Harap Simak Penjelasan Prof Didik J. Rachbini soal Kebijakan dan Praktik Diskriminatif Tidak Adil PTN vs PTS
On Kamis, Desember 18, 2025
| Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, Ph.D., menyoroti secara keras praktik kebijakan pendidikan tinggi yang dinilai tidak adil dan diskriminatif antara Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). |
BENTENGSUMBAR.COM - Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, Ph.D., menyoroti secara keras praktik kebijakan pendidikan tinggi yang dinilai tidak adil dan diskriminatif antara Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Kritik ini disampaikan menyusul pernyataan Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek) Stella Christie terkait kuota penerimaan mahasiswa baru PTN.
Wamendiktisaintek sebelumnya menanggapi kritik publik mengenai membesarnya kuota mahasiswa baru PTN dengan menyatakan, “Yang kita pikirkan bukan kuota, tapi apa kita memberikan peluang yang paling banyak dan paling bagus untuk semua masyarakat Indonesia, mahasiswa kita untuk belajar.” Pernyataan tersebut disampaikan Stella Christie kepada wartawan usai acara 2025 International Symposium on ECD di Thamrin Nine, Jakarta Pusat, Rabu (17/12/2025).
Namun menurut Prof. Didik, jawaban tersebut menunjukkan ketidakpahaman terhadap realitas sosial, ekonomi, dan sistem pendidikan tinggi di lapangan. Ia menilai pernyataan itu normatif dan tidak menyentuh akar persoalan struktural yang dihadapi pendidikan tinggi nasional.
“Prof Stella guru besar yang pintar tetapi tidak paham situasi sosial ekonomi, sistem pendidikan di lapangan dan menjawab kritik dari publik asal bunyi,” tegas Prof. Didik.
Lebih jauh, Prof. Didik menyatakan bahwa PTN selama lebih dari setengah abad gagal menembus jajaran elite kampus Asia dan global. Ia menyebut PTN Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan universitas di negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, meskipun telah lama dibiayai oleh dana negara.
Menurutnya, kegagalan tersebut justru dibarengi dengan praktik kebijakan yang tidak adil. PTN tidak hanya menerima anggaran besar dari negara yang bersumber dari pajak rakyat—meliputi pembiayaan dosen, gedung, laboratorium, dan fasilitas—tetapi juga diberi kebebasan untuk menarik dana masyarakat dengan menerima mahasiswa sebanyak-banyaknya.
“Ini berdampak menyingkirkan peran masyarakat dalam pendidikan tinggi yang sudah terlibat hampir satu abad,” ujar Prof. Didik, seraya mencontohkan Universitas Islam Indonesia (UII) yang berdiri sebelum Indonesia merdeka dan Universitas Nasional (Unas) yang lahir pada 1948.
Ia menambahkan, dalam praktiknya masyarakat kini bahkan menanggung hingga 70 persen pembiayaan PTN. Kondisi ini membuat birokrasi PTN membesar, tidak efisien, dan terus mengeruk dana ganda—baik dari negara maupun masyarakat.
“Cara seperti ini merupakan praktik kebijakan yang tidak adil dan menciptakan persaingan potong leher (cutthroat competition) antara PTN dan PTS,” kata Prof. Didik.
Akibatnya, banyak PTS mengalami kemunduran hingga tutup, sementara peran organisasi masyarakat besar seperti NU, Muhammadiyah, serta berbagai yayasan pendidikan di daerah tergerus secara sistematis.
Sebagai solusi, Prof. Didik mengusulkan koreksi kebijakan fiskal pendidikan tinggi secara mendasar. Ia menyarankan agar anggaran negara untuk PTN dipotong 50 persen dan kemudian dibagikan secara proporsional kepada PTS.
“Dengan demikian persaingan menjadi adil. Keduanya bisa mendapat sumber dana dari negara secara proporsional dan dari masyarakat,” ujarnya.
Ia juga mengusulkan agar kebijakan ini diputuskan melalui APBN-Perubahan (APBN-P) pertengahan 2026.
Menurutnya, pemotongan tersebut relatif ringan bagi PTN yang saat ini sudah memperoleh 70–80 persen dana dari masyarakat, karena hanya akan berkurang sekitar 10–15 persen.
“Negara harus bersikap adil dengan mempraktikkan asas kesamaan hak dan kewajiban dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945,” tegas Prof. Didik.
Jika pembagian anggaran tidak dapat dilakukan, Prof. Didik mengusulkan alternatif berupa pembatasan penerimaan mahasiswa PTN berbasis skema keadilan sosial. PTN, kata dia, seharusnya fokus menerima mahasiswa dari kelompok kurang mampu yang sepenuhnya dibiayai negara, serta menerapkan skema cross subsidy.
Dalam skema tersebut, setiap penerimaan mahasiswa tidak mampu yang dibiayai negara harus diimbangi secara proporsional dengan penerimaan mahasiswa dari kelompok mampu yang membayar penuh.
“Asas proporsional ini membatasi penerimaan mahasiswa baru dari anggaran negara dan dari masyarakat golongan menengah atas,” jelasnya.
Prof. Didik menegaskan bahwa negara tidak boleh terus mempertahankan praktik diskriminatif yang menempatkan PTN seolah memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan PTS.
“PTS selama ini berperan mencerdaskan bangsa, berinvestasi sendiri, mandiri, tanpa dana negara. Tetapi dengan cara yang brutal PTN merusak peran PTS dan menyerap mahasiswa baru secara membabi buta,” pungkasnya. (*)
Laporan: Arief Tito