| Ahli hukum dari Universitas Dirgantara, Sukoco, menegaskan hanya pengadilan yang memiliki kewenangan menyatakan sebuah dokumen sah atau palsu, bukan opini publik atau individu di media sosial. |
Ahli hukum dari Universitas Dirgantara, Sukoco, menegaskan hanya pengadilan yang memiliki kewenangan menyatakan sebuah dokumen sah atau palsu, bukan opini publik atau individu di media sosial.
Menurut Sukoco, sejak awal dirinya tidak pernah mempercayai tuduhan yang menyebut ijazah Presiden Jokowi palsu. Sebagai alumni Universitas Gadjah Mada (UGM), Sukoco menilai isu tersebut sangat tidak masuk akal dan melukai kehormatan institusi pendidikan yang sangat kredibel.
Sukoco mengingatkan, dalam hukum pidana berlaku asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), sehingga seseorang tidak dapat dinyatakan bersalah tanpa putusan pengadilan.
“Ada orang yang menuduh Ijazah mantan presiden palsu, dia mengaku sudah mengecek ini palsu 100 persen palsu. Padahal di dalam hukum pidana, ada asas yang namanya presumption of innocence atau praduga tidak bersalah, hanya pengadilan yang bisa menyatakan seseorang itu bersalah. Istilah dokumen palsu atau ijazah palsu itu harus dibuktikan pengadilan. Kita tidak bisa mengatakan bahwa ini palsu,” kata dia dalam diskusi bertajuk ‘Jerat Hukum Pasca Penetapan Status Tersangka’, Kamis, 13 November 2025.
Lebih jauh, Sukoco menerangkan, dalam konteks hukum keterbukaan informasi publik, yang berkewajiban menyediakan informasi adalah badan publik, bukan individu. Ia menekankan, presiden, baik saat menjabat maupun setelahnya, tidak memiliki kewajiban pribadi untuk membuka dokumen pribadinya seperti ijazah.
“Kalau kita lihat di dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi, Undang-Undang 14 tahun 2008, yang wajib menyiapkan informasi publik itu bukan perorangan, tapi badan publik. Pak Jokowi dulu presiden, tapi ketika isu digulirkan, dia adalah bukan lagi presiden, dia adalah persona. Maka, tidak ada kewajiban untuk menunjukkan ijazahnya palsu atau tidak,” kata Sukoco.
Dalam pandangannya, tuduhan yang beredar di publik juga mencerminkan ketidakpahaman terhadap prosedur hukum dalam Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Ia menyebut, siapa pun yang ingin memperoleh dokumen publik harus mengikuti mekanisme resmi melalui Komisi Informasi Publik (KIP), bukan menuduh secara terbuka di media sosial.
“Siapa pun itu harus mengajukan kepada badan publik. Nah, kemudian kalau badan publik itu tidak mau menunjukkan, maka salurannya adalah ke Komisi Informasi Publik. Jadi orang itu tidak bisa langsung, ‘wah, itu palsu’. Tidak bisa,” ujarnya.
Pada akhir pernyataannya, Sukoco mengapresiasi langkah hukum Polda Metro Jaya yang telah menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus penyebaran isu ijazah palsu Jokowi, termasuk Roy Suryo dan beberapa tokoh lain.
“Saya tegaskan langkah Polda Metro Jaya sudah tidak perlu menunggu Putusan Tata Usaha Negara. Sekali lagi saya sangat mengapresiasi langkah Polda Metro Jaya menetapkan tersangka. Mungkin segera dipercepat pemeriksaannya supaya nanti ada putusan pengadilan, sehingga membuka cakrawala baru,” tutut Sukoco.
Sementara itu, Ahli Bahasa dari Politeknik Negeri Jakarta (PNJ), Mochamad Nuruz Zaman menilai, frasa ‘ijazah palsu’ yang digunakan dalam narasi publik mengenai Jokowi merupakan bentuk pembingkaian bahasa (framing linguistik) yang memiliki muatan negatif kuat.
Menurutnya, penggunaan istilah tersebut, tak sekadar ekspresi kritik, tetapi bisa berfungsi sebagai instrumen pembentuk persepsi publik yang menyesatkan.
Sebelumnya diberitakan, Polda Metro Jaya tidak menahan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo, ahli digital forensik Rismon Hasiholan Sianipar, serta dokter Tifauziah Tyassuma alias dokter Tifa, dalam kasus heboh tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi).
Ketiganya diketahui menjalani pemeriksaan sebagai tersangka untuk pertama kalinya di Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Kamis, 13 November 2025.
“Kepada ketiga tersangka kami perbolehkan kembali ke rumahya masing-masing,” ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Iman Imanuddin kepada wartawan.
Untuk diketahui, kasus ini mencuat setelah Roy Suryo bersama beberapa pihak menggugat keaslian ijazah sarjana Jokowi dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Mereka menuding ijazah tersebut tidak sah.
Laporan Jokowi ke Polda Metro Jaya pada 30 April 2025 langsung bergulir cepat. Polisi menaikkan status perkara dari penyelidikan ke penyidikan setelah menemukan adanya dugaan unsur pidana fitnah dan pencemaran nama baik.
Total ada 12 orang yang masuk dalam daftar terlapor, termasuk Roy Suryo, Abraham Samad, Eggi Sudjana, Damai Hari Lubis, Tifauzia Tyassuma, dan sejumlah nama lainnya.
Dalam proses penyidikan, Jokowi telah diperiksa dua kali. Pemeriksaan pertama dilakukan di Polda Metro Jaya, sementara yang kedua berlangsung di Polresta Surakarta. Dalam pemeriksaan itu, penyidik menyita ijazah SMA dan S1 Jokowi untuk diuji keasliannya di laboratorium forensik.
9 Jam Diperiksa Polisi dan Jawab Ratusan Pertanyaan, Roy Suryo Cs Akhirnya Pulang Eks Menpora Roy Suryo, ahli digital forensik Rismon Hasiholan Sianipar, serta dokter Tifauziah Tyassuma alias dokter Tifa,dicecar ratusan pertanyaan saat diperiksa polisi. (*)
Sumber: VIVA.co.id
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »