 |
| Kisah ini adalah catatan kelam tentang darah, pengkhianatan, dan pusaka yang terpecah, sebagaimana dituturkan langsung oleh salah satu keturunan yang terlibat, I Gusti Putu Jilantik, dan termuat dalam penelitian De toonkunst van Bali (1924-1925). |
OLEH: I Gusti Putu Jilantik
Pengantar (Pusaka yang Terpisah)
Kisah ini adalah catatan kelam tentang darah, pengkhianatan, dan pusaka yang terpecah, sebagaimana dituturkan langsung oleh salah satu keturunan yang terlibat, I Gusti Putu Jilantik, dan termuat dalam penelitian De toonkunst van Bali (1924-1925). Berlatar belakang intrik politik Bali Utara pada abad ke-18, narasi ini mengurai nasib Gamelan Gong legendaris milik pendiri Buleleng, I Gusti Ngurah Panji Sakti, yang setiap bagiannya memiliki nama dan makna magis tersendiri: dari "Tundung Musuh" hingga "Bentar Kedaton" (Istana Terbelah).
Tragedi bermula dari perseteruan pribadi antara dua pewaris utama, I Gusti Ngurah Gede Panji dan I Gusti Ngurah Jilantik, yang berujung pada perang saudara di desa Beratan. Kekalahan dan intervensi kekuatan luar Karangasem tidak hanya meruntuhkan tahta utama Buleleng, tetapi juga menjadikan Gamelan Gong tersebut harta rampasan perang. Dari sinilah, pusaka yang semula menyatu sebagai simbol kedaulatan, tersebar menjadi fragmen-fragmen yang mengikuti takdir politik dan militer berbagai kerajaan di Lombok dan Bali, bahkan menjadi korban pengkhianatan, pertempuran melawan Kompeni Belanda, dan pembuangan ke dasar laut.
Inilah sebuah kisah yang bukan sekadar tentang musik, melainkan tentang bagaimana benda mati menjadi saksi bisu ambisi, janji yang dilanggar, hingga dendam leluhur yang tak kunjung padam.
** Gamelan Gong Sang Pendiri
Menurut penuturan lisan, I Gusti Ngurah Panji Sakti, raja pertama Buleleng, pernah memiliki satu set gamelan Gong yang terdiri dari bagian-bagian berikut:
a) Satu Trompong Pengarep dan Babarangan-nya, dinamai "Juruh Selukad", yang berarti Sungai Madu;
b) Sepasang gong besar, dinamai "Bentar Kedaton", yang berarti Istana Terbelah;
c) Satu bendé, dinamai "Gagak Ora", yang berarti Nyaring seperti Pekikan rombongan burung Gagak;
d) Satu kenuk, dinamai "Tundung Musuh", yang berarti Mengusir Musuh;
e) Banyak cengceng, dinamai "Glagah Ketunon", yang berarti: (Memberi bunyi seolah) Ladang Glagah yang Terbakar;
f) Sepasang kendang, dinamai "Geleb Kesanga", yang berarti: (Memberi bunyi sekuat) Guntur di Bulan Kesanga.
** Perpecahan Istana dan Pengaruh Karangasem
Menurut kronik silsilah keluarga I Gusti Ngurah Panji Sakti, keturunan ketiga, I Gusti Ngurah Gede Panji dari Puri Sukasada, memulai perang melawan adik tirinya, anak dari ibu yang berbeda, bernama I Gusti Ngurah Jilantik dari Puri Buleleng (Singaraja), karena keduanya saling membenci.
Akibat fitnah timbal balik dari para pengikut mereka, I Gusti Ngurah Gede Panji gugur dalam pertempuran di desa Beratan (Paberatan berarti medan perang). Ini terjadi karena lawannya, I Gusti Ngurah Jilantik, mendapatkan bantuan dari Raja Karangasem. Akibatnya, Raja Karangasem memiliki pengaruh atas urusan pemerintahan Buleleng. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari janji yang dibuat oleh I Gusti Ngurah Jilantik sebagai imbalan atas bantuan yang disepakati; Raja Karangasem selanjutnya akan menjadi rekan penguasa Buleleng.
Raja Karangasem kemudian menempatkan salah satu kerabatnya, bernama I Gusti Nyoman Karangasem, sebagai raja kedua di Buleleng, mendampingi I Gusti Ngurah Jilantik yang merupakan raja yang sebenarnya.
Ketika I Gusti Ngurah Jilantik meninggal dunia, I Gusti Nyoman Karangasem melanggar janjinya. Ia tidak memberikan bagian dalam kekuasaan tertinggi kepada putra I Gusti Ngurah Jilantik, yang bernama I Gusti Made Panji Muna, sebagai penerus ayahnya. Sebaliknya, ia hanya memberinya gelar dan martabat sebagai Patih (Perdana Menteri) dan menunjuk Puri Bangkang sebagai tempat tinggalnya, sementara ia sendiri menjadi penguasa tunggal atas Buleleng. Semua harta benda dari Puri besar (yaitu Puri Buleleng) kini menjadi miliknya. Di antara harta ini, termasuk pula gamelan Gong yang disebutkan di atas.
** Terpisahnya Pusaka
Lantas, apa alasan instrumen-instrumen yang menyusun gamelan pusaka tersebut tidak utuh dan terpisah-pisah seiring berjalannya waktu ?
Trompong pengarep dan babarangan-nya "Juruh Setukad", bendé "Gagak Ora", kenuk "Tundung Musuh", dan cengceng "Glagah Ketunon", semuanya berakhir di puri [Raja] Mengwi. Sementara itu, gong "Bentar Kedaton" berada di puri Raja Selaparang [Lombok]. Adapun kendang "Geleb Kesanga" telah hilang.
Ketika Raja Mengwi kalah dalam perang melawan Raja Badung (pada tahun 1891), trompong, babarangan, bendé, dan cengceng disita sebagai rampasan perang dan dibawa ke Badung. Ketika Badung kemudian menyerah kepada Kompeni Belanda (pada tahun 1906), upaya dilakukan untuk menemukan kembali instrumen-instrumen ini, tetapi tidak ada yang menunjukkannya—entah karena keengganan, atau memang mereka tidak tahu di mana benda-benda itu berada. Namun, di Puri Pamecutan [yang sangat dekat, dan rajanya juga berperang melawan Mengwi dan gugur bersama raja Badung melawan Kompeni] ditemukan sebuah Gong yang tidak diketahui asal-usulnya.
Kenuk "Tundung Musuh" pada saat itu tidak dapat dijadikan rampasan perang oleh pihak Badung karena benda tersebut dibawa kabur oleh keluarga kerajaan Mengwi saat melarikan diri. Menurut laporan, kenuk itu kini berada di Abiansemal di [bekas wilayah] Mengwi, di tangan I Gusti Gede Agung, putra tertua dari Raja Mengwi yang gugur dalam perang saat itu.
Mengenai gong-gong yang berada di Puri Selaparang di Lombok: ketika Keresidenan Selaparang diancam oleh Kompeni pada tahun 1894, atas perintah penguasa, gong-gong ini dibuang ke laut, bersamaan dengan jenazah I Gusti Made Karangasem, yang dihukum keris atas perintah ayahnya [Raja Selaparang] karena hubungan inses dengan seorang keponakan.
** Akhir dari Perselisihan
Beberapa keturunan I Gusti Ngurah Gede Panji, Raja Sukasada yang gugur di desa Beratan, di kemudian hari menetap di Puri Anyar Sukasada (Sukasada Baru), yang puri tersebut masih ada hingga kini. Sementara itu, keturunan I Gusti Ngurah Jilantik, yang memenangkan perang, menetap di puri-puri Kanginan (wilayah Singaraja), Bangkang, dan Tukadmungga, yang juga masih berdiri.
Meskipun upaya telah dilakukan untuk mempertemukan kedua garis keturunan bersaudara ini, para keturunan mereka masih terus hidup dalam ketidakrukunan. Kemungkinan besar, perselisihan tersebut masih berakar pada pertikaian leluhur mereka.
Epilog (Warisan Ketidakrukunan)
Kisah perjalanan Gamelan Gong pusaka Buleleng berakhir dengan kesimpulan yang menyedihkan dan ironis. Setelah berpindah tangan dari Buleleng ke Mengwi, jatuh ke Badung, dan berujung di Puri Selaparang di Lombok, nasib akhir pusaka ini mencerminkan nasib kerajaan-kerajaan Bali itu sendiri: porak poranda oleh perang saudara dan akhirnya takluk di tangan Kompeni Belanda. Dua Gong utama, "Bentar Kedaton", dibuang ke laut di Lombok atas perintah Raja Selaparang; sepasang Kendang menghilang; sementara fragmen lain diselamatkan oleh keturunan Mengwi di Abiansemal.
Lebih dari sekadar hilangnya harta benda, penuturan I Gusti Putu Jilantik ini meninggalkan warisan yang mendalam: hingga saat penulisan kronik, keturunan dari kedua pihak yang bertikai, I Gusti Ngurah Gede Panji dan I Gusti Ngurah Jilantik, masih hidup dalam ketidakrukunan. Hal ini menunjukkan bahwa pertikaian leluhur dua abad yang lalu telah mengakar dan menentukan hubungan sosial generasi selanjutnya.
Gamelan Gong Buleleng mungkin terpisah dan hilang, tetapi warisan pahit yang ditinggalkannya, sebuah perpecahan yang melampaui musik dan istana, terus bergema sebagai pengingat akan harga mahal dari ambisi dan perebutan kekuasaan di masa lalu.
(Ditulis oleh) **I Gusti Putu Jilantik.**
[Siapa pun yang mengenal Singaraja tahu betapa berpengaruhnya kedudukan I Gusti Putu Jilantik di sana. Karena ia adalah anggota Dewan Kerta (Dewan Kehakiman), penduduk setempat memanggilnya, tanpa embel-embel lain, Gusti "Lid" (Gusti "Anggota"). Ia adalah seorang yang sangat memahami tradisi Bali dan memiliki koleksi lontar yang banyak]
---
Source:
- Titel: De toonkunst van Bali
- Auteur: Kunst, Jaap Kunst-van Wely, C. J. A.
- Jaar van uitgave: 1924-1925
Penyunting/penulis: Marjafri - Jurnalis, pendiri dan ketua komunitas anak nagari Sawahlunto.