Jejak Minangkabau di Batoe Bahra: Dari Kerajaan Batak hingga Pemerintahan Kolonial

Jejak Minangkabau di Batoe Bahra: Dari Kerajaan Batak hingga Pemerintahan Kolonial
Gambar sebagai ilustrasi: rekayasa Al. 
PENGANTAR

Tulisan ini disusun berdasarkan dua sumber utama kolonial ditambah sumber lainya terkait keberadaan dan penamaan Batoe Bahra / Batoe Bara yang saling melengkapi dalam menggambarkan proses terbentuknya wilayah Batoe Bahra di pantai timur Sumatera (Batu Bara, Sumatera Utara)

Sumber pertama berasal dari “Bijdrage tot de kennis van de Afdeeling Asahan, 1926”, yang menelusuri dimensi historis jauh ke belakang—mulai dari pengaruh Atjeh, imigrasi Minangkabau, hubungan politik dengan Siak dan Asahan, hingga integrasi Batoe Bahra ke dalam kekuasaan kolonial Belanda.

Sumber kedua adalah karya “Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust, 1919”, yang memberikan gambaran administratif dan etnografis mengenai pembentukan subdivisi Batoe Bahra pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Di dalamnya terdapat catatan terperinci tentang pembagian wilayah, sistem soekoe menurut adat Minangkabau, serta perjanjian-perjanjian antara pemerintah kolonial dan para kepala daerah pada akhir abad ke-19.

Dengan menggabungkan kedua sumber ini secara integral, tanpa perubahan, penambahan, atau penghilangan satu kalimat pun dari teks aslinya, artikel ini berusaha menghadirkan gambaran yang utuh mengenai perjalanan sejarah Batoe Bahra:

dari masa kerajaan-kerajaan Batak dan pengaruh Atjeh, masuknya koloni Minangkabau dari Siak, pembentukan federasi lima negeri, hingga proses administratif kolonial yang mengubahnya menjadi subdivisi resmi di bawah pemerintahan Hindia Belanda.

Gabungan dua perspektif ini — antara narasi sejarah (Schadee) dan catatan administratif (Hamerster) — memberikan kita potret menyeluruh tentang bagaimana jejak budaya dan politik Minangkabau tertanam dalam pembentukan identitas dan struktur sosial Batoe Bahra yang kita kenal hari ini.

#Bag. I

๐—ช๐—ถ๐—น๐—ฎ๐˜†๐—ฎ๐—ต ๐—•๐—ฎ๐˜๐—ผ๐—ฒ ๐—•๐—ฎ๐—ต๐—ฟ๐—ฎ / ๐—•๐—ฎ๐˜๐—ผ๐—ฒ ๐—•๐—ฎ๐—ฟ๐—ฎ  ๐˜๐—ฒ๐—ฟ๐—ฏ๐—ฎ๐—ด๐—ถ ๐—บ๐—ฒ๐—ป๐—ท๐—ฎ๐—ฑ๐—ถ ๐—•๐—ฎ๐˜๐—ผ๐—ฒ ๐—•๐—ฎ๐—ฟ๐—ฎ ๐—ž๐—ฎ๐—ป๐—ฎ๐—ป ๐—ฑ๐—ฎ๐—ป ๐—•๐—ฎ๐˜๐—ผ๐—ฒ ๐—•๐—ฎ๐—ฟ๐—ฎ ๐—ž๐—ถ๐—ฟ๐—ถ ๐—ฏ๐—ฒ๐—ฟ๐—ฑ๐—ฎ๐˜€๐—ฎ๐—ฟ๐—ธ๐—ฎ๐—ป ๐—ฎ๐—น๐—ถ๐—ฟ๐—ฎ๐—ป ๐—ฑ๐˜‚๐—ฎ ๐˜€๐˜‚๐—ป๐—ด๐—ฎ๐—ถ ๐˜†๐—ฎ๐—ป๐—ด ๐—ธ๐—ฒ๐—ฑ๐˜‚๐—ฎ๐—ป๐˜†๐—ฎ ๐—ฏ๐—ฒ๐—ฟ๐—ต๐˜‚๐—น๐˜‚ ๐—ฑ๐—ถ ๐˜๐—ฎ๐—ป๐—ฎ๐—ต ๐—•๐—ฎ๐˜๐—ฎ๐—ธ.

๐—ž๐—ผ๐—ป๐—ผ๐—ป, ๐—ป๐—ฎ๐—บ๐—ฎ ๐—•๐—ฎ๐˜๐—ผ๐—ฒ ๐—•๐—ฎ๐—ต๐—ฟ๐—ฎ / ๐—•๐—ฎ๐˜๐—ผ๐—ฒ ๐—•๐—ฎ๐—ฟ๐—ฎ ๐—ฑ๐—ถ๐—ฎ๐—บ๐—ฏ๐—ถ๐—น ๐—ฑ๐—ฎ๐—ฟ๐—ถ ๐—ป๐—ฎ๐—บ๐—ฎ ๐˜€๐—ฒ๐—ฏ๐˜‚๐—ฎ๐—ต ๐—•๐—ฎ๐˜๐˜‚ ๐˜†๐—ฎ๐—ป๐—ด ๐—ฏ๐—ฒ๐—ฟ๐˜‚๐—ฏ๐—ฎ๐—ต ๐˜„๐—ฎ๐—ฟ๐—ป๐—ฎ ๐—บ๐—ฒ๐—ป๐—ท๐—ฎ๐—ฑ๐—ถ ๐—ฎ๐—ฏ๐˜‚-๐—ฎ๐—ฏ๐˜‚ ๐—ฝ๐—ฎ๐—ฑ๐—ฎ ๐˜€๐—ถ๐—ฎ๐—ป๐—ด ๐—ต๐—ฎ๐—ฟ๐—ถ ๐—ฑ๐—ฎ๐—ป ๐—บ๐—ฒ๐—ฟ๐—ฎ๐—ต ๐—บ๐—ฒ๐—ป๐˜†๐—ฎ๐—น๐—ฎ ๐—ฝ๐—ฎ๐—ฑ๐—ฎ ๐—บ๐—ฎ๐—น๐—ฎ๐—บ ๐—ต๐—ฎ๐—ฟ๐—ถ, ๐—ฑ๐—ฎ๐—ป ๐—ฑ๐˜‚๐—น๐˜‚๐—ป๐˜†๐—ฎ ๐—ฑ๐—ถ๐˜๐—ฒ๐—บ๐˜‚๐—ธ๐—ฎ๐—ป ๐—ฑ๐—ถ ๐—Ÿ๐—ถ๐—บ๐—ฎ ๐—ฃ๐—ผ๐—ฒ๐—น๐—ผ๐—ฒ๐—ต.

Dari catatan tahun 1884, Batoe Bahra adalah distrik yang padat penduduk di pesisir timur laut Sumatra. Suku Batta, yang mendiami pedalaman, dan suku Melayu, yang tinggal di pesisir, berjumlah 5.000 jiwa. Mereka berada di bawah seorang kepala suku yang disebut "Bendhara", yang selanjutnya tunduk kepada Raja Siak. 

Padi, rotan, dan gula dibudidayakan di sana. Terdapat banyak gajah, kuda, dan kambing; ikan juga melimpah. Wilayah ini merupakan rumah bagi 600 perahu dagang, yang berlayar ke Puloo-Pinang dan Malaka. Banyak kain sutra ditenun di sana. Sebuah sungai dan sebuah desa di sana menyandang nama yang sama.

Jauh sebelum itu, tepatnya pada abad kelima belas dan paruh pertama abad keenam belas, wilayah ini merupakan bagian dari sebuah kerajaan Batak yang besar dan berkuasa, yang dikenal dengan nama Nagoer.

Lambat laun, beberapa negara bawahan (vazalstaatjes) dari kerajaan itu menjadi lebih mandiri dan terlepas dari kekuasaan Nagoer.

Wilayah Batoe Bahra yang ada sekarang pada asalnya termasuk ke dalam tiga kerajaan Batak Simeloengoen yang saling merdeka, yaitu Tanah Djawa, Siantar, dan Panei, yang masing-masing meluas hingga ke pesisir laut.

Wilayah Tanah Djawa berbatasan di antara Sungai Silau Laut dan Gamboes; Siantar terletak di antara Sungai Gamboes dan Pagoerawan; sedangkan Panei berada di antara Sungai Pagoerawan dan Sungai Padang.

Pada paruh kedua abad keenam belas, pengaruh Atjeh mulai masuk dan berkembang, hingga kerajaan Nagoer beserta Gasip (yakni Siak kuno yang berbatasan dengannya) dihancurkan.

Orang orang Atjeh yang melakukan penjarahan (maraudeerende benden) menjadikan daerah pesisir sepi penduduk, kemudian mendirikan permukiman-permukiman baru, misalnya di sekitar kampung Deras dan di Lima Poeloeh, tempat di mana keturunan Atjeh masih dapat dijumpai hingga kini.

Namun, imigrasi Minangkabau jauh lebih penting pengaruhnya, karena sebagian besar berhasil mengusir orang-orang Atjeh.

Pengaruh Atjeh masih terasa di Batoe Bahra hingga akhir abad ke-17. Pada awal abad ke-18, Batoe Bahra telah menjadi wilayah taklukan (onderhoorigheid) dari Siak.

Orang-orang Melayu yang berasal dari Siak dan berketurunan Minangkabau lambat laun menetap di muara Sungai Batoe Bahra dan Sungai Gamboes. Seiring waktu, permukiman-permukiman tersebut meluas ke arah hulu sungai, menempati daerah di sepanjang tepi sungai, mengusir atau menggusur penduduk Atjeh dan Batak, dan tak lama kemudian terbentuklah tanah-tanah (landschappen) Batoe Bahra.

Karena para pendatang itu berasal dari empat suku (soekoe) di Siak, maka empat suku tersebut juga muncul sebagai empat wilayah kecil di Batoe Bahra. Keempat wilayah itu ialah Tanah Datar, Lima Poeloeh, Pasisir, dan Lima Laras, yang bersatu membentuk suatu federasi.

Sekitar seratus lima puluh tahun yang lalu, didirikanlah kampung Boga, yang terletak dekat muara Sungai Batoe Bahra. Pendiri kampung ini berasal dari soekoe Tanah Datar, sebab itu Boga dan Tanah Datar sejak awal selalu memiliki hubungan yang erat. Kemudian, pemerintah Belanda menjadikan Boga sebagai wilayah yang berdiri sendiri dan memasukkannya ke dalam federasi tersebut. Hingga tahun 1884, federasi dari lima negeri kecil ini masih merupakan wilayah bawahan dari Siak.

Beberapa kali, para kepala wilayah Batoe Bahra memberikan dukungan kepada penguasa Siak dalam peperangan melawan Djohore, kepada siapa Siak pernah diserahkan sebagai tanah pinjaman (leen) oleh penguasa Minangkabau.

Namun karena anggota federasi Batoe Bahra itu terus saling berperang satu sama lain, sementara Siak perlahan kehilangan banyak kekuasaan dan pengaruhnya, maka penguasa Asahan — yang secara nominal juga merupakan vasal dari Sultan Siak — memanfaatkan situasi itu untuk memperluas pengaruhnya dalam federasi, sehingga tanah-tanah Batoe Bahra akhirnya jatuh sepenuhnya di bawah hegemoni Asahan.

Akibatnya, pertikaian internal sempat berhenti untuk sementara waktu, tetapi kemudian meletus kembali dengan kekuatan yang lebih besar daripada sebelumnya.

Karena kampung Boga berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Asahan, maka kepala kampung saat itu, Datoe Radja Indra Moeda, ditangkap oleh Radja Asahan bersama seluruh keluarganya, dibawa ke Asahan, dan diinternir di sana. Setelah membayar denda sebesar 4000 mata uang Spanyol (spaansche matten), kepala tersebut diizinkan kembali ke wilayahnya bersama keluarganya. Namun sejak itu, ia menjadi musuh abadi Asahan, sesuatu yang kemudian ia buktikan pada tahun 1865.

Baru saja kembali ke Boga, ia kembali diperangi oleh Pasisir dan Lima Laras. Meskipun mendapat bantuan dari Tanah Datar dan seorang kerabatnya, Datoe van Lima Poeloeh, ia begitu terdesak hingga memutuskan untuk pergi ke Riouw (Riau) guna meminta bantuan kepada Pemerintah Hindia Belanda.

Karena Sultan Siak, yang terikat perjanjian dengan Pemerintah berdasarkan Traktat tahun 1858, juga meminta bantuan tersebut, maka permintaan itu dikabulkan. Sebuah kapal fregat tiga tiang, disertai sebuah kapal kecil jenis advies-boot, dikirim ke Batoe Bahra.

Melalui Residen Riouw E. Netscher, yang diberi wewenang memimpin urusan politik, perselisihan internal itu berhasil diakhiri, dan para Datoe diperintahkan untuk mematuhi secara ketat kekuasaan tertinggi Siak. Dalam kesempatan itu, Radja Indra Moeda menerima sebuah dokumen resmi yang diserahkan oleh sang Residen di atas kapal kerajaan Z.M. Haarlemmermeer pada 12 September 1862, yang berisi seruan agar semua pihak menahan diri dari tindakan kekerasan terhadap Radja Indra Moeda. Pada waktu itu, Pemerintah belum secara langsung campur tangan dalam urusan pemerintahan di Batoe Bahra.

Baru tiga tahun kemudian, akibat sikap provokatif Asahan, Pemerintah memutuskan untuk mengirimkan pasukan ekspedisi ke wilayah tersebut.

Bersamaan dengan tindakan di Asahan, pada tahun 1865 juga ditempatkan seorang Kontrolir (pejabat pengawas) di Batoe Bahra. Namun, Kontrolir pertama itu segera meninggal di Boga karena malaria.

Sejak tahun 1858, Pemerintah berkewajiban menegakkan supremasi Siak atas daerah-daerah taklukan (onderhoorigheden). Namun, sementara Pemerintah menghendaki pengakuan terhadap supremasi Belanda, para penguasa lokal menolak untuk mengakui kekuasaan Siak.

Karena Sultan Siak ingin meneguhkan kekuasaannya atas daerah-daerah taklukan itu terutama demi pendapatan yang diharapkannya, Pemerintah — yang juga, atas desakan dari daerah-daerah taklukan sendiri, terutama Deli, Serdang, dan Langkat, berkeinginan mengakhiri hubungan yang tidak seimbang tersebut — tidak mengalami kesulitan berarti untuk membuat Sultan, melalui kontrak tanggal 23 Juni 1884, menyerahkan semua haknya atas daerah-daerah taklukan itu dengan imbalan ganti rugi tahunan sebesar 40.000 gulden serta penghapusan utang lebih dari 50.000 gulden.

Dalam kontrak itu juga ditegaskan bahwa Sultan Siak tetap memiliki kedudukan lebih tinggi (rang) dibandingkan dengan para penguasa daerah taklukan tersebut.

Namun pada waktu itu, tanah-tanah (landschappen) Batoe Bahra belum seluas seperti sekarang. Baru kemudian tanah-tanah Tandjoeng, Si Parรฉ-Parรฉ, dan Pagoerawan dimasukkan ke dalam onderafdeeling (subbagian administratif) Batoe Bahra.

Tandjoeng didiami oleh penduduk yang berasal dari Tanah Datar, Pagoerawan oleh penduduk dari Pasisir, sedangkan Si Parรฉ-Parรฉ semula dihuni oleh penduduk dari Soengal (Deli), yaitu oleh suatu koloni yang dipimpin oleh Orang Kaja Mahroem.

Tanah kecil Tandjoeng Kassau mengakui kekuasaan Belanda pada tahun 1888. Wilayah ini merupakan sisa dari sebuah kerajaan Batak kecil bernama Tandjoeng Solon, yang melalui perkawinan antarkepala negeri, memperoleh tanah dari Panei dan Siantar.

Pada tahun 1920, dilakukan penggabungan beberapa tanah (landschappen), sehingga kini wilayah-wilayah Batoe Bahra terdiri dari lima daerah, yaitu:

1. Tanah Datar,
2. Lima Poeloeh,
3. Pasisir,
4. Soekoe Doea (hasil penggabungan Boga dan Lima Laras), dan
5. Indrapoera (hasil penggabungan Tandjoeng, Parรฉ-Parรฉ, Tandjoeng Kassau, dan Pagoerawan).

#Bag. lI

Subdivisi Batoe-Bara seluruhnya terdiri dari dataran rendah dengan perbukitan landai di barat daya, membentang hingga perbatasan Simeloengoen. Batas antara dataran rendah dan perbukitan membentang kira-kira dari lahan pertanian Tandjong Kassau, melalui Indrapoera, Lima Poeloeh, hingga lahan pertanian Soengei Bedjangkar.

Di Batoe Bahra, penduduk pada masa lalu terbagi ke dalam soekoe-soekoe menurut adat Minangkabau, di mana para anggotanya tinggal berdekatan satu sama lain. Setelah adat kamanakan hilang, para kepala soekoe menetap di berbagai tempat sebagai kepala daerah setempat, namun mereka belum memiliki wilayah yang pasti.

Pada tahun 1882 diadakan perubahan dalam hal ini, dengan menetapkan batas-batas wilayah bagi masing-masing datoe. Penetapan batas wilayah ini tidak serta-merta menyebabkan perpecahan konfederasi, sebab satu bandar telah didirikan di muara sungai Batoe Bahra untuk semua kepentingan, dan semua hak tetap dipertahankan hingga dilakukan pembagian lebih lanjut di antara para kepala.

Pada tahun 1884 hal ini berakhir, ketika pada tanggal 31 Mei pemerintah mengadakan kontrak dengan para kepala tersebut untuk pengambilalihan pajak dan monopoli. Kepada masing-masing dari lima datoe di Tanah Datar, Bogah, Lima Poeloeh, Lima Laras dan Pasisir diberikan kompensasi sebesar f 2000 per tahun sebagai ganti atas pelepasan hak-hak mereka, dan selain itu f 875 kepada datoe dari Lima Poeloeh sebagai ganti jarak dari hak tol* yang sebelumnya dipungut di muara sungai Gamboes dan di Telok Piai, serta f 750 kepada bandar dari Batoe Bahra atas kehilangan bagiannya dalam hak tol di sungai Batoe Bahra. Dengan demikian, total kompensasi yang diberikan berjumlah f 11.625 per tahun.

Pada tanggal 16 Juli 1889, 11 November 1890, dan 25 Oktober 1898, diadakan perjanjian dengan negeri-negeri Batoe Bahra yang isinya serupa dengan perjanjian yang kira-kira pada waktu yang sama dibuat dengan Kota Pinang.

Di tiga Apanase* Siak sebelumnya: Tandjoeng, Si Parรฉ, dan Pagoerawan, pengambilalihan pajak telah dilakukan pada waktu Siak melepaskan hak-haknya atas negeri-negeri tersebut. Bersamaan dengan lima negeri Batoe Bara yang disebut pertama, perjanjian juga dibuat oleh negeri-negeri itu seperti yang disepakati pada tahun 1889, 1890, dan 1898 dengan Kota Pinang. Hanya perjanjian dengan Pagoerawan yang serupa dengan perjanjian terakhir itu dibuat pada tanggal berbeda, yakni 1 November 1898.

Selain lima negeri Melayu atau sebagian besar Melayu yang telah disebutkan di atas, ke dalam afdeling Batoe Bara juga termasuk negeri-negeri Batak Tanah Djawa, Siantar, dan Tandjong Kasau, yang pada tahun 1888 mengakui kedaulatan Belanda.

Peristiwa politik yang penting di negeri-negeri Batoe Bahra tidak banyak untuk disebutkan. Seiring bertambahnya pengaruh pemerintahan Kolonial, keadaan menjadi lebih baik, yang menyebabkan kebudayaan penduduk setempat, terutama pertanian padi dan penanaman kelapa, berkembang dengan baik, sementara pelabuhan Tandjong Tiram dekat Laboean Roekoe memperoleh kemajuan sebagai tempat perdagangan. Perikanan, terutama penangkapan dan pengolahan udang, juga patut disebutkan.

Pada tahun 1894, kepala pemerintahan Pagoerawan, Datoe Setia Wangsa, diberhentikan karena terlibat dalam pembunuhan dan dibuang selama lima tahun ke Bengkalis. Ia digantikan oleh putra sulungnya, Datoe Setija Maharadja Lela. Pada tahun 1900, raja Tandjong Kasau digantikan oleh adik laki-lakinya, Radja Maharoedin.

Dari berbagai raja di negeri-negeri Batoe Bahra, hanya dalam beberapa kasus nama mereka disebut, namun biasanya hanya gelar (galar) yang mereka sandanglah yang dicatat.

Mereka pada tahun 1900 adalah:
- Tanah Datar — Datoe Sri Bidji di Radja,
- Bogah — Radja Indra Moeda,
- Lima Poeloeh — Datoe Sri Maharadja,
- Lima Laras — Datoe Maharadja Sri Indra,
- Pasisir — Datoe Semoewangsa,
- Tandjoeng — Datoe Indra Setija,
- Si Parรฉ Parรฉ — Datoe Soetan Pahalawan,
- Pagoerawan — Datoe Setija Maharadja Lela.

Catatan. tambahan 
Pusat-pusat Perkebunan.

Sebagai pusat-pusat perkebunan yang cukup penting dapat disebutkan: di onderafdeeling (subdistrik) Batoe-Bahra:

1. Indrapoera dan Parรฉ-Parรฉ yang berdekatan, menjadi pusat bagi perkebunan Pematang Djering, Si Parรฉ-Parรฉ, Sungai Barohol, Sungai Simoedjoer, Tanjung Kasau, Tanjung Koeba, Tanjung Merah, Tanah Gamboes, Laut Tador, Tanah Hitam Hilir, dan Tanah Hitam Hulu.

2. Lima Poeloeh, sebagai pusat bagi perkebunan Lima Poeloeh, Limau Manis, dan Kuala Goenoeng, di onderafdeeling Batoe-Bahra serta beberapa perkebunan di onderafdeeling Simeloengoen.

3. Stasiun Sungai Bedjangkar, sebagai pusat bagi perkebunan Lidah Tanah, Petatel, Tanah Datar, Sungai Baleh, Sungai Sikasim, dan Sungai Bedjangkar.

***************

- Hak Tol : Hak yang diberikan kepada seorang raja, kepala negeri, atau penguasa lokal untuk menarik pungutan dari kapal, pedagang, atau pelintas yang menggunakan jalan, sungai, atau pelabuhan di wilayahnya
- Apanase (Apanage) : Tanah atau wilayah yang diberikan kepada seorang bangsawan, pangeran, atau pejabat sebagai sumber penghidupan — bukan untuk dimiliki secara pribadi, tetapi sebagai balas jasa atau tanda kehormatan atas jabatan dan kesetiaan kepada raja atau sultan. (*) 

Sumber: 
- Geรฏllustreerde encyclopaedie, 1884.
- “Bijdrage tot de kennis van de Afdeeling Asahan, 1926”
- “Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust, 1919”
Penulis : Marjafri, Founder dan Ketua Komunitas Anak Nagari Sawahlunto

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »