![]() |
HM. Nurnas ketika meninjau bedah rumah di Korong Klubang Kec. Batang Anai Kab. Padangpariaman |
“Kalau dihitung sudah lebih Rp3 juta dana pribadi terpakai
untuk melanjutkan bedah rumah ini. Karena semuanya diharuskan membangun baru,
kami dipaksa menerima bantuan berupa material bangunan,” kata Anai, Efendi Chan, warga Korong
Pilubang Kecamatan Batang.
Menurut Efendi, bantuan untuk rehab rumah senilai Rp7,5 juta
telah diganti menjadi bahan bangunan. Ada semen, pasir, batu bata, batu pondasi
yang diberikan. Efendi kemudian diharuskan mendirikan bangunan bermodal bahan
material tersebut. Dengan sedikit keterampilan bertukang, Efendi bisa melakukan
pembangunan rumah. Konsekuensinya, ia harus berhenti kerja dan membangun
rumahnya sendiri.
“Bantuan dibagi mejadi dua tahap. Kalau tahap pertama tidak
dibangun, bantuan kedua diancam tidak diberikan. Akhirnya saya langsung harus
bekerja, meskipun harus menambah biaya sendiri—apalagi menggaji tukang tak ada
lagi biaya. Untuk menghemat bangunan ini tidak memakai besi cor,” ujar Efendi
bapak tiga anak yang sehari-hari bekerja serabutan sebagai buruh proyek.
Kondisi yang sama dirasakan Nasrul, warga Korong Pinago yang
juga menerima bantuan program bedah rumah. Menurut Nasrul yang sehari-hari bekerja
sebagai petani, bantuan diserahkan dalam bentuk material bahan bangunan. Ia
kesulitan melakukan pembangunan karena kekurangan biaya. Kalau pun bisa
dikerjakan, material bangunan tidak mencukupi jumlahnya.
“Satu truk batu dipatok harganya Rp800 ribu. Padahal kalau
kami beli sendiri harganya Cuma Rp500 ribu paling mahal. Tapi beli sendiri
tidak diizinkan, uang yang kami terima dari bank, langsung diarahkan ke toko
bangunan yang sudah ditunjuk,” beber Nasrul.
Karena dipaksa membeli bahan bangunan, banyak material yang
menumpuk tak ada biaya untuk membangunnya. Ini juga dirasakan Janiar (70), warga
Korong Pinago—material masih menumpuk karena dirinya yang tua tak bisa lagi
membangun sendiri. Mengupah tukang, biaya tak ada. Anak tunggalnya adalah buruh
tani yang tak memiliki keterampilan membangun rumah.
“Amak cameh bantuan ko ndak bisa dipakai. Simin bisa
manjadi batu kalau lamo talatak. Biaya ndak ado pulo untuak tukang,”
ujarnya. Keluhan sejumlah warga miskin di Padangpariaman ini, adalah potret
proses penyaluran bantuan yang terkesan dipaksakan. Bahkan disebut-sebut ada
ancaman pemotongan Rp1 juta jika masyarakat ngotot meminta bantuan sekaligus
dalam bentuk uang tunai.
Ketua Komisi III DPRD Sumbar, HM Nurnas yang melakukan
peninjauan lapangan mengaku prihatin dengan mekanisme penyaluran bantuan
tersebut. Menurut Nurnas, penyaluran bantuan harus menyesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat. “Jika butuh lantai rumah semen dan atap, itu saja yang
dibeli. Jangan semua bahan bangunan. Untuk biaya pemasangan tak ada lagi
uangnya,” ujar Nurnas yang tergabung di Fraksi Demokrat.
Nurnas berjanji bakal mengevaluasi sistem penyaluran bantuan
pemerintah itu. Diduga tim fasilitator lapangan telah “bermain” membuat aturan
sendiri di luar konteks petunjuk sebenarnya. “Bedah rumah ini tak harus
membangun baru. Tapi ini dipaksakan. Perlu diluruskan lagi, apakah nanti bisa
bantuan uang tunai saja, masyarakat bisa menentukan kebutuhan untuk perbaikan
rumahnya,” ujar Nurnas. Program bedah rumah kata Nurnas, didukung anggaran
pemerintah pusat dan provinsi. Saat ini untuk di Sumbar dialokasikan lebih
kurang Rp13,5 miliar. Bantuan itu diharapkan tepat sasaran dan nominal penerima
idealnya ditingkatkan dari Rp7,5 juta menjadi Rp15 juta. (Jonsintaga)
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »