Ketika Negara Gagap Menambal Defisit Gula
On Kamis, November 20, 2025
![]() |
| Harga gula pasir di Sumatera Barat belakangan bertengger di kisaran Rp 18–19 ribu per kilogram — jauh di atas rentang harga acuan konsumsi yang ditetapkan pemerintah. |
OLEH: Muhibbullah Azfa Manik
Seorang pedagang di Padang, Sumatera Barat, berulang kali menghela napas panjang tiap menuliskan harga gula di buku kasnya. Gula, komoditas yang sehari-hari tampak sepele, mendadak menjelma beban yang terus bertambah bagi rumah tangga dan pedagang kecil. Kisah warung Siti di pinggir Jalan Khatib Sulaiman ini menjadi cermin dari kusutnya persoalan pergulaan nasional: antara harga yang merangkak naik, produksi yang belum cukup, impor yang tak bisa dihindari, dan kebijakan negara yang sering lahir terlambat.
Harga gula pasir di Sumatera Barat belakangan bertengger di kisaran Rp 18–19 ribu per kilogram — jauh di atas rentang harga acuan konsumsi yang ditetapkan pemerintah. Angka ini seolah mengonfirmasi betapa rapuhnya ketahanan pangan pada komoditas yang masuk daftar sembilan bahan pokok strategis tersebut.
Masalahnya tidak sederhana. Produksi tebu dalam negeri masih jauh dari memadai. Data terbaru Badan Pangan Nasional dan laporan industri menunjukkan bahwa sepanjang 2024, produksi gula konsumsi nasional hanya mencapai 2,46 juta ton, meski ada peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Produktivitas tebu—yang pada 2024 mencapai 33,22 juta ton dengan rendemen rata-rata 7,42%—masih belum cukup untuk mengejar kebutuhan nasional yang menembus 6,5 juta ton per tahun.
Dengan kata lain, lebih dari separuh kebutuhan gula Indonesia masih dipenuhi dari impor, sebuah kondisi yang sudah berulang dalam lima tahun terakhir. Kisaran Sugar Self-Sufficiency Ratio (SSR) Indonesia dalam periode 2019–2023 stabil di angka 28–35%, menandakan jarak yang besar antara produksi dan konsumsi.
Bagi pelaku usaha kecil, ini bukan sekadar statistik. Pak Arman, produsen kue tradisional di Lubuk Begalung—mewakili suara banyak UMKM—mengatakan bahwa kenaikan gula telah mengubah pola produksi: satu resep kue yang dulu menghasilkan laba kini hanya menyisakan ketidakpastian. “Kadang saya kecilkan porsi, kadang saya tunda produksi,” katanya. Gula, yang seharusnya manis, makin sering terasa pahit di pembukuan.
Rem dan Gas di Kebijakan Impor
Pemerintah mencoba meredam gejolak ini melalui kebijakan berlapis: operasi pasar, penugasan BUMN pangan, penetapan harga acuan, dan penyesuaian kuota impor. Namun, seperti pijakan di tanah berlumpur, setiap langkah sering memunculkan efek samping.
Menjelang hari besar keagamaan, PTPN Group dan ID FOOD rutin menurunkan gula ke pasar lewat operasi pasar nasional. Ini berguna untuk memotong puncak kenaikan harga, meski sifatnya sementara—ibarat meredam panas kompor tanpa pernah memeriksa dapurnya.
Sementara itu, kebijakan impor tetap menjadi pedang bermata dua. Di tengah defisit produksi, pemerintah harus membuka keran impor untuk menjaga ketersediaan. Pada 2025, pemerintah menargetkan masuknya 200.000 ton raw sugar untuk memperkuat Cadangan Pangan Pemerintah (CPP), yang pada awal 2025 tercatat hanya sekitar 34.000 ton menurut laporan Antara. Tanpa impor, cadangan nasional ini rawan menipis dan gagal menjalankan fungsi stabilisasi harga.
Namun impor bukan solusi final. Ia menimbulkan kecemasan: harga dunia yang melonjak, keberlanjutan pasokan dari negara produsen, serta kekhawatiran petani lokal tersingkir dari pasar. Keputusan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir untuk menyesuaikan atau menunda realisasi impor sering memicu kritik berseberangan: melindungi petani di satu sisi, tetapi mempersempit pasokan jangka pendek di sisi lain.
Rantai Distribusi Panjang dan Pabrik Gula yang Menua
Selain persoalan defisit produksi, persoalan mendasar ada pada rantai tata niaga. Jarak antara pabrik, distributor, dan pasar sering memanjang tanpa alasan yang jelas. Praktik penimbunan oleh sebagian pemain ketika harga naik masih muncul dari tahun ke tahun. Tak heran jika Harga Acuan Penjualan (HAP) di tingkat konsumen—yang menurut ketentuan 2024 berada di kisaran Rp 17.500–18.500/kg—tidak pernah benar-benar ditemui di rak-rak pasar tradisional.
Pada tingkat hulu, pabrik gula dalam negeri masih tertinggal. Berdasarkan evaluasi teknis 2017–2018, terdapat sekitar 48 pabrik gula BUMN, namun hanya 12 yang memiliki kapasitas giling di atas standar ekonomis 4.000 TCD. Beberapa pabrik memang direvitalisasi: PG Rendeng meningkatkan kapasitas dari 2.500 TCD menjadi 4.000 TCD (2017–2022), PG Tjoekir naik dari 3.800 menjadi 4.200 TCD (2014). Namun revitalisasi berjalan lambat dan berbiaya besar.
Rencana konsolidasi pabrik gula yang tidak efisien sempat dibahas di lingkungan BUMN. Namun kendalanya tidak kecil—mulai dari kendala lahan hingga investasi besar untuk membangun pabrik baru di luar Jawa. Maka tidak heran, tingkat efisiensi industri gula nasional—yang berada di kisaran 70–75%—masih jauh dari standar global yang mencapai 85%.
Stok Melimpah, Cadangan Tipis
Menariknya, meski produksi lokal defisit, stok gula di tingkat pabrik dan distributor sebenarnya cukup besar. Data APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia) menunjukkan bahwa pada akhir 2024, stok gula di pabrik mencapai 985.000 ton, sementara stok di distributor pada awal 2025 berada di angka 842.000 ton. Yang tipis justru stok pemerintah. Inilah yang membuat negara sering gagap ketika harus melakukan stabilisasi cepat saat harga naik.
Menjaga Kemanisan di Tengah Kepahitan
Rekomendasi perbaikan sudah disusun dalam berbagai dokumen resmi, termasuk Rencana Aksi Badan Pangan Nasional (Renaksi NFA) 2024: percepatan peremajaan tebu, pembangunan pabrik gula modern, pemangkasan rantai distribusi, serta penguatan cadangan gula nasional sebagai buffer stock. Tetapi implementasi kebijakan jangka panjang ini tak pernah mudah.
Kembali ke warung Siti. Ketika seorang nenek langganan mengernyit mendengar harga yang kembali naik, di situlah terlihat betapa renggangnya jarak antara kebijakan negeri dan kehidupan rakyat kecil. Gula yang menabur manis di secangkir teh, kini membawa cerita pahit tentang defisit kronis, impor yang tak terhindarkan, dan pabrik-pabrik tua yang belum tersentuh modernisasi.
Akhirnya, menjaga kemanisan bukan sekadar menstabilkan harga. Ia adalah soal menata ulang seluruh ekosistem gula—dari kebun, pabrik, distribusi, hingga cadangan nasional—agar negara tidak terus gagap menghadapi komoditas manis yang justru sering membuat rakyatnya mengernyit.
(***)






