DI kampungku itu, pemberian gelar adat pada hakekatnya sudah merupakan bentuk penghormatan sekaligus pengakuan. Karenanya sebuah gelar baik Datuk, Sutan, Bagindo, Sidi diberikan secara turun temurun baik dari mamak ke kemanakan maupun dari bapak kepada anak. Gelar diberikan kepada pendatang, ada juga. Tetapi harus melalui proses adat terlebih dahulu. "Malakok" namanya. Pendatang yang malakok ini tetap dianggap sebagai kemenakan sepanjang hidupnya. Diapun secara adat akan jadi mamak pula buat keponakan2nya. Tidak pernah ada dalam adat gelar kehormatan khusus yang diberikan untuk siapapun karena jasa atau prestasi. Hal ini karena orang kampung saya itu punya karakter egaliter dan kosmopolit. Sangat jauh beda dengan karakter feodal yang dianut oleh sistem kekerabatan yang terbina dari sistem kerajaan.
Gelar kehormatan secara adat kepada orang lain yang dianggap berjasa mulai muncul pasca PRRI bahkan makin marak sejak zaman orde baru dalam kepemimpinan Soeharto. Dianggap pecundang oleh Soekarno dan "teror" feodalisme oleh Soeharto secara kebudayaan sangat berat dipikul oleh orang kampungku. Egaliter dan kosmopolit itu rawan runtuh. Penguasa saat itu bisa saja berbuat apapun dengan alasan UU, ancaman subversif dll. Orang kampungku sangat sadar, bahwa apapun yang terjadi, tanah ulayat dan rumah gadang tidak boleh hilang. Sebab hilangnya hal itu sudah bisa dikatakan dia tidak akan jadi orang Minang lagi. Hidupnya sudah bisa dipastikan akan menumpang di kampung orang lain. Dan lagi orang kampungku tidak punya pasukan kavaleri, marinir, kopasus dsb yg terkondisikan sebagai pasukan tempur. Kekhawatiran akan hilangnya tanah ulayat, rumah gadang dan kampung halaman itu memaksa orang kampungku berbaik2 kepada penguasa. Ada rasa rendah diri, memang. Rendah diri karena dianggap sebagai pecundang pemberontak. Padahal jasa orang kampungku untuk kemerdekaan republik ini sangat besar sekali. Bagi yang punya harga diri kuat, dadanya selalu tegak menghadapi penzaliman kebudayaan. Yang lemah, tertekur kepalanya. Di rantau, jika ada yang tertekur kepalanya, sangat mudah diketahui. Lihat saja nama anaknya. Jika kuat unsur kejawaan dalam nama itu, pertanda itulah orang kampungku yang tertekur. Dan ada juga yang mengaku dari suku lain jika ada yang menanyakan.
Kepatuhan terhadap penguasa berjalan terus. Berbaik-baik kepada penguasa tidak pernah berhenti. Menukar nama kampung yang khas etnik dengan bahasa indonesiapun dilakukan. Biar penguasa gampang membacanya, alasannya. Memberi gelar adat yang berjudul "gelar kehormatan" itu sering ditemui. Alasannya itu bukan gelar "sako", tapi "gelar sangsako". Entah kapan pula istilah sangsako ini munculnya.
Di era reformasi, banyak yang mengharapkan akan terjadi perubahan. Yang tertekur ini harus tegak kembali. Maruah orang kampungku harus tegak lagi seperti zaman Agus Salim, Hatta, M Yamin, Tan Malaka dll waktu muda dahulu. Begitu tekadnya. Dengan otonomi daerah kenapa tidak? Begitu harapannya. Berbaik2 kepada penguasa mulai pudar. Kritis, egaliter dan kosmopolitnya mulai bangkit. Kebebasan menentukan pilihan dan kebijakan sendiri mulai dirasakan. Itu terbangun terus mulai sejak Gus Dur berkuasa sampai SBY. Sayangnya, mulai di pertengahan kekuasaan SBY, keangkuhan partai politik kembali muncul. Orang kampungku yang hebat2 karirnya sudah mulai ditangkapi karena tuduhan korupsi. Di zaman Jokowi ini malah bertirit2 ditangkapi. Ada juga yang berpikir kejadian ini dusebab balas dendam politik karena orang kampungku hampir 80% memilih Prabowo waktu pemilu 3 tahun lalu.
Bagi sebagian orang kampungku, boleh jadi beranggapan berbaik2 itu harus digalakkan lagi. Beberapa bulan lalu, IAIN akan memberikan gelar doktor honoris causa kepada Presiden Jokowi. Akhirnya gagal karena cukup vokal suara menentangnya, terutama dari kalangan ulama. Lalu, baru2 ini kepada Kapolri Tito Karnavian dapat gelar kehormatan melalui jalur adat suku Sikumbang di sebuah nagari. Sebuah gelar yang diberikan oleh sebuah kaum dari sangat banyak kaum dan dari sebuah nagari dari lebih 500 nagari. Namun karena gemanya kuat dan banyak di dukung oleh pemerintah daerah, organisasi adat di ranah dan juga rantau, seolah2 gelar itu menjadi gelar dari orang kampungku secara keseluruhan. Walaupun demikian, ciri egaliter dan kosmopolit masih saja muncul. Hal ini terlihat dari tidak sedikit pula yang menentangnya. Tapi begitulah orang kampungku. Jika ada peristiwa tak patut dilakukan telah terjadi, tidak ada niat unruk berseteru. Bagaimanapun diantara orang kampungku adalah orang badunsanak.
Yang mengganggu saya adalah akankah orang kampungku ini tidak bisa terbebas dari trauma dianggap pecundang pemberontak sehingga perlu juga mengolak kelaziman adat untuk mengepit kepala harimau?
(Sumber: Akun Facebook Dedi An)
Gelar kehormatan secara adat kepada orang lain yang dianggap berjasa mulai muncul pasca PRRI bahkan makin marak sejak zaman orde baru dalam kepemimpinan Soeharto. Dianggap pecundang oleh Soekarno dan "teror" feodalisme oleh Soeharto secara kebudayaan sangat berat dipikul oleh orang kampungku. Egaliter dan kosmopolit itu rawan runtuh. Penguasa saat itu bisa saja berbuat apapun dengan alasan UU, ancaman subversif dll. Orang kampungku sangat sadar, bahwa apapun yang terjadi, tanah ulayat dan rumah gadang tidak boleh hilang. Sebab hilangnya hal itu sudah bisa dikatakan dia tidak akan jadi orang Minang lagi. Hidupnya sudah bisa dipastikan akan menumpang di kampung orang lain. Dan lagi orang kampungku tidak punya pasukan kavaleri, marinir, kopasus dsb yg terkondisikan sebagai pasukan tempur. Kekhawatiran akan hilangnya tanah ulayat, rumah gadang dan kampung halaman itu memaksa orang kampungku berbaik2 kepada penguasa. Ada rasa rendah diri, memang. Rendah diri karena dianggap sebagai pecundang pemberontak. Padahal jasa orang kampungku untuk kemerdekaan republik ini sangat besar sekali. Bagi yang punya harga diri kuat, dadanya selalu tegak menghadapi penzaliman kebudayaan. Yang lemah, tertekur kepalanya. Di rantau, jika ada yang tertekur kepalanya, sangat mudah diketahui. Lihat saja nama anaknya. Jika kuat unsur kejawaan dalam nama itu, pertanda itulah orang kampungku yang tertekur. Dan ada juga yang mengaku dari suku lain jika ada yang menanyakan.
Kepatuhan terhadap penguasa berjalan terus. Berbaik-baik kepada penguasa tidak pernah berhenti. Menukar nama kampung yang khas etnik dengan bahasa indonesiapun dilakukan. Biar penguasa gampang membacanya, alasannya. Memberi gelar adat yang berjudul "gelar kehormatan" itu sering ditemui. Alasannya itu bukan gelar "sako", tapi "gelar sangsako". Entah kapan pula istilah sangsako ini munculnya.
Di era reformasi, banyak yang mengharapkan akan terjadi perubahan. Yang tertekur ini harus tegak kembali. Maruah orang kampungku harus tegak lagi seperti zaman Agus Salim, Hatta, M Yamin, Tan Malaka dll waktu muda dahulu. Begitu tekadnya. Dengan otonomi daerah kenapa tidak? Begitu harapannya. Berbaik2 kepada penguasa mulai pudar. Kritis, egaliter dan kosmopolitnya mulai bangkit. Kebebasan menentukan pilihan dan kebijakan sendiri mulai dirasakan. Itu terbangun terus mulai sejak Gus Dur berkuasa sampai SBY. Sayangnya, mulai di pertengahan kekuasaan SBY, keangkuhan partai politik kembali muncul. Orang kampungku yang hebat2 karirnya sudah mulai ditangkapi karena tuduhan korupsi. Di zaman Jokowi ini malah bertirit2 ditangkapi. Ada juga yang berpikir kejadian ini dusebab balas dendam politik karena orang kampungku hampir 80% memilih Prabowo waktu pemilu 3 tahun lalu.
Bagi sebagian orang kampungku, boleh jadi beranggapan berbaik2 itu harus digalakkan lagi. Beberapa bulan lalu, IAIN akan memberikan gelar doktor honoris causa kepada Presiden Jokowi. Akhirnya gagal karena cukup vokal suara menentangnya, terutama dari kalangan ulama. Lalu, baru2 ini kepada Kapolri Tito Karnavian dapat gelar kehormatan melalui jalur adat suku Sikumbang di sebuah nagari. Sebuah gelar yang diberikan oleh sebuah kaum dari sangat banyak kaum dan dari sebuah nagari dari lebih 500 nagari. Namun karena gemanya kuat dan banyak di dukung oleh pemerintah daerah, organisasi adat di ranah dan juga rantau, seolah2 gelar itu menjadi gelar dari orang kampungku secara keseluruhan. Walaupun demikian, ciri egaliter dan kosmopolit masih saja muncul. Hal ini terlihat dari tidak sedikit pula yang menentangnya. Tapi begitulah orang kampungku. Jika ada peristiwa tak patut dilakukan telah terjadi, tidak ada niat unruk berseteru. Bagaimanapun diantara orang kampungku adalah orang badunsanak.
Yang mengganggu saya adalah akankah orang kampungku ini tidak bisa terbebas dari trauma dianggap pecundang pemberontak sehingga perlu juga mengolak kelaziman adat untuk mengepit kepala harimau?
(Sumber: Akun Facebook Dedi An)
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »