| Kawasan Batu Busuk Kecamatan Pauh Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat atau Sumbar termasuk daerah terparah terkena banjir bandang di Ranah Bingkuang. Terlihat warga berjalan sambil meneteng kantong asoi plastik atau kresek. |
Bencana alam di Sumatra hampir selalu bergerak dengan pola yang sama. Hujan turun berhari-hari, sungai meluap, lereng bukit runtuh, dan ribuan warga terpaksa mengungsi. Namun ada satu babak lain yang tak kalah menentukan—dan nyaris selalu terlambat—yakni logistik kemanusiaan. Bantuan memang datang, tetapi sering kali setelah air surut, setelah lumpur mengering, dan setelah warga belajar bertahan dengan apa yang tersisa.
Di Aceh Tenggara, awal tahun lalu, banjir bandang memutus akses jalan ke sejumlah desa di sepanjang Daerah Aliran Sungai Lawe Alas. Selama dua hari pertama, warga mengandalkan persediaan dapur seadanya dan bantuan antar-tetangga. Beras dan mi instan baru tiba ketika genangan mulai menyusut. “Yang paling dibutuhkan itu air bersih dan obat-obatan, tapi datang belakangan,” kata seorang relawan lokal yang sejak hari pertama membantu evakuasi.
Pola serupa berulang di Sumatra Utara. Saat longsor menutup jalan lintas di kawasan Humbang Hasundutan, distribusi logistik terhambat berjam-jam, bahkan berhari-hari. Bantuan menumpuk di pos kecamatan, sementara desa-desa di balik perbukitan terisolasi. Warga di pengungsian bertahan dengan ubi rebus dan sayur dari ladang sekitar. Negara, sekali lagi, datang menyusul.
Sistem yang Baru Bergerak Setelah Kejadian
Dalam hampir semua bencana di Sumatra, fase paling krusial justru terjadi pada 72 jam pertama. Pada periode inilah pangan, air bersih, obat-obatan, dan tenda darurat seharusnya tiba. Kenyataannya, sistem logistik baru bergerak setelah status tanggap darurat ditetapkan dan surat-surat administrasi beredar.
Di Sumatra Barat, banjir bandang yang menerjang kawasan Pesisir Selatan beberapa waktu lalu memperlihatkan betapa lambannya sistem ini. Relawan lokal sudah membuka dapur umum sejak malam pertama, memanfaatkan stok pribadi dan sumbangan warga. Bantuan resmi datang belakangan—lengkap, tetapi terlambat untuk fase paling kritis.
Prosedur administrasi, koordinasi lintas lembaga, dan pelaporan berjenjang memakan waktu. Sementara itu, kebutuhan di lapangan tak mengenal jam kerja. Logistik kemanusiaan seharusnya mengalir seperti darah dalam tubuh. Yang terjadi justru sebaliknya: tersumbat di simpul-simpul birokrasi.
Medan Sulit Bukan Alasan Tunggal
Bentang geografis Sumatra kerap dijadikan dalih. Pegunungan Bukit Barisan, sungai-sungai besar, dan jarak antardaerah memang menantang. Namun laporan lapangan menunjukkan, hambatan utama bukan semata alam, melainkan lemahnya perencanaan.
Di Aceh Barat Daya, misalnya, jalur utama terputus akibat longsor. Tak ada rencana distribusi alternatif yang siap dijalankan. Perahu karet dan kendaraan off-road baru dikerahkan setelah permintaan berulang. Akibatnya, bantuan menumpuk di satu titik, sementara wilayah lain nyaris tanpa suplai.
Distribusi pun berjalan timpang. Di satu posko, beras dan mi instan berlebih. Di posko lain, air bersih dan selimut justru langka. Logistik hadir, tetapi kehilangan presisi.
Data yang Tak Pernah Sinkron
Masalah klasik lain adalah data kebutuhan yang tak pernah benar-benar mutakhir. Informasi dari lapangan bergerak cepat, tetapi sistem pelaporan lamban. Akibatnya, bantuan yang dikirim sering tak sesuai kebutuhan paling mendesak.
Di Padang Pariaman, Sumatra Barat, pascabanjir, bantuan pakaian menumpuk hingga tak tertampung. Sementara itu, layanan kesehatan dasar dan makanan siap saji untuk bayi serta lansia justru kurang. Logistik hadir dalam jumlah besar, tetapi meleset sasaran.
Data yang tak sinkron membuat bantuan kehilangan makna kemanusiaannya. Yang dibutuhkan bukan sekadar banyak, melainkan tepat.
Koordinasi yang Terfragmentasi
Setiap bencana memobilisasi banyak aktor: pemerintah pusat dan daerah, relawan lokal, organisasi kemanusiaan, hingga donatur individu. Sayangnya, energi besar ini sering bergerak tanpa orkestrasi.
Di Sumatra Utara, relawan mahasiswa dan komunitas gereja menjadi pihak pertama yang menjangkau desa-desa terdampak. Mereka mengenal medan dan kebutuhan warga. Namun peran mereka kerap berada di luar sistem resmi. Bantuan negara datang dengan data sendiri, relawan bergerak dengan data sendiri. Tumpang tindih tak terhindarkan.
Akibatnya, satu lokasi kelebihan bantuan, sementara lokasi lain luput dari perhatian.
Gudang yang Ada, Kesiapan yang Minim
Gudang logistik memang tersedia di berbagai daerah. Namun banyak yang berfungsi pasif—sekadar ruang penyimpanan, bukan pusat kendali distribusi darurat. Stok tak selalu diperbarui, masa kedaluwarsa luput dari pengawasan, dan mekanisme pelepasan bantuan kerap menunggu instruksi formal.
Di Aceh, sejumlah gudang berada jauh dari titik rawan bencana. Saat bencana terjadi, waktu habis di perjalanan. Gudang ada, tetapi kesiapan minim.
Solidaritas Warga Menutup Kekosongan Negara
Di tengah rapuhnya sistem, masyarakat hampir selalu menjadi penopang utama. Warga membuka dapur darurat, berbagi makanan, dan menampung pengungsi. Solidaritas sosial bekerja cepat—jauh sebelum bantuan resmi tiba.
Namun solidaritas tak bisa menggantikan sistem. Ketika bencana berlangsung lama, kemampuan warga menipis. Pada titik inilah negara seharusnya hadir dengan logistik yang sigap dan terencana. Sayangnya, bantuan sering tiba ketika fase darurat mulai berlalu—saat warga justru membutuhkan dukungan pemulihan.
Pelajaran yang Terus Berulang
Setiap bencana melahirkan rekomendasi: perbaikan data, penguatan koordinasi, dan kesiapsiagaan logistik. Namun pelajaran itu jarang menjelma menjadi perubahan sistemik.
Di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, cerita yang sama terus berulang.
Tanpa reformasi menyeluruh—gudang berbasis risiko, sistem data terpadu, dan integrasi relawan lokal ke dalam rantai resmi—bantuan akan terus kalah cepat dari bencana.
Air keburu surut, longsor sudah dibersihkan, tetapi kisah tentang bantuan yang terlambat kembali menghantui.
Di Sumatra, bencana mungkin tak bisa dicegah.
Namun keterlambatan bantuan seharusnya bisa dihindari. Selama logistik kemanusiaan masih berjalan tertatih, korban akan selalu menjadi penanggung risiko terbesar.
(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »