 |
| Ketika sorot lampu kampus masih mengikuti jejak, ia melangkah ke lorong istana di Jakarta. Pada 2024, Cerint Iralloza Tasya terpilih sebagai senator mewakili Sumatera Barat lewat kursi DPD periode 2024–2029. (Foto Ilustrasi/Net) |
OLEH: Muhibbullah Azfa Manik
Ketika sorot lampu kampus masih mengikuti jejak, ia melangkah ke lorong istana di Jakarta. Pada 2024, Cerint Iralloza Tasya terpilih sebagai senator mewakili Sumatera Barat lewat kursi DPD periode 2024–2029.
Tapi di tengah tanggung jawab sebagai wakil daerah, muncul tuduhan keras: Cerint disebut menjalani dua peran sekaligus — sebagai senator di Senayan dan mahasiswa koas di rumah sakit. Dugaan inilah yang membuahkan laporan resmi dari HMI Sumbar ke BKD DPD.
Bagi sebagian orang, kombinasi itu adalah masalah kode etik dan integritas — bagai berjalan di dua kapal sekaligus. Bagi pendukungnya, ini soal hak dan ambisi: mengapa dua dunia tak bisa dirangkul dalam satu figur?
Aduan ke BKD: Tuduhan, Bukti, dan Keheningan
Dalam aduannya, HMI berargumentasi bahwa dua status tersebut — senator dan mahasiswa koas — “harus dijalani penuh waktu”, sehingga tidak kompatibel jika dilakukan bersamaan. Mereka melampirkan dua jenis bukti: posting foto di rumah sakit tempat mahasiswa koas bertugas, dan daftar mahasiswa koas yang tercatat aktif. Laporan ini disampaikan ke BKD DPD pada 5 Desember 2025. Namun sampai saat ini, Cerint belum angkat suara untuk menjelaskan tuduhan tersebut.
Apa “Rangkap Jabatan” bagi Anggota DPD?
Secara yuridis, anggota DPD memang dilarang memegang “jabatan lain sebagai pejabat negara atau pimpinan organisasi yang menerima dana APBN/APBD”. Namun, muncul pertanyaan kritis: apakah menjadi mahasiswa koas (mahasiswa profesi kedokteran) termasuk “jabatan” yang dilarang?
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Pasal 182) mensyaratkan calon anggota DPD mengundurkan diri dari jabatan publik, dan tidak menduduki posisi yang dibiayai negara atau memegang posisi rangkap yang menimbulkan konflik kepentingan. Namun, UU tersebut secara spesifik menonjolkan jabatan yang berhubungan dengan aparatur negara, BUMN, BUMD — bukan profesi akademik seperti mahasiswa koas. Artinya, secara normatif, status sebagai mahasiswa/profesi medis tidak otomatis dilarang, menciptakan ruang abu-abu hukum.
Antara Etika, Profesionalisme, dan Hak Individu
Keluhan HMI menekankan aspek etika: bagaimana mungkin seseorang menjalani pendidikan koas — sebuah program pendidikan profesi yang menuntut waktu penuh dan konsentrasi — sambil mengemban tugas sebagai senator, yang juga menuntut dedikasi penuh? Apalagi koas (profesi medis) menuntut kesiagaan, disiplin, dan tanggung jawab etis — elemen yang harus dijaga. Namun dari sisi hak individu, apakah setiap orang tidak boleh mengejar dua cita-cita sekaligus jika secara hukum tidak dilarang?
Dimensi Baru: Bayang-bayang KKN dari "Kemudahan" di Rumah Sakit
Selain aspek legal dan etika dedikasi penuh, kasus rangkap peran ini membuka dimensi kritik yang lebih serius: potensi praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Pertanyaan muncul: apakah kemudahan atau perlakuan istimewa yang diduga diberikan oleh beberapa rumah sakit atau institusi pendidikan kepada Cerint sebagai anggota DPD termasuk KKN?
Secara definisi, KKN adalah tindakan melanggar hukum demi kepentingan pribadi atau kelompok, baik melalui penyalahgunaan uang negara, persekongkolan rahasia, maupun pengutamaan relasi pribadi/kedekatan.
Potensi Korupsi dan Konflik Kepentingan: Jika Cerint menggunakan posisi atau pengaruhnya di DPD—sebagai pejabat publik yang memiliki wewenang anggaran dan legislasi—untuk mendapatkan dispensasi, keringanan tugas, atau perlakuan istimewa dalam program koas dari pihak rumah sakit atau kampus, hal ini dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang (Korupsi). Walaupun tidak melibatkan penggelapan uang, penyalahgunaan fasilitas dan diskresi yang tidak adil kepada mahasiswa lain dapat menjadi indikasi korupsi jabatan dan merugikan kualitas pendidikan profesi yang menuntut kesiagaan penuh.
Potensi Kolusi: Unsur Kolusi dapat muncul jika terjadi perjanjian tersembunyi antara pihak rumah sakit/fakultas kedokteran dan Senator. Misalnya, rumah sakit memberikan "kemudahan" koas sebagai balasan atas bantuan Senator dalam melobi anggaran APBN/APBD atau memuluskan regulasi tertentu yang menguntungkan rumah sakit. Persekongkolan semacam ini merugikan kepentingan umum karena mengganggu proses pendidikan profesi medis yang ketat dan berpotensi memengaruhi netralitas pelayanan publik.
Potensi Nepotisme: Jika perlakuan khusus yang diterima Cerint tidak diberikan kepada mahasiswa koas lain dan semata-mata didasarkan pada statusnya sebagai Pejabat Publik (Senator), maka hal ini dapat dikategorikan sebagai favoritisme/Nepotisme berbasis kedekatan posisi publik. Praktik ini mencederai prinsip keadilan, profesionalisme, dan kesetaraan di lingkungan pendidikan.
Berdasarkan potensi tersebut, jika "kemudahan" yang diberikan rumah sakit benar terjadi, hal itu berpotensi besar mengandung unsur KKN, khususnya Kolusi dan Nepotisme (Favoritisme) serta Korupsi (Penyalahgunaan Wewenang). Kemudahan ini menciptakan preseden buruk dalam dunia pendidikan profesional yang seharusnya mengedepankan disiplin, kompetensi, dan etika, bukan diskresi berbasis jabatan publik.
Dilema di Meja BKD DPD: Antar Kepastian Hukum & Moral Publik
BKD DPD sekarang berada di persimpangan. Jika mereka menolak aduan HMI dengan alasan bahwa koas bukan jabatan struktural negara, maka bisa muncul persepsi bahwa DPD abai terhadap etika dan integritas — terutama di mata publik. Sebaliknya, jika BKD menerima aduan, maka akan ada preseden baru: bahwa anggota DPD yang juga mahasiswa/profesional aktif bisa dilarang — memperluas definisi larangan rangkap jabatan.
Keputusan BKD akan sangat menentukan persepsi publik terhadap legitimasi DPD — apakah sebagai lembaga elit dengan standar etik tinggi, atau sebagai wadah kursi politik semata.
Wajah Rangkap Tanggung Jawab dalam Bingkai Demokrasi
Kasus Cerint menampilkan ketegangan antara dua wajah: hak individu dan aspirasi profesionalitas — serta ekspektasi publik terhadap pejabat. Seseorang disebut senator karena mewakili suara rakyat; sebagai koas, ia dibentuk untuk menyembuhkan dan merawat. Bila ia mampu melakukan kedua tugas dengan integritas, mungkin orang akan memaknainya sebagai contoh ideal. Tapi kalau beban ganda itu membuat salah satu tugas terganggu — baik pelayanan publik maupun pendidikan kedokteran — maka keluhan masyarakat dan kode etik bisa membayang.
Yang saat ini di depan kita bukan sekadar klaim politik, melainkan ujian serius terhadap: konsistensi regulasi dan kode etik, transparansi proses etik internal di DPD, dan batas antara hak pribadi dan pelayanan publik. BKD DPD RI tidak hanya memutuskan nasib Cerint — tapi juga memberi tanda kepada publik: seberapa jauh lembaga ini menjaga integritas, dan seberapa kuat klaim kode etik di atas hiruk-pikuk politik. (*)