BERBICARA pemimpin yang baik dan ideal, tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh waktu dan proses yang panjang untuk mencetak pemimpin yang betul-betul memahami dan mengayomi masyarakat. Semenjak dari kandungan, seorang pemimpin yang baik itu sudah dicetak oleh orang tuanya. Dijaga, dirawat, dan kebutuhan calon pemimpin itu memang diperhatikan.
Pemahaman agama dan moral yang kuat, akan diberikan sedini mungkin kepadanya. pemimpin yang memiliki nilai agama dan moral yang kuat adalah ibarat padi yang berisi, semakin berisi semakin merunduk. Sebaliknya, pemimpin yang tanpa dibekali nilai agama dan moral, tentulah seperti padi hampa, tanpa ada isinya, dibuang ketika dipanen. Kelihatan bagus, tapi keropos.
Dalam sebuah hadisnya, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mencintai rakyatnya dan rakyatnya pun cinta kepada dia. Pemimpin yang jahat adalah yang dikutuk rakyatnya dan dia pun murka kepada rakyatnya.”
Kalau syarat-syarat itu dipenuhi, tentulah alamat pemimpin tersebut akan menjadi pemimpin yang baik dan dicintai rakyatnya. Bukan pemimpin yang dikutuk rakyat, karena sering menipu dan mengkorup uang rakyat. Sering menyebarkan berita bohong di tengah-tengah rakyat. Pagi jadi orang alim, malam menjadi orang lalim yang suka mengambil hak rakyat dan menzalimi kepentingan rakyat.
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang beretika dalam berpolitik. Bukan hanya sekedar pandai ngomong dan membuat perda etika, tetapi dalam pelaksanaanya malah sering tidak beretika. Bukan pemimpin yang dalam mencapai kekuasaan sering menggunakan cara-cara yang keji dan kotor, seperti memfitnah dan menjatuhkan orang lain.
Pemimpin yang suka berbohong dan menfitnah orang lain dalam mencapai kekuasaannya atau suka menghalalkan segala cara, tentulah pemimpin yang tidak baik. Pemimpin seperti ini adalah pemimpin zalim yang dikutuk rakyatnya dan mengutuk pula rakyatnya.
Orang mukmin diperintahkan Allah mengangkat pemimpin dari kalangannya sendiri, bukan orang Yahudi atau Nasrani. Pengertian Yahudi dan Nasrani disini bukan dalam artian sempit, tetapi adalah orang yang berperilaku seperti orang Yahudi dan Nasrani. Menfitnah, mencaci, suka membuka aib orang lain, melakukan pembohongan publik, mengkorupsi uang rakyat, dan menghalalkan segala cara dalam mencapai kekuasaan dan membela kepentingannya. Orang seperti ini bertingkah laku seperti orang Yahudi dan Nasrani, sebagaimana digambarkan dalam al Quran.
“Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.” (TQ.Surah Ali Imran Ayat 160).
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (TQ. Surah Al Hujarrat Ayat 11).
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (TQ. Surah Al Hujarrat Ayat 12).
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (TQ. Surah Al Hujarat Ayat 6).
Ditulis Oleh :
Zamri Yahya, SHI
Alumnus Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang
Pemahaman agama dan moral yang kuat, akan diberikan sedini mungkin kepadanya. pemimpin yang memiliki nilai agama dan moral yang kuat adalah ibarat padi yang berisi, semakin berisi semakin merunduk. Sebaliknya, pemimpin yang tanpa dibekali nilai agama dan moral, tentulah seperti padi hampa, tanpa ada isinya, dibuang ketika dipanen. Kelihatan bagus, tapi keropos.
Dalam sebuah hadisnya, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mencintai rakyatnya dan rakyatnya pun cinta kepada dia. Pemimpin yang jahat adalah yang dikutuk rakyatnya dan dia pun murka kepada rakyatnya.”
Ulama pernah memberikan kriteria tentang calon pemimpin yang baik. Pertama, harus berasal dari suku Qurays. Zaman sekarang, syarat ini sangat sulit dipenuhi, karena kalau syarat ini akan dipenuhi juga, tentu kita akan mengimpor pemimpin dari Arab sana. Kedua, memiliki pemahaman yang kuat tentang agama dan moral. Ketiga, al qudwah, artinya gagah berani dan kuat. Keempat, amanah, dapat dipercaya. Kelima, siddiq, berkata benar. Keenam, fathonah. Ketujuh, tablikh, menyampaikan. Dan masih banyak syarat lainnya.
Kalau syarat-syarat itu dipenuhi, tentulah alamat pemimpin tersebut akan menjadi pemimpin yang baik dan dicintai rakyatnya. Bukan pemimpin yang dikutuk rakyat, karena sering menipu dan mengkorup uang rakyat. Sering menyebarkan berita bohong di tengah-tengah rakyat. Pagi jadi orang alim, malam menjadi orang lalim yang suka mengambil hak rakyat dan menzalimi kepentingan rakyat.
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang beretika dalam berpolitik. Bukan hanya sekedar pandai ngomong dan membuat perda etika, tetapi dalam pelaksanaanya malah sering tidak beretika. Bukan pemimpin yang dalam mencapai kekuasaan sering menggunakan cara-cara yang keji dan kotor, seperti memfitnah dan menjatuhkan orang lain.
Pemimpin yang suka berbohong dan menfitnah orang lain dalam mencapai kekuasaannya atau suka menghalalkan segala cara, tentulah pemimpin yang tidak baik. Pemimpin seperti ini adalah pemimpin zalim yang dikutuk rakyatnya dan mengutuk pula rakyatnya.
Orang mukmin diperintahkan Allah mengangkat pemimpin dari kalangannya sendiri, bukan orang Yahudi atau Nasrani. Pengertian Yahudi dan Nasrani disini bukan dalam artian sempit, tetapi adalah orang yang berperilaku seperti orang Yahudi dan Nasrani. Menfitnah, mencaci, suka membuka aib orang lain, melakukan pembohongan publik, mengkorupsi uang rakyat, dan menghalalkan segala cara dalam mencapai kekuasaan dan membela kepentingannya. Orang seperti ini bertingkah laku seperti orang Yahudi dan Nasrani, sebagaimana digambarkan dalam al Quran.
“Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.” (TQ.Surah Ali Imran Ayat 160).
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (TQ. Surah Al Hujarrat Ayat 11).
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (TQ. Surah Al Hujarrat Ayat 12).
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (TQ. Surah Al Hujarat Ayat 6).
Ditulis Oleh :
Zamri Yahya, SHI
Alumnus Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »