Dr. M. Djamil, Sang 'Malarialoog' yang Guncang Dunia dengan Dua Gelar Doktor

Dr. M. Djamil, Sang 'Malarialoog' yang Guncang Dunia dengan Dua Gelar Doktor
Nama "Dr. M. Djamil" telah memendar dalam ingatan kolektif warga Sumatera Barat. Ia lebih dari sekadar huruf-huruf di papan nama rumah sakit pusat di Padang.

OLEH
: Muhibbullah Azfa Manik

Nama "Dr. M. Djamil" telah memendar dalam ingatan kolektif warga Sumatera Barat. Ia lebih dari sekadar huruf-huruf di papan nama rumah sakit pusat di Padang. Ia adalah monumen hidup, simbol kegigihan intelektual seorang putra Minang yang, pada masanya, berdiri sejajar dengan otak-otak terbaik dunia. Dr. Mohammad Djamil, DPH (1898–1962), atau bergelar adat Datuk Rangkayo Tuo, bukan dokter biasa. Ia adalah raksasa yang mencetak sejarah dengan prestasi hampir tak tersaingi: menjadi orang Indonesia—dan Minang—pertama yang merengkuh dua gelar doktor dari dua pusat peradaban kedokteran yang berbeda: Eropa dan Amerika.

---

Menaklukkan Utrecht, Lalu Melanglang ke Johns Hopkins

Setelah menyelesaikan pendidikan di STOVIA—tempat bibit intelektual Indonesia awal disemai—Djamil tak merasa cukup. Gelora ingin tahunya membawanya melintas samudera ke Belanda. Di Universitas Utrecht, dengan ketekunan yang khas "anak dagang", ia menggali ilmu penyakit dalam (interne ziekten). Pada 31 Mei 1932, dengan disertasi berjudul "Bijdrage tot de Kliniek en Therapie der Levercirrose" (Kontribusi pada Klinik dan Terapi Sirosis Hati), ia resmi menyandang gelar Doctor Medicinae. Prestasi ini saja sudah luar biasa untuk seorang putra jajahan di era kolonial.

Namun, langkahnya tak berhenti. Haus akan ilmu yang aplikatif dan berdampak luas membawanya ke benua baru. Berkat beasiswa bergengsi dari Yayasan Rockefeller—yang kala itu seleksinya ketat bak saringan berlubang halus—Djamil mendarat di Amerika Serikat. Ia memasuki gerbang Universitas Johns Hopkins di Baltimore, kiblat ilmu kesehatan masyarakat (public health) yang legendaris. Di sanalah, pada 12 Juni 1934, ia mempertahankan disertasi berjudul "A Study on the Dissemination of B. Dysenteriae in Families in Bandoeng, Java". Gelar kedua, Doctor of Public Health (DPH), pun ia kantongi.

Dalam tempo hanya dua tahun, ia menaklukkan dua puncak akademis yang berbeda alam pikir. Sebuah lompatan dari kedokteran klinis individu ke kesehatan masyarakat yang holistik. Prestasi ganda ini, seperti dicatat sejarawan kedokteran Prof. Dr. Kusnandi Rusmil, dr., Sp.A(K), MM, membuatnya menjadi primus inter pares—yang pertama di antara yang sederajat—dalam jagat intelektual Indonesia masa itu.

---

Dari Dedak hingga Diplomasi: Pejuang di Dua Medan

Kejeniusan akademis Dr. Djamil tidak sekadar menjadi hiasan diploma. Ia pulang dengan membawa misi. Indonesia pada era 1930-1950an dicekam wabah malaria yang menjadi pembunuh senyap. Djamil, yang kini ahli penyakit tropis, terjun ke lapangan. Dunia medis internasional mengenangnya sebagai "Malarialoog"—Ahli Malaria.

Inovasinya yang terkenal, brilian dalam kesederhanaannya, adalah penggunaan dedak (bekatul) untuk membasmi jentik nyamuk Anopheles. Dedak, yang tersebar di permukaan air, akan dimakan oleh ikan-ikan kecil pemakan jentik.

Ini adalah metode pengendalian hayati yang jauh sebelum istilah itu populer, sebuah solusi lokal yang ilmiah dan efektif, menghemat biaya sekaligus menyelamatkan ribuan nyawa di daerah endemis.

Namun, medan perjuangannya tak hanya seputar mikroskop dan larva nyamuk. Di tengah gejolak Revolusi Kemerdekaan, pria berperawakan tenang ini ternyata seorang negarawan tulang. Ia dipercaya memegang tampuk kepemimpinan politik dan militer yang krusial: menjadi Residen Sumatera Barat (1946-1947) dan kemudian Gubernur Militer Sumatera Tengah (1948-1949). Dalam posisi genting itu, ilmu organisasi dan ketegasannya diuji. Ia harus mengatur logistik, menjaga stabilitas, dan memimpin rakyat di tengah agresi militer Belanda.

Pasca pengakuan kedaulatan, obsesinya pada ilmu kembali menguat. Ia adalah salah satu pionir dan pelopor pendirian Fakultas Kedokteran Universitas Andalas pada 1955. Dari sinilah ia menyalakan obor berikutnya, melahirkan generasi dokter-dokter baru untuk Sumatera.

---

Warisan yang Terus Berdenyut

Dr. M. Djamil wafat pada 1962, namun namanya tak pernah redup. RSUP Dr. M. Djamil di Padang bukan hanya sekadar penghormatan simbolik. Ia adalah perwujudan dari semangatnya: rumah sakit sebagai pusat pelayanan dan pengembangan ilmu.
Kisahnya adalah narasi lengkap tentang seorang intelektual sejati: otaknya menembus langit Eropa dan Amerika, tangannya mengolah dedak di sawah-sawah Sumatera, dan hatinya berpijak pada tanah air yang sedang berjuang. Ia menggabungkan dengan sempurna tiga elemen yang kerap terpisah: kecemerlangan akademik tingkat dunia, inovasi yang membumi, dan keberanian memimpin di garis depan negara.

Di era dimana gelar doktor kerap diperdebatkan bobotnya, jejak Dr. M. Djamil mengingatkan: gelar itu bukan untuk pamer, melainkan senjata untuk membelah kegelapan—entah kegelapan penyakit, kebodohan, atau penjajahan. Ia adalah bukti bahwa putra Minang, dan Indonesia, bisa tidak hanya sekadar mengejar, tetapi menaklukkan puncak-puncak peradaban, lalu pulang untuk menumbuhkan benih-benih kemajuan di tanah sendiri.
(***)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »