Peran Politik Perempuan

PADA puncak perayaan 10 tahun Komnas Perempuan di auditorium gedung BPPT, Jakarta, Senin (30/11) lalu, Presiden RI DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono berjanji akan lebih memberdayakan peran perempuan dalam pemerintahan yang dipimpinnya. SBY menargetkan, 10 tahun mendatang kaum perempuan akan mendapatkan peluang lebih besar untuk ikut berkontribusi terhadap bangsa.

SBY juga mengatakan, ada tiga misi nasional terhadap perempuan yang akan diusung pemerintah. Pertama, meningkatkan perlindungan terhadap kaum perempuan dari kekerasan, ketidakadilan, dan pelanggaran HAM. Kedua, memajukan dan memberdayakan kaum perempuan sebagai human capital. Ketiga, pemerintah akan memberikan peluang kepada kaum perempuan untuk berperan. (Koran Tempo, (Jakarta), 1 Desember 2009, hal. A7).

Secara umum, dari masa ke masa, kaum perempuan Indonesia mulai mendapatkan perlakukan yang layak di arena publik, walau itu sangat perlahan sekali. Kaum perempuan sudah ada yang memegang jabatan penting di negeri ini, misalnya jabatan Menteri (pada KIB jilid II ada lima orang perempuan yang menjadi Menteri), Deputi Bank Indonesia, Dosen, Hakim, Kepala Daerah, Presiden (Megawati), Duta Besar, dan jabatan penting lainnya.

Namun, dibalik itu semua, masih saja ada anggapan, peran politik atau kegiatan kaum perempuan di kancah publik, bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya ketimuran. Anggapan itu muncul, karena banyaknya teks-teks pada kitab suci yang melarang perempuan melakukan aktivitas di luar rumah, apalagi kegiatan yang berbau politik. Kaum perempuan diharuskan berada di dalam rumah, mengasuh anak dan menjaga harta serta martabat suaminya.

Pada beberapa daerah di Indonesia, masih ada kaum pemangku adat yang berfikiran, kaum perempuan tak layak dilibatkan dalam pengambil keputusan atau menentukan kebijakan publik untuk kemaslahatan umat. Harus diakui dalam masyarakat masih ada ditemuai nilai-nilai sosial-budaya yang pada umumnya kurang mendukung upaya pemberdayaan perempuan.

Citra baku dari masyarakat terhadap perempuan masih didominasi pola-pola lama, sehingga pria cenderung memperoleh kesempatan yang lebih besar, sedangkan perempuan hanya dicadangkan pada urusan tradisional semata. Kendala inilah yang sedikit banyak menghambat peluang, kemampuan, dan kemandirian wanita untuk beraktualisasi diri.

Sebagai “lahan” yang relatif baru, aktivitas perempuan dalam dunia politik seringkali menimbulkan respon yang kurang mengenakkan, termasuk dari kalangan perempuan sendiri. Dalam beberapa kasus, upaya peningkatan karir perempuan seringkali justru terhambat oleh sikap perempuan sendiri yang kadang tidak memberi dukungan kepada kepemimpinan perempuan.

Sedikitnya jumlah politisi perempuan di lembaga legislatif disebabkan kaum perempuan lebih suka memilih kandidat laki-laki daripada kandidat perempuan. Disamping itu, banyak perempuan yang tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemilu. Dalam menentukan pilihan politik pun, kaum perempuan lebih tergantung kepada pandangan yang diberikan suaminya, tanpa melihat dengan jernih program yang akan diperjuangkan. Umumnya, kaum perempuan hanya berpartisipasi secara pasif dan ikut-ikutan dalam pelaksanaan pemilu.

Sebenarnya Perayaan 10 Tahun Komnas Perempuan tersebut dapat dijadikan momentum bagi kaum Hawa untuk bangkit dari ketertinggalan -kalau tidak boleh dikatakan keterpurukan- dari kaum laki-laki di segala bidang. Peluang sudah terbuka dengan lebar, karena anggapan kuno perempuan hanya sebagai hiasan dunia dan pelipur lara serta dahaga laki-laki, sudah mulai hilang dari benak masyarakat negeri ini. Apatah lagi, pemerintah sebagai pemegang kekusaan sudah mendorong kebangkitan kaum perempuan di segala bidang, sebagaimana disampaikan Presiden RI SBY di atas.

Bagi Bundo Kanduang (baca perempuan, red) di Sumatera Barat, kebangkitan kaum Hawa sudah dimulai sejak lama. Bundo Kanduang memiliki peran sentral dalam sistem kekerabatan Minangkabau. Di tangan Bundo Kandung lah tampuk kekuasaan dipegang. Kepemilikan harta pusaka terletak ditangannya, sedangkan kaum pria hanya punya hak untuk mengelolanya, tanpa ada hak untuk mewarisi, sehingga banyak diantara laki-laki Minangkabau lebih suka mencari sumber penghidupan dirantau. “Ka rantau madang daulu, di kampuang paguno balun.”

Dalam kancah politik, peran Bundo Kanduang sebagai pemegang kekuasaan di Ranah Minang sangat terasa sekali walau pun tampuk kekuasaan itu dipegang oleh suami atau anaknya. Kekuasaan mutlak Bundo Kandung di Minangkabau tak terelakkan lagi, karena dijamin oleh staat fudamental norm yang berlaku dalam sistem adat Minangkabau. Bundo Kandung pemegang kendali dari strata terendah sampai ke strata yang tertinggi di Alam Minangkabau. Perkataannya wajib di dengar, kalau tidak, tak akan berlaku keputusan yang akan dibuat.

Pada era modernitas ini, peran Bundo Kandung hanya dijadikan simbol, pelengkap penderita. Kekuasaan mutlaknya mewarisi harta pusaka, terkadang tergerus oleh keserakahan ninik mamak pemangku adat dan ninik mamak kepala waris. Peran mutlaknya seakan terlupakan, jika tak boleh dibilang ditiadakan. Lembaga Bundo Kanduang yang ada sekarang hanya sebatas simbolis, tanpa memiliki makna yang berarti.

Jarang terdengar Bundo Kandung memegang tampuk kekuasaan pada alam modern ini. Dari tujuh kota, sebelas kabupaten dan satu pemerintahan provinsi di Ranah Minang, tak satupun Walikota/Wakil Walikota, Bupati/Wakil Bupati, dan Gubernur/Wakil Gubernur yang dijabat oleh kaum perempuan.

Tak lama lagi, Ranah Minang akan baralek gadang, dua kursi Walikota/Wakil Walikota, yaitu di Kota Bukittinggi dan Kota Solok, sepuluh kursi Bupati/Wakil Bupati, yaitu Kabupaten Padang Pariaman, Pasaman Barat, Pasaman, Tanah Datar, Agam, Solok, Solok Selatan, Pesisir Selatan, Sijunjung, Dharmasraya, dan satu kursi Gubernur/Wakil Gubernur akan dilelang secara terbuka oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Pimilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2010.

Ada dua kursi Walikota dan dua kursi Wakil Walikota, sepuluh kursi Bupati dan sepuluh pula kursi Wakil Bupati, satu kursi Gubernur dan satu kursi Wakil Gubernur yang akan diperebutkan dalam arena Pilkada 2010. Total jumlahnya, dua puluh enam kursi jabatan politis yang akan dilelang. Apakah Anda, kaum Hawa, tidak ada yang berminat? Padahal, pemilih perempuan di daerah ini, suaranya sangat menentukan, melebihi jumlah pemilih kaum Adam.

Namun, amat disayangkan, dari balon yang muncul, baik untuk balon Walikota/Wakil Walikota, balon Bupati/Wakil Bupati dan balon Gubernur/Wakil Gubernur, kebanyakan diramaikan kaum laki-laki, dan tak terdengar ada balon yang muncul dari kalangan kaum Hawa. Kaum Hawa seakan mati gaya ketika berlaga dengan kaum Adam di ranah politik.

Apakah kaum Hawa tidak memiliki kemampuan untuk itu? Atau tidak ada minat kaum Hawa di daerah ini terjun ke dunia politik? Atau kaum Hawa minim pendanaan? Atau tidak ada satu pun kaum Hawa yang dilirik oleh partai politik? Atau kaum Hawa kembali ke khittahnya, hanya menghuni rumah, pergi shoping ke mall, menemani suami di tempat tidur, melahirkan anak calon pemimpin bangsa, menuntut ilmu sampai ke perguruan tinggi-bahkan sampai jenjang S3-tapi akhirnya balik ke kubangan jua, membina rumahtangga dengan lelaki yang telah dijodohkan orang tua atau ninik mamaknya?

Bukan-bukan begitu, kaum Hawa harus berani bersaing dengan kaum Adam, terjun ke dunia politik. Saatnya kaum perempuan membuktikan, ditangannya, Ranah Minang yang luluhlantak pasca gempa 30 September silam, dapat bangkit, bersinar cemerlang dan menggapai kejayaannya. Wallahu ‘Alam Bishahawab.

Ditulis Oleh :
Zamri Yahya, SHI
Aktivis GP. Ansor Kota Padang

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »