Miris, Zaman Serba Digital Tapi Masih Banyak Orang Belum Bisa Menikmati Listrik

SETIAP tanggal 27 Oktober, kita merayakan Hari Listrik Nasional. Hari ini menjadi momentum kebangkitan sektor energi di Indonesia. Ironisnya, di zaman serba digital ini ternyata masih banyak masyarakat di wilayah pelosok Tanah Air yang belum bisa menikmati listrik.

Sebenarnya seiring berjalannya waktu, kapasitas pembangkit listrik di Indonesia juga terus bertambah. Menurut data Kementerian ESDM, per Juni 2020 saja kapasitas pembangkit di Indonesia mencapai sebesar 70.964 megawatt (MW).

Dari total tersebut, lebih dari setengahnya atau 63% berada di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Wilayah-wilayah ini memiliki kapasitas listrik yang mencapai 44,8 gigawatt (GW). Sedangkan daerah Sumatra menyusul dengan pembangkit listrik berkapasitas 14,7 GW.

Desa tanpa listrik

Di sisi lain, Kementerian ESDM juga melaporkan hingga 2018 bahwa masih ada sekitar 1,7% wilayah Indonesia yang belum teraliri listrik. Pada 2019, rasio elektrifikasi memang telah mencapai 98,8%, namun sisa 1,2% dari rasio elektrifikasi masih sulit diatasi.

Kementerian ESDM memaparkan sejumlah tantangan untuk merampungkan sisa dari 1,2% dari rasio elektrifikasi tersebut, yaitu layanan akses listrik berada di daerah yang sulit terjangkau dan minim infrastruktur. Apalagi, kemampuan masyarakat untuk membayar biaya sambung listrik masih rendah.

Lebih jauh, mereka juga pernah melakukan survei ketersediaan listrik di Provinsi Kalimantan Utara. Setidaknya masyarakat di 306 desa di sana belum menikmati aliran listrik.

Rasio elektrifikasi provinsi itu pun baru mencapai 68,94%. Kabupaten Nunukan merupakan daerah dengan rasio desa terlistriki paling rendah dengan angka 25,83% dan rasio elektrifikasi 58,34%.

Sementara itu, potensi energi mikrohidro di Indonesia bagian utara ini juga belum diinventarisasi dengan baik. Kesimpulan ini diperoleh dari hasil verifikasi dan survey titik potensi energi mikrohidro Tim Pengembangan dan Verifikasi Peta Potensi Energi Mikrohidro dengan Metode Curah Hujan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi di Kalimantan Utara.

Lima peneliti PPPTKEBTKE bersama Dinas Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Utara melakukan pengukuran menggunakan alat ukur water current meter di sungai Permandian Km16 di Tanjung Selor dan titik potensi mikrohidro di sekitar Tanjung Selor pada penghujung April 2017.

Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Utara sendiri baru melakukan pendataan potesi mikrohidro di Desa Long Lebusan (12 kW), Desa Data Baru (10 kW), Desa Long Sulit (6 kW), Desa Long Kebinu (7 kW), dan Desa Kalam Buku (belum selesai).

Akibatnya, tujuh kabupaten/kota tersebut masih sering mengalami pemadaman listrik, dan beberapa wilayah masih terisolir dari jangkauan listrik. Penyebabnya adalah pasokan bahan baku pembangkit yang kurang.

Selain itu, beberapa mesin pembangkit rusak serta jaringan distribusi tidak mampu menjangkau daerah pedalaman. Alhasil, kebutuhan listrik di beberapa wilayah belum terpenuhi, baik dari PLN maupun program bantuan pemerintah daerah.

Sejarah Hari Listrik Nasional

Hari Listrik Nasional (HLN) pertama kali ditetapkan pada 1954. Peringatan ini mengambil momentum nasionalisasi perusahaan-perusahaan di bidang listrik dan gas yang terjadi pada 1945. 

Pada akhir abad XIX, perusahaan Belanda memiliki pabrik gula dan juga pembangkit tenaga listrik untuk keperluan sendiri. Sedangkan listrik untuk konsumsi baru tersedia setelah sebuah perusahaan swasta milik Belanda bernama N V Nign yang memperluas sektor bisnisnya dari gas ke penyedia listrik umum.

Kemudian pada 1927, pemerintah Belanda mendirikan perusahaan listrik negara bernama s'Lands Waterkracht Bedriven (LWB). Perusahaan ini ditempatkan di PLTA Plengan, PLTA Lamajan, PLTA Bengkok Dago, PLTA Ubrug dan Kracak di Jawa Barat, PLTA Giringan di Madiun, PLTA Tes di Bengkulu, PLTA Tonsea lama di Sulawesi Utara, dan PLTU di Jakarta.

Seperti diketahui, masa penjajahan Belanda di Indonesia berakhir ketika mereka menyerah kepada Jepang di masa Perang Dunia II. Perusahaan listrik dan seluruh pekerjanya pun diambil alih oleh Jepang.

Baru kemudian ketika Jepang menyerah kepada pasukan Sekutu dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, para pemuda dan juga buruh listrik dan gas untuk mengambil alih perusahaan yang sebelumnya dikuasai oleh Jepang.

Setelah berhasil, mereka menghadap pimpinan KNI Pusat pada September 1945 untuk melaporkan hasil perjuangannya. 

Selanjutnya, mereka bersama-sama menghadap Presiden Soekarno, untuk menyerahkan perusahaan-perusahaan listrik dan gas kepada pemerintah Republik Indonesia. 

Presiden pun mengeluarkan Penetapan Pemerintah No. 1 Tahun 1945 tertanggal 27 Oktober 1945 yang berisi pembentukan Jawatan Listrik dan Gas di bawah Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga. (Rizka Septiana – Dosen LSPR Jakarta)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »