Pengajuan PKPU dan Kepailitan Tinggi di Tengah Badai Pandemi, Perlukan Pemerintah Mengeluarkan Kebijakan Moratorium?

BENTENGSUMBAR.COM - Dunia bisnis memang tengah mengalami ujian maha berat semenjak pandemi Covid-19. Banyak perusahaan terpaksa gulung tikar, sebagian lain terseok-seok. Utang usaha kian menumpuk, belum lagi kewajiban membayar karyawan, sewa tempat usaha, dan kebutuhan operasional lainnya masih berjalan.

Pemerintah memang telah mengeluarkan kelonggaran, namun hal ini belum cukup untuk membuat perusahaan untuk bertahan. Kini, banyak perusahaan akhirnya mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan Kepailitan.

Sejak pandemi, jumlah kasus PKPU tersebut mencapai 430 kasus yang masuk ke pengadilan Jakarta, Surabaya, dan kota lainnya. Hal ini membuat pemerintah waspada dan memutuskan untuk melakukan moratorium alias penundaan pembayaran utang.

Pemerintah memandang terdapat moral hazard dalam pengajuan PKPU dan kepailitan tersebut karena persyaratannya yang mudah. Aturan pengajuan PKPU, menurut Menko Airlangga, merupakan produk hasil krisis moneter tahun 1998. 

Ketika itu aturan memang dibuat mudah bagi pelaku usaha untuk keluar dari dampak krisis moneter yang berakibat pengajuan kepailitan secara massal.

Moratorium atau penundaan pembayaran utang berdasarkan undang-undang untuk perusahaan-perusahaan yang terdampak pandemi Covid-19 ini dilakukan agar jangan sampai mereka mengajukan pailit. 

Airlangga menilai hal tersebut perlu agar pengajuan PKPU dan pailit tidak sampai dimanfaatkan oleh oknum-oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Yang dikhawatirkan, lanjur dia, debitur juga kreditur menggunakannya sebagai bagian dari corporate action mereka.

Sementara itu Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani meminta pemerintah melakukan moratorium dan memperpanjang aturan restrukturisasi kredit usaha sampai 2025, sejalan dengan permintaan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tekanan kepada pelaku usaha pun diharapkan lebih longgar.

Selain itu, dia juga merasa khawatir dengan peningkatan pengajuan PKPU dan kepailitan, banyak pihak yang akan memanfaatkan celah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.

Belum perlu moratorium

Di lain sisi, para pakar beranggapan bahwa keputusan moratorium oleh pemerintah belum diperlukan dan bukan merupakan solusi yang tepat. Bahkan, Jamaslin James Purba Ketua Dewan Penasehat Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI), menilai maraknya kasus PKPU sebenarnya tidak perlu dipandang negatif.

Menurut James, pada prinsipnya PKPU merupakan restrukturisasi utang. PKPU adalah masa negosiasi atau restrukturisasi hutang secara massal melalui Pengadilan Niaga yang difasilitasi oleh Pengurus PKPU dan Hakim Pengawas.

Dia pun menjelaskan bahwa tujuan PKPU dari sudut pandang debitur adalah sebagai kesempatan untuk melakukan re-organisasi utang melalui perlindungan hukum demi keberlanjutan usahanya. 

Sementara itu dari sudut pandang kreditur, PKPU menjadi media untuk mereka yang menganggap bahwa debiturnya masih memiliki prospek yang cukup baik untuk melunasi utang sepenuhnya.

James mengatakan, menerapkan moratorium bukan cara tepat untuk menurunkan jumlah perkara Kepailitan dan atau PKPU. Seharusnya, pemerintah melakukan revisi Undang-Undang Kepailitan, terutama tentang Persyaratan Kepailitan dan PKPU dalam Pasal 2 ayat 1 UU Kepailitan.

Misalnya, lanjut dia, dengan membuat aturan jumlah minimal klaim utang untuk bisa masuk ke perkara di Pengadilan Niaga yang juga telah diberlakukan dalam UU Kepailitan di beberapa negara lain di dunia.

Hal sama diutarakan oleh Praktisi Hukum PKPU dan Kepailitan, Hendra Setiawan Boen. Dia mengatakan, pemerintah tidak serta merta perlu menerbitkan kebijakan moratorium pendaftaran perkara PKPU dan kepailitan, hanya karena  terjadi peningkatan perkara.

Seharusnya, menurut Hendra, pemerintah menggunakan fakta ini untuk memperbaiki kondisi dan tidak menutup mata terhadap indikator kesehatan ekonomi nasional yang memburuk akibat pandemi berkepanjangan.

Sebaliknya, dia menilai bahwa PKPU ialah opsi terbaik yang ada karena para kreditur dan debitur diberikan kesempatan membahas rencana restrukturisasi utang agar mencapai kesepakatan terutama termin pembayaran.

Hendra menyatakan, adanya moratorium PKPU dan kepailitan dapat menghancurkan usaha dan ekonomi para kreditur. Kebijakan moratorium PKPU dan kepailitan ini seolah pemerintah memberikan imunitas kepada debitur yang mengemplang utang, sedangkan di sisi lain mengabaikan para kreditur yang justru lebih perlu untuk dilindungi.

Begitupun dengan Janses E. Sihalolo selaku Managing Partner Sihalolo & Co Law Firm. Dia menilai rencana pembentukan Perppu moratorium pengajuan PKPU dan Kepailitan oleh pemerintah merupakan rencana yang tidak tepat.

Dia melihat keputusan tersebut terlalu berpihak kepada kepentingan para debitur dan tidak melindungi para kreditur. Karena, lanjut Janses, pada prinsipnya PKPU dalam UU 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU, bertujuan merestrukturisasi utang.

Pihak debitur maupun kreditur diberikan hak yang sama untuk berkomitmen menyelesaikan utang-piutangnya. Jadi, debitur dalam hal ini memiliki kesempatan untuk tidak pailit dan bisa menjalankan usahanya. 

Sedangkan kreditur memiliki kepastian dan jaminan perlindungan hukum terhadap pelunasan utang dari debitur. Artinya, menurut Janses, penyelesaian permasalahannya didasari atas prinsip musyawarah mufakat dan prinsip perdamaian. 

(Siti Muryani – Anggota Perempuan Indonesia Satu)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »