Indonesia yang Mayoritas Muslim Justru Tidak Menentang Pelanggaran HAM di Uighur, Tofa: Benar-benar Membuat Saya Malu

BENTENGSUMBAR.COM - Politisi Partai Umat Mustofa Nahrawardaya mengaku merasa malu. Hal itu disampaikannya terkait sikap Indonesia terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dialami muslim Uighur, China.

Dia mengaku sedih membaca berita terkait pelanggaran HAM terhadap muslim Uighur.

Apatah lagi, Indonesia yang mayoritas muslim, justru tidak menentang pelanggaran HAM di Uighur.

Menurutnya, kepedulian negara lain yang Islamnya minoritas kepada Uighur, benar-benar membuat ia malu.

"Sungguh sedih membaca berita @SINDOnews ini. Indonesia yang mayoritas Muslim, justru tidak menentang pelanggaran HAM di Uighur/Xinjiang. Kepedulian negara lain, yg Islamnya minoritas, kepada Uighur, benar-benar membuat saya malu. ~Pendapat Pribadi~," cuitnya melalui akun twitternya @Tofatofa_id, Ahad, 24 Oktober 2021, seperti dilihat BentengSumbar.com.

Dilansir dari Sindonews, sebanyak 43 negara anggota PBB menyampaikan pernyataan bersama yang berisi kecaman tentang perlakukan China terhadap kelompok minirotas di Xinjiang, termasuk komunitas muslim Uighur . Dari 43 negara itu, Indonesia tidak ada di dalamnya.

Pernyataan bersama 43 negara itu disampaikan Duta Besar Prancis untuk PBB Nicolas De Riviere pada pertemuan Komite Hak Asasi Manusia Majelis Umum PBB hari Kamis waktu New York.

Dalam pernyataannya, daftar 43 negara tersebut adalah Albania, Australia, Austria, Belgia, Bulgaria, Kanada, Kroasia, Republik Ceko, Denmark, Estonia, Eswatini, Finlandia, Jerman, Honduras, Islandia, Irlandia, Italia, Jepang, Latvia, Liberia, Liechtenstein, Lituania, Luksemburg, Kepulauan Marshall, Monako, Montenegro, Nauru, Belanda, Selandia Baru, Makedonia Utara, Norwegia, Palau, Polandia, Portugal, San Marino, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Turki, Inggris Raya, Amerika Serikat, dan Prancis.
Turki bergabung dalam kelompok itu meski sebelumnya membela China atas kebijakannya di Xinjiang.

"Kami sangat prihatin dengan situasi di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang," kata Nicolas De Riviere.

"Laporan berbasis kredibel menunjukkan adanya jaringan besar kamp 'pendidikan ulang politik' di mana lebih dari satu juta orang telah ditahan secara sewenang-wenang," ujarnya.

"Kami telah melihat semakin banyak laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia yang meluas dan sistematis, termasuk laporan yang mendokumentasikan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat, sterilisasi paksa, kekerasan seksual dan berbasis gender, dan pemisahan paksa anak-anak."

Puluhan negara itu meminta China untuk mengizinkan akses segera, bermakna, dan tanpa batas ke Xinjiang bagi pengamat independen, termasuk Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia dan kantornya.
.Laporan itu mengatakan setidaknya 1.869.310 warga Uighur dan warga lainnya di Xinjiang dipilih setelah mereka ditemukan menggunakan Zapya, aplikasi pesan seluler.

Kubu pro-China tak terima dengan klaim 43 negara itu. Sebagai tanggapan, Kuba mengeluarkan pernyataan tandingan atas nama 62 negara lain yang mengatakan bahwa Xinjiang adalah urusan dalam negeri China.

Pernyataan tandingan itu menolak semua tuduhan pelecehan di sana karena didasarkan pada motivasi politik dan disinformasi.

Duta Besar China untuk PBB Zhang Jun berbicara segera setelah itu, mengutuk tuduhan tak berdasar dan kebohongan, dan menuduh Amerika Serikat dan beberapa penandatangan lain yang tidak disebutkan namanya atas pernyataan menggunakan hak asasi manusia sebagai dalih untuk manuver politik untuk memprovokasi konfrontasi.

Dia sangat membela perkembangan Xinjiang, dengan mengatakan kehidupan rakyatnya semakin baik dari hari ke hari. 

"Dan rencana Anda untuk menghalangi pembangunan China pasti akan gagal," katanya, seperti dikutip Al Jazeera, Jumat, 22 Oktober 2021. (by)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »