Catatan Muhibbullah Azfa Manik: Riwayat Luka di Tanah Andalas

Sumatera
Peta Pulau Sumatera. 

PULAU
Sumatera kini serupa tubuh renta yang kehilangan kulit pelindungnya. Hutan-hujan yang dulu rapat—yang bertugas menyerap amuk hujan, mengerem laju tanah, dan menenangkan gejolak aliran sungai—kini terkelupas pelan namun pasti. Yang tersisa hanyalah luka-luka ekologis yang menganga, yang setiap kali musim penghujan tiba, berubah menjadi drama banjir bandang, tanah longsor, dan bencana berulang yang kian menjemukan. Deforestasi di Sumatera bukan lagi sekadar isu lingkungan yang diperdebatkan di ruang seminar ber-AC; ia telah menjelma menjadi krisis kemanusiaan yang datang berkala, menagih tumbal nyawa dan harta.

Data resmi dari kementerian mungkin boleh bersilat lidah soal angka-angka penurunan laju deforestasi, tapi alam tak pernah pandai berbohong. Dari ujung Aceh hingga pesisir Lampung, banjir bandang dan longsor kian akrab menghiasi tajuk berita. Sungai-sungai legendaris—Batanghari yang agung, Musi yang perkasa, Indragiri, hingga Alas yang liar—tak lagi mampu mengalirkan ketenangan. Mereka kini lebih sering meluap, membawa kiriman lumpur pekat, kayu-kayu gelondongan sisa jarahan, bahkan menghanyutkan rumah-rumah warga. Air kini tak lagi datang sebagai berkah yang dinanti petani, melainkan sebagai pesan keras dari hulu: ada sesuatu yang sedang hancur lebur di sana.

Lagu Lama di Balik Lumpur
Akar persoalannya adalah sebuah lagu lama yang diputar berulang-ulang: hutan hilang, daya dukung lenyap. Deforestasi di Sumatera berlangsung dalam banyak rupa yang legal maupun ilegal. Ada pembalakan liar yang sembunyi-sembunyi, ada konversi hutan menjadi hamparan kebun sawit yang dipoles izin resmi, ada hutan tanaman industri yang monokultur, hingga nafsu tambang yang mencabik-cabik bukit dan membuka perut tanah tanpa ampun. Ketika tutupan hijau menyusut, tanah kehilangan kemampuannya untuk menjadi spons alami. Hujan yang dulu diserap perlahan oleh akar-akar purba, kini langsung meluncur di permukaan, menumpuk di palung sungai yang kian dangkal, lalu tumpah ruah ke pemukiman manusia.

Ironisnya, setiap kali bencana ini menyapu, para pemangku kebijakan kerap menyebutnya sebagai kejadian "alami". Seolah-olah banjir dan longsor adalah takdir geografis yang tak terelakkan bagi penghuni Sumatera. Padahal, yang terjadi lebih tepat disebut sebagai malapetaka ekologis buatan manusia. Alam hanya bereaksi terhadap perlakuan kasar yang diterimanya. Logika pembangunan kita selama ini memang sangat ekstraktif: keruk apa yang ada di bawah tanah, tebang apa yang tumbuh di atasnya, lalu tinggalkan lubang-lubang maut dan lahan gersang saat keuntungan sudah dikantongi.

Mesin Pendingin yang Rusak
Salah satu potret paling getir dari deforestasi ini adalah hilangnya fungsi ekosistem sebagai penyangga iklim mikro. Hutan hujan tropis Sumatera adalah salah satu yang terkaya di jagat raya. Ia bekerja sebagai mesin pendingin alami dan penentu stabilitas hidrologi. Ketika sistem yang rumit dan cerdas itu dirusak demi kebun-kebun monokultur, yang runtuh bukan sekadar pepohonan, melainkan logika keseimbangan antara manusia dan alam. Tanah-tanah di perbukitan yang kehilangan pegangan akar menjadi labil, siap meluncur kapan saja ketika dijatuhi beban air hujan yang kian ekstrem akibat perubahan iklim global.

Menyelesaikan krisis ini tentu tak cukup dengan sekadar normalisasi sungai atau pembangunan tanggul-tanggul raksasa yang menelan biaya triliunan rupiah. Langkah-langkah teknis semacam itu hanyalah menambal gejala, bukan menyembuhkan penyakitnya. Tanpa pemulihan hutan di daerah tangkapan air yang radikal, tanpa penegakan hukum yang berwibawa terhadap para perusak lingkungan, dan tanpa koreksi total terhadap model pembangunan yang rakus lahan, Sumatera akan terus terperangkap dalam lingkaran setan bencana. Pemerintah perlu berhenti memandang hutan semata-mata sebagai cadangan lahan untuk investasi atau komoditas dagangan.

Infrastruktur Hijau yang Terlupakan

Hutan harus diposisikan sebagai infrastruktur ekologis yang vital—tak kalah penting dan mahalnya dibandingkan jalan tol atau bendungan. Merusak hutan demi mengejar angka pertumbuhan ekonomi jangka pendek sama saja dengan menggerogoti pondasi rumah sendiri demi mendapatkan kayu bakar.

Deforestasi di Sumatera telah mengubah peta bencana secara permanen. Yang dulu dianggap siklus musiman, kini menjadi kejadian tahunan; yang dulu skalanya lokal, kini meluas lintas kabupaten. Alam telah berkali-kali memberikan peringatan dengan bahasa yang kian keras dan mematikan. Pertanyaannya kini bukan lagi apakah kita tahu penyebabnya, melainkan apakah kita memiliki nyali untuk berhenti berpura-pura tidak tahu.

Kita sering kali terjebak dalam retorika "pembangunan demi kesejahteraan". Namun, kesejahteraan macam apa yang bisa dinikmati jika setiap tahun rakyat harus mengungsi karena rumahnya terendam lumpur? Kesejahteraan macam apa yang didapat jika sawah-sawah tertimbun longsoran tanah dari bukit yang gundul? 

Kenyataannya, keuntungan dari eksploitasi hutan sering kali hanya dinikmati oleh segelintir elite dan korporasi, sementara beban bencananya ditanggung oleh rakyat jelata yang tak punya pilihan selain bertahan di tanah yang kian rapuh.
Menagih Janji Pemulihan
Sumatera kini berada di persimpangan jalan. Jika laju penebangan hutan terus dibiarkan tanpa kendali, dan krisis ekologis ini hanya ditanggapi dengan retorika kosong, maka pulau ini tak hanya akan kehilangan hijaunya pepohonan, tetapi juga kehilangan masa depannya. Generasi mendatang mungkin hanya akan mengenal hutan Sumatera lewat foto-foto usang di buku sejarah, sementara mereka sendiri harus hidup dalam ketakutan setiap kali langit mulai mendung dan guntur menggelegar. Padatnya penduduk di hilir yang tak diimbangi dengan perlindungan kawasan hulu adalah bom waktu yang sedang berdetak kencang.

Bencana yang datang silih berganti ini adalah konsekuensi logis dari pilihan-pilihan kita hari ini. Kita tidak bisa lagi berlindung di balik kata "musibah" untuk menutupi kegagalan pengelolaan lingkungan. Setiap pohon yang ditebang di hulu adalah ancaman bagi nyawa di hilir. Alam telah menunjukkan batas toleransinya. Dan ketika bencana berikutnya datang—seperti yang hampir pasti akan terjadi dalam waktu dekat—kita harus jujur mengakui bahwa itu adalah hasil dari keserakahan yang kita biarkan tumbuh subur di atas tanah Andalas yang kian malang ini.

Titik Nadir Tanah Andalas

Jika tak ada langkah berani untuk melakukan moratorium total dan restorasi hutan secara masif, Sumatera akan terus hidup di bawah bayang-bayang bencana, menunggu waktu hingga alam benar-benar mencapai titik nadirnya. Kita butuh lebih dari sekadar pidato politik atau seremoni penanaman pohon yang serba artifisial. Kita butuh pengakuan bahwa model ekonomi kita saat ini sedang membunuh kita secara perlahan.

Pada akhirnya, keselamatan Sumatera adalah ujian bagi kemanusiaan kita. Bisakah kita berhenti mengeruk keuntungan dari kehancuran? Ataukah kita akan membiarkan anak cucu kita mewarisi tanah yang subur hanya dalam ingatan, namun gersang dan mematikan dalam kenyataan? Jawaban atas pertanyaan itu tidak tertulis di atas kertas kontrak konsesi, melainkan di kedalaman hutan-hutan kita yang masih tersisa. Segera selamatkan hulu, atau hilir akan selamanya menjadi kuburan bagi harapan.
(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »