerintah menerbitkan Surat Utang SU-001/MK/1998 sebesar Rp 80.000.000 juta [Rp 80 triliun] dan SU-003/MK/1999 sebesar Rp 64.536.094 juta [Rp 64,54 triliun]," tulis laporan keuangan BI 2020, dikutip CNBC Indonesia, Rabu, 8 September 2021.


Adapun sejumlah pihak sudah dipanggil, beberapa di antaranya secara terbuka yakni Kaharudin Ongko yang merupakan petinggi dari Bank Umum Nasional (BUN).


Tagihan yang harus dibayarkan adalah Rp 8,2 triliun, meliputi, Rp 7,8 triliun dari PKPS (penyelesaian kewajiban pemegang saham) Bank Umum Nasional (BUN) dan Rp 359,4 miliar dari PKPS Bank Arya Panduarta.


Satgas BLBI juga baru saja memanggil dua bos PT Bank Asia Pacific (Bank Aspac) Setiawan Harjono dan Hendrawan Haryono atas tagihan sebesar Rp 3,57 triliun.


Kedua orang yang dipanggil ini berkaitan dengan PKPS Bank Aspac yang saat itu merupakan perusahaan terbuka dan listing dengan kode saham BBKU.


Soal ini, Menteri BUMN periode Oktober 2011-Oktober 2014 Dahlan Iskan pun buka suara dan memberikan pandangannya dalam tulisan terbarunya di situs resminya, Disway.id, dikutip Rabu ini.


Dalam tulisan berjudul "Satgas Rp 100 T", Direktur Utama PLN periode 2009-2011 ini mengapresiasi bahwa pemerintah ternyata jeli atas tagihan lama para obligor yang masih bisa dikejar.


"Pemerintah sedang menagih uang besar. Piutang lama. Lebih dari Rp 100 triliun," kata Dahlan.


"Saya harus memuji: ternyata pemerintah jeli. Ada tagihan lama yang masih bisa diuber. Sangat lumayan jumlahnya. Apalagi di saat pemerintah lagi kesulitan uang seperti sekarang ini. Itulah tagihan BLBI -bantuan likuiditas Bank Indonesia- untuk mengatasi krisis moneter 1998," jelasnya.


Dahlan menilai ada kejahatan massal di BLBI. "Ternyata terjadi kejahatan masal: dana bantuan dari Bank Indonesia itu banyak mengalir ke perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh pemilik bank itu sendiri. Macet. Krisis moneter tetap terjadi. Parah sekali. Bank-bank tersebut tetap tidak kuat hidup," katanya.


Untuk lebih jelasnya, berikut tulisan lengkap Dahlan Iskan, dikutip dalam situs resminya.


"Satgas Rp 100 T"


SEBENARNYA hebat sekali berita ini: pemerintah sedang menagih uang besar. Piutang lama. Lebih dari Rp 100 triliun. Saya harus memuji: ternyata pemerintah jeli. Ada tagihan lama yang masih bisa diuber.


Sangat lumayan jumlahnya. Apalagi di saat pemerintah lagi kesulitan uang seperti sekarang ini.


Itulah tagihan BLBI -bantuan likuiditas Bank Indonesia- untuk mengatasi krisis moneter 1998. Jenis bantuan seperti itu diperintahkan oleh ''juragan'' Indonesia saat itu: IMF -dana moneter internasional. Yang harus membantu: Bank Indonesia.


Yang harus dibantu: bank-bank swasta yang kesulitan uang. Dasar pemikirannya: kalau bank-bank tersebut tidak disuntik dana akan tutup. Rakyat yang punya simpanan di bank tersebut gigit jari. Perekonomian nasional akan hancur. Satu bank tutup akan menyeret bank lainnya. Dikucurkanlah BLBI sebesar Rp 147,7 triliun.


Ternyata terjadi kejahatan masal: dana bantuan dari Bank Indonesia itu banyak mengalir ke perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh pemilik bank itu sendiri. Macet. Krisis moneter tetap terjadi. Parah sekali. Bank-bank tersebut tetap tidak kuat hidup. Ekonomi berantakan. Rupiah jadi Rp 15.000/dolar. Politik kacau. Sampai Presiden Soeharto yang begitu kuat, lengser dari istana.


Siapa pun presidennya, setelah Pak Harto itu, harus menerima madu yang beracun.


Harus menyelesaikan BLBI itu: BJ Habibie, Gur Dur, Megawati. Nilainya: Rp 147,7 triliun. Penerima: 48 buah bank. Audit BPK menyimpulkan, dari Rp 147,7 triliun, yang Rp 138 triliun mengalir ke mana-mana. Termasuk ke perusahaan sendiri.


Itulah yang dianggap merugikan negara. Lalu diuber. Banyak yang sudah masuk penjara. Banyak juga yang belum.


Banyak pula yang mendadak kaya-raya dari permainan di sekitar BLBI. Pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim, termasuk yang diuber-uber. Ia lari ke Singapura bersama istri. Status mereka buron. Tambak udangnya yang terbesar di dunia, Dipasena, di Lampung, tidak terurus. Berantakan. Tapi industri kertasnya tetap berkembang pesat. Menjadi salah satu raksasa di Asia. Berkembang pula ke berbagai macam bisnis lainnya. Anak Nursalim-lah yang mengelola. Sang ayah mengendalikannya dari Singapura


April tahun ini berkah dari langit turun ke Sjamsul Nursalim. KPK menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) untuk tersangka Sjamsul Nursalim.


Konsekuensi dari putusan bebas Mahkamah Agung (MA) terhadap eks Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Tumenggung.


Sjamsul Nursalim dan istrinya memang jadi tersangka bersamaan dengan Syafruddin. MA menganggap kasus BLBI bukan pidana. Itu sepenuhnya perdata. Orang seperti Nursalim -dan yang lain-lainnya- memang sudah memperoleh surat sakti: bebas utang BLBI. Yakni sejak mereka menyerahkan aset ke pemerintah -diwakili oleh BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional).


Mereka mendapat dua kemudahan: 1. Boleh melunasi utang BLBI dengan cara menyerahkan aset. 2. Mendapat potongan utang luar biasa besar. Ibaratnya utang Rp 100 boleh dibayar Rp 8. Potongan sebesar itu dianggap wajar, saat itu.


Di negara lain pun demikian. Yang penting krisis segera berakhir. Ekonomi segera bergerak kembali. Naiknya perekonomian secara nasional jauh lebih besar dari kerugian memberikan potongan itu.


Aset yang mereka serahkan ke negara itu dibagi ke dalam dua kelompok:


1. Kelompok aset yang dikelola BUMN (lewat perusahaan PT PPA). Jumlahnya tidak banyak.


2. Kelompok aset yang diserahkan ke Dirjen Kekayaan Negara.


Dengan bebasnya Sjamsul Nursalim, keinginan memenjarakan siapa saja akan gagal.


Maka Presiden Jokowi membentuk Satgas penagihan uang BLBI. Menko Polhukam, Menko Kemaritiman dan Investasi, Menko Perekonomian masuk di dalamnya. Juga Menteri Keuangan serta Menkum HAM.


Satgas ini kuat sekali. Tapi menagih yang mana lagi ya?


Ada yang bisa membantu menjelaskan? Demikian juga Tommy Soeharto.


Apakah ia punya utang BLBI? Ia pemilik bank apa?


Terkait Bank Pesona?


Bahkan Tommy ini dianggap yang tidak kooperatif.


Dipanggil tidak datang. Baru di panggilan ketiga Tommy mengirim pengacara. Sang pengacara mengatakan: akan mengirim proposal penyelesaiannya. Rasanya, seingat saya, Tommy tidak terkait dengan BLBI.


Mungkin kredit lainnya. Atau soal pajak. Pokoknya salut: siapa pun diuber. Untuk uberan lainnya, apa lagi ya yang masih bisa diuber?


Apakah aset-aset yang diserahkan dulu itu masih bermasalah?


Belum sepenuhnya bisa dikuasai dirjen? Kenapa baru sekarang diurus? Bukankah itu sudah berumur 17 tahun?


Kenapa tidak dijual saja di sekitar tahun 2010? Ketika ekonomi lagi bagus-bagusnya dan harga aset lagi baik-baiknya? Atau dijual di tahun sekitar 2015? Yang ekonomi juga masih bagus?


Sebenarnya kita beruntung masih punya menteri keuangan yang berapa pun tahunnya orangnya masih sama. Dialah yang paling tahu semua itu. (Dahlan Iskan). (cnbcindonesia)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »