| Data KAI menunjukkan tren peningkatan kecelakaan dalam lima tahun terakhir. Tahun 2020 tercatat 269 insiden, lalu naik menjadi 277 (2021), 288 (2022), 328 (2023), dan 337 kejadian pada 2024. |
Di balik peristiwa itu, tersimpan persoalan klasik yang belum tuntas diselesaikan yakni, minimnya pengawasan dan lemahnya sistem keselamatan di jalur pelintasan langsung (JPL) kereta api di Indonesia.
Presiden Prabowo Subianto pun angkat bicara, ia menegaskan peningkatan keamanan di pelintasan sebidang harus menjadi prioritas agar tidak lagi terjadi kecelakaan yang merenggut korban jiwa.
“Pintu pelintasan perlu segera dibangun di titik-titik berisiko. Keselamatan rakyat adalah yang utama, jangan sampai ada lagi kecelakaan karena kelalaian,” tegasnya.
Berdasarkan data terbaru PT Kereta Api Indonesia (KAI) tahun 2025 seperti dilansir laman Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) dikutip Beritasatu.com pada Rabu (5/11/2025), tercatat ada 3.896 pelintasan sebidang di seluruh jalur aktif.
Dari jumlah itu, 2.803 merupakan pelintasan resmi dan 1.093 pelintasan liar. Namun yang lebih mengkhawatirkan, sekitar 1.879 JPL tidak terjaga, terdiri atas 971 jalur resmi dan 908 jalur liar.
Sementara 2.017 perlintasan lainnya dijaga oleh berbagai pihak, mulai dari PT KAI, dinas perhubungan daerah, hingga swadaya masyarakat.
Kondisi tersebut memperlihatkan betapa besar risiko kecelakaan di lintasan yang minim pengawasan. Sepanjang lima tahun terakhir, KAI mencatat 1.499 kecelakaan di jalur sebidang, dengan 81% di antaranya terjadi di perlintasan tanpa penjaga.
Kecelakaan yang Terus Meningkat
Data KAI menunjukkan tren peningkatan kecelakaan dalam lima tahun terakhir. Tahun 2020 tercatat 269 insiden, lalu naik menjadi 277 (2021), 288 (2022), 328 (2023), dan 337 kejadian pada 2024. Sepanjang periode itu, 1.226 orang menjadi korban yakni terdiri atas 450 meninggal dunia, 318 luka berat, dan 458 luka ringan.
Jenis kendaraan yang paling banyak terlibat adalah sepeda motor (55%), diikuti kendaraan roda empat dan lebih besar (45%). Bahkan, jumlah lokomotif yang tertemper kendaraan terus meningkat, dari 490 unit pada 2020 menjadi 756 unit pada 2024.
“Ini angka yang memprihatinkan. Setiap bulan rata-rata ada dua lusin orang menjadi korban di perlintasan sebidang,” ujar pengamat transportasi publik Djoko Setijowarno dilansir dari laman MTI dikutip Beritasatu.com pada Rabu (5/11/2025).
Djoko menjelaskan, pelintasan sebidang adalah titik pertemuan antara jalur kereta api dan jalan raya pada elevasi yang sama. Meski tampak sederhana, lokasi ini sangat berisiko karena melibatkan interaksi langsung antara moda cepat dan kendaraan umum.
“Biasanya korban adalah pengendara yang belum mengenal medan, atau yang terburu-buru. Dengan kecepatan kereta sekarang bisa mencapai 120 kilometer per jam, ruang untuk bereaksi hampir tak ada,” kata Djoko.
Ia menilai, pemerintah perlu memperkuat keberadaan petugas jaga lintasan (PJL) yang bertugas menjaga keamanan di titik-titik rawan.
“Kementerian Dalam Negeri bisa membantu melalui mekanisme Dana Desa agar desa yang dilalui jalur kereta bisa membiayai penjaga perlintasan. Ini lebih realistis dibanding menunggu proyek besar dari pusat,” tambahnya.
Tantangan Sistemik dan Jalan Keluar
Menurut Djoko, persoalan keselamatan pelintasan bukan hanya soal palang pintu atau sirine. Ini adalah masalah tata kelola yang menuntut sinergi lintas lembaga.
“Idealnya, pemerintah pusat dan daerah menutup perlintasan rawan dan menggantinya dengan flyover atau underpass. Tapi sementara itu belum bisa dilakukan, perkuat dulu sistem penjagaan,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan masyarakat agar tidak mengabaikan rambu keselamatan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian dan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas, pengendara wajib berhenti saat sinyal berbunyi atau palang pintu ditutup. Pelanggaran terhadap aturan ini sering kali menjadi faktor utama kecelakaan.
“Setiap kali palang pintu mulai turun dan sirine berbunyi, seharusnya itu sinyal untuk berhenti, bukan malah diterobos. Karena satu detik saja bisa memutus hidup seseorang,” tegasnya.
KAI sendiri, lanjut Djoko terus melakukan upaya pengamanan dengan menambah jumlah petugas dan memprioritaskan pembangunan jalur tidak sebidang di titik rawan. Namun tanpa kesadaran pengendara, semua sistem itu bisa menjadi sia-sia.
“Kereta tak bisa berhenti mendadak, dan masinis hanya bisa berdoa ketika melihat kendaraan di depan. Karena itu, keselamatan di perlintasan bukan hanya tanggung jawab KAI, tapi juga seluruh pengguna jalan,” pungkas Djoko. (*)
Sumber: BeritaSatu. com
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »