BAGI seseorang, sangat sulit memadukan kedua hal ini: kesalehan personal dan sosial. Biasanya, orang yang saleh secara personal, belum tentu mampu menjaga kesalehan sosialnya dengan baik, begitu pula sebaliknya. Orang yang saleh personal dan sosial sering terjerat kepada perbuatan riya dalam melakukan aktivitas yang digelutinya.
Misalnya, seseorang Aparatus Sipil Negera (ASN) yang mendadak rajin puasa sunah Senin-Kamis, padahal sebelumnya dia jarang melakukannya. Selidik punya selidik, lantaran induk semangnya rajin puasa sunnah Senin-Kamis. Ada pula orang yang mendadak menjadi ustad menjelang pelaksanaan pemilihan umum. Dia rajin masuk mesjid ke luar mesjid, tujuannya bukan memberikan pencerahan ke umat, tetapi untuk meraih simpati umat sehingga memperoleh suara yang diinginkan. Ini bentuk kesalehan pribadi yang dibuat-buat, ada maunya dari manusia, bukan mengharap ridho Ilahi.
Misalnya, seseorang Aparatus Sipil Negera (ASN) yang mendadak rajin puasa sunah Senin-Kamis, padahal sebelumnya dia jarang melakukannya. Selidik punya selidik, lantaran induk semangnya rajin puasa sunnah Senin-Kamis. Ada pula orang yang mendadak menjadi ustad menjelang pelaksanaan pemilihan umum. Dia rajin masuk mesjid ke luar mesjid, tujuannya bukan memberikan pencerahan ke umat, tetapi untuk meraih simpati umat sehingga memperoleh suara yang diinginkan. Ini bentuk kesalehan pribadi yang dibuat-buat, ada maunya dari manusia, bukan mengharap ridho Ilahi.
"Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kalian semua adalah syirik kecil.’ Para sahabat bertanya, ‘apa yang dimaksud dengan syirik kecil wahai Rasulullah?’ beliau bersabda, ‘riya’. Di hari kiamat kelak, manusia diberi pahala, Allah berfirman kepada mereka, ‘Pergilah kalian kepada mereka yang pernah kamu riya’ ketika di dunia dan perhatikanlah apakah di sisi mereka ada pahala untuk kalian.” (H.R. Ahmad).
Contoh lainnya, banyak orang yang mendadak menjadi dermawan. Bukan karena dia ingin berbagi untuk sesama, kebetulan dia lagi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif atau kepala daerah. Hal ini secara terang benderang diketahui orang, tetapi kebanyakan mereka diam, dan tetap menerima sumbangan dari caleg atau cakada (calon kepala daerah) tersebut. Penilaian dilakukan di dalam hati mereka masing-masing dengan menimbang baik buruknya.
Dalam kenyataannya, kita juga melihat masih terdapat ketimpangan yang tajam antara kesalehan personal dan kesalehan sosial. Banyak orang yang saleh secara personal, namun tidak atau kurang saleh secara sosial. Kesalehan personal kadang disebut juga dengan kesalehan ritual, kenapa? Karena lebih menekankan dan mementingkan pelaksanaan ibadah ritual, seperti shalat, puasa, zakat, haji, zikir, dan sebagainya. Disebut kesalehan personal karena hanya mementingkan ibadah yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan dan kepentingan diri sendiri. Sementara pada saat yang sama mereka tidak memiliki kepekaan sosial, dan kurang menerapkan nilai-nilai Islami dalam kehidupan bermasyarakat. Pendek kata, kesalehan jenis ini ditentukan berdasarkan ukuran serba formal, yang hanya hanya mementingkan hablum minallah, tidak disertai hablum minan nas.
Sedangkan “Kesalehan Sosial” menunjuk pada perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai Islami, yang bersifat sosial. Bersikap santun pada orang lain, suka menolong, sangat concern terhadap masalah-masalah ummat, memperhatikan dan menghargai hak sesama; mampu berpikir berdasarkan perspektif orang lain, mampu berempati, artinya mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan seterusnya. Kesalehan sosial dengan demikian adalah suatu bentuk kesalehan yang tak cuma ditandai oleh rukuk dan sujud, puasa, haji melainkan juga ditandai oleh seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan berbuat kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. Sehingga orang merasa nyaman, damai, dan tentram berinteraksi dan bekerjasama dan bergaul dengannya.
“Barangsiapa bangun di waktu pagi dan berniat menolong orang yang teraniaya dan memenuhi keperluan orang Islam, baginya ganjaran seperti Haji Mabrur. Hamba yang paling dicintai Allah ialah yang paling bermanfaat bagi manusia, dan amal yang paling utama ialah memasukkan rasa bahagia pada hati orang yang beriman, menutup rasa lapar, membebaskan dari kesulitan, atau membayarkan utang.” (HR Ibnu Hajar al-Asqolani).
Menarik untuk mencermati pemilihan Gubernur Sumatera Barat kali ini. Ada orang yang memaksakan diri agar terlihat saleh secara personal dan sosial demi meraih simpati rakyat. Namun tidak bagi Irwan Prayitno. Pada dirinya, kesalehan personal dan sosial tidak dibuat-buat. Orang-orang yang mengenai Irwan Prayitno Datuk Rajo Bandaro Basa dengan baik, maka mereka akan tahu, bahwa kesalehan personal dan sosial yang terbentuk pada sosok yang satu ini bukan dibuat-buat menjelang pemilihan anggota DPR RI atau Gubernur Sumatera Barat saja.
Kesalehan personal dan sosial Irwan terbentuk berkat didikan kedua orang tuanya, Djamarul Djamal dan Sudarni Sayuti. Keduanya merupakan lulusan PTAIN Yogyakarta dan dosen IAIN Imam Bonjol. Irwan didik ilmu agama oleh kedua orang tuanya sendiri sedari kecil. Dalam kehidupan sehari-hari, Irwan sudah terbiasa mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam. Irwan sudah terbiasa puasa sunnah Senin-Kamis, sudah terbiasa sholat dhuha, sudah terbiasa sholat malam, i'tikaf di mesjid, membaca al Quran dan ibadah yang bersifat ritual lainnya. Irwan pun sudah terbiasa memberikan tausiyah kepada umat sejak muda. Dia dikenal sebagai ustad panggilan yang dipanggil ceramah dari surau ke surau, dan dari mesjid ke mesjid. Dia juga mentarbiyah anak-anak muda, sehingga mereka mengenal agamanya dengan baik.
Dalam membina rumah tangga pun, Irwan Prayitno mencari pasangan yang sekufu dengannya. Adalah Nevi Zuairina, seorang wanita yang tangguh yang selalu setia mendampingi penghulu Suku Tanjuang Kenagarian Pauh IX Kota Padang ini. Menikah dalam usia muda, ketika masih menuntut ilmu di Universitas Indonesia (UI). Bersama Nevi Zuairina, Irwan Prayitno membina rumah tangganya. Mereka bertekat menjadi keluarga dakwah. Anak-anak Irwan Prayitno pun didik dengan nilai-nilai keislaman yang kental dalam rumah tangga. Kesalehan personal dan sosial dikenalkan kepada mereka sejak dini oleh Irwan dan Nevi.
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. At-Tahrim ayat 6).
Ya, hobi Irwan Prayitno memang berdakwah. Di mana berada, dengan siapa pun lawan bicara, kata-kata dakwah pasti terselip dari ucapannya. Selain sebagai penceramah agama, dia juga kerap diundang menjadi khatib Jum'at dan dua sholat Id. Kesalehan personal ini tertanam kuat pada dirinya. Kesalehan personal ini pun berujung pada kesalehan sosial, karena ritual ibadah dalam Islam sarat makna sosial. Semisal sholat, puasa, zakat, haji, sedekah, dan lain sebagainya.
Bagi Irwan, ibadah ritual dalam Islam erat kaitannya dengan perilaku sosial seseorang. Puasa misalnya, menurut Irwan dapat menjadi terapi mencegah perilaku korupsi. Sebab, misi utama ibadah puasa adalah mengendalikan hawa nafsu. Puasa mengajarkan umat Islam untuk menahan diri, mengendalikan hawa nafsu, merasakan penderitaan orang lain yang kelaparan serta mendekatkan diri kepada Allah swt. Jika ibadah puasa dilakukan dengan baik dan benar, In sha Allah akan mampu mencegah seseorang dari tindakan korupsi. Dan selama memimpin Sumatera Barat sejak tanggal 15 Agustus 2010-15 Agustus 2015, publik Sumatera Barat belum pernah mendengar Irwan Prayitno tersangkut kasus korupsi.
Suatu hal yang menarik bagi penulis sejak mengenal Irwan. Sosok yang satu ini paling tidak suka namanya disebut-sebut jika memberikan sumbangan. Dia akan berpesan kepada penerima sumbangan, cukup disebut hamba Allah saja, tak usah disebut namanya. Tujuannya adalah untuk menghindari riya, sebab perilaku riya akan membakar amal ibadah seseorang. Dalam suasana pemilihan Gubernur Sumatera Barat 2015 ini pun, Irwan tidak mau disebutkan namanya jika memberikan sumbangan. Padahal, biasanya seorang calon kepala daerah paling suka namanya disebut-sebut jika memberikan sumbangan.
“Sesungguhnya, orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan, apabila mereka berdiri untuk salat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dalam salat) di hadapan manusia. Dan, tidaklah mereka menyebut Allah, kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa ayat 142).
Dengan demikian, Islam bukan agama individual. Ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad adalah agama yang dimaksudkan sebagai rahmat bagi semesta alam (Rahmatan lil alamin). Agama yang tidak hanya untuk kepentingan penyembahan dan pengabdian diri pada Allah semata tetapi juga menjadi rahmat bagi semesta alam. Karena itu, dalam al-Quran kita jumpai fungsi manusia itu bersifat ganda, bukan hanya sebagai abdi Allah tetapi juga sebagai khalifatullah. Khalifatullah berarti memegang amanah untuk memelihara, memanfaatkan, melestarikan dan memakmurkan alam semesta ini, karena itu mengandung makna hablum minan nas wa Hablum minal alam.
Robbanaa aatinaa min ladunka rohmatan wa hayyi lanaa min amrinaa rosyadaa. Laa ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadz dzolimin. Ya Allah, berilah rahmat pada kami dan beri kami petunjuk yang lurus serta sempurna. Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sungguh aku termasuk orang-orang yang zholim. Wallahu A'alam Bishawab.
Ditulis Oleh :
Zamri Yahya
Waki Ketua Forum Komunikasi Anak Nagari (FKAN) Pauh IX Kota Padang/Pimpinan Bara Online Media (BOM) Group
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »