![]() |
Amsir Rustam, SE |
Alasan yang digunakan untuk memergerkan daerah pemekaran tersebut ke kabupaten induknya adalah ketidakmampuan daerah pemekeran dalam menggenjot atau menggali potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga lebih menggantungkan nasib dari pembiayaan pemerintah pusat. Disamping PAD kecil, kepala daerah yang memegang kekuasaan cenderung menjadi raja-raja kecil dan terindikasi melakukan korupsi dalam pelaksanaan pembangunan. Ironisnya, dalam pengangkatan pejabat, kepala daerah cenderung berprilaku KKN dan diskriminatif.
Tidak itu saja, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dipandang tidak mampu dalam merealisasikan target PAD, dan membelanjakan APBD dalam pelaksanaan pembangunan. Parahnya lagi, beberapa orang kepala SKPD malah terjerat kasus hukum, karena terlibat kasus dugaan korupsi. APBD terkuras, tetapi realisasi pembangunan tidak sesuai target yang telah ditetapkan. Meruyaknya dugaan korupsi dilingkungan Pemkab Mentawai tidak dapat dibantah lagi, jika dilihat Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI perwakilan Sumbar atas Laporan Keuangan Daerah (LKD) Pemkab. Kepulauan Mentawai Nomor: 92/S/XVIII.PDG/09/2008 tertanggal 28 September 2008.
Masalah-masalah material yang mempengaruhi kewajaran penyajian laporan keuangan Pemkab Kepulauan Mentawai diantaranya pencairan dana pada TA 2008 yang digunakan untuk membayar kegiatan TA 2007 sebesar Rp3.054.075.886,00 di Dinas Kesehatan dan Keluarga Berencana mengakibatkan penggunaan dana tidak terkendali dan berpeluang disalahgunakan. Surat Pertanggungjawaban (SPJ) TA 2007 pada beberapa SKPD Rp74.878.187.573,00 terlambat diterima dan Rp3.559.012.019,00 belum diverifikasi dan disahkan. Realisasi belanja daerah pada Dinas Kelautan dan Perikanan belum dipertanggungjawabkan Rp6.605.326.070,00 yang mengakibatkan realisasi belanja TA 2007 terindikasi disalahgunakan dan merugikan keuangan daerah.
Kelemahan dalam sistem pengendalian intern atas Laporan Keuangan Pemkab. Kepulauan Mentawai yang ditemukan BPK RI antara lain pembukuan dan pengelolaan kas tujuh SKPD dilakukan tidak mempedomani ketentuan, yaitu Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas), Badan Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah (BPKKD), Kantor Kecamatan Sipora, Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga, Dinas Sosial Kependudukan Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Sekretariat DPRD, Kantor Kecamatan Siberut Selatan, Dinas Kehutanan. Kondisi tersebut mengakibatkan laporan pertanggungjawaban para Bendahara Pengeluaran belum dapat diterima sebagai bukti pertanggungjawaban, sisa UYHD per 31 Desember 2007 tidak dapat diketahui secara tepat dan benar dan terbukanya peluang menggunakan dana kas daerah untuk kepentingan pribadi.
Selain itu, terdapat rekening tabungan atas nama pribadi Bendahara Pengeluaran yang digunakan sebagai penampung dana pencairan chek rekening giro Bendahara Pengeluaran pada Dinas Kesehatan. Pembukaan rekening ini merupakan inisiatif masing-masing SKPD dengan pertimbangan Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran sering tidak berada di tempat sehingga pada saat dibutuhkan dana, Bendahara Pengeluaran dapat mengambil dana yang berada di rekening QQ tersebut. Saat dikonfirmasi dengan Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah diketahui bahwa pembukaan rekening QQ tersebut tanpa izin dari BPKKD. Kondisi tersebut membuka peluang penyalahgunaan dana SP2D yang mengalir ke rekening tabungan baik dana pokok maupun bunga yang timbul dari penyimpanan dana tersebut.
Ironisnya, Badan Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah sebagai Bendahara Umum Daerah (BUD) dalam melaksanakan tugasnya belum mempedomani ketentuan yang berlaku. Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap BPKKD diketahui BUD dan Kuasa BUD dalam melaksanakan tugasnya belum menaati ketentuan yang berlaku. Surat perjanjian antara BUD dan Bank penyimpan uang daerah tidak dibuat. Rekening Kas Daerah belum ditetapkan dengan keputusan Kepala Daerah.
Peraturan Kepala Daerah tentang Batas Surat Permintaan Pembayaran Uang Persediaan (SPP-UP) dan Surat Permintaan Pembayaran Ganti Uang (SPP-GU) belum dibuat. Tidak Ada Perda tentang batasan jumlah rekening yang dapat dimiliki setiap SKPD. Akibatnya, Pemkab Kep. Mentawai belum memiliki kebijakan yang jelas tentang pengelolaan keuangan daerah. Bukti asli kepemilikan kekayaan daerah yang dikuasai oleh pihak yang tidak berwenang tidak terjamin keberadaannya, kondisi dan keselamatannya. Tata usaha/kelola investasi daerah tidak berada pada pihak yang berwenang. Tidak ada dasar hukum dan kriteria yang jelas hubungan antara BUD dan Bank Nagari Sumbar Cabang Pembantu Mentawai. Laporan dari bank berupa rekening koran Bank Nagari Sumatera Barat Cabang Pembantu Mentawai dan laporan B.IX tidak dapat dibandingkan dan dapat memberikan informasi yang salah tentang penerimaan dan pengeluaran dana. Terbukanya peluang penyalahgunaan atas uang yang disimpan di rekening pribadi. Tidak adanya dasar hukum yang kuat dalam menentukan batas jumlah pengajuan SPP-UP, SPP-GU dan SPP-TU.
Disamping itu, Beberapa SKPD belum melaksanakan pembukuan sesuai ketentuan yang berlaku. Pembukuan yang tidak tertib menimbulkan berbagai risiko, yaitu terdapat kelebihan setoran UYHD. Dinas Perhubungan Rp30.706.500,00, Sekretariat Daerah Rp5.950.500,00, Dinas Kelautan dan Perikanan Rp4.515.452,00. Kondisi tersebut mengakibatkan masing-masing Bendahara Pengeluaran SKPD tidak dapat membandingkan antara buku yang satu dengan yang lain, sehingga fungsi pengawasan tidak berjalan dengan baik. Laporan pertanggungjawaban Bendahara Pengeluaran tidak dapat diyakini kebenarannya.
Parahnya, SPM yang dinyatakan tidak lengkap di BUD tidak disertai surat penolakan penerbitan SP2D. Akibatnya, SKPD tidak mengetahui jumlah dan nilai SPM yang ditolak sehingga jumlah SP2D yang diterbitkan oleh BUD tidak sama dengan jumlah penerimaan pada Buku Kas Umum. Selain itu, terdapat dua kali pencairan SP2D untuk satu SPM sama sebesar Rp12,750 juta pada Kantor Pemberdayaan Masyarakat. Kondisi tersebut mengakibatkan Buku Kas Umum Bendahara Pengeluaran belum menggambarkan kondisi yang senyatanya. Berpeluang terjadinya penhalahgunaan keuangan daerah.
Biaya perjalanan dinas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Rp646,938 juta belum didukung bukti yang lengkap, sehingga belum dapat dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban belanja perjalanan dinas pada Lima SKPD Rp7.136.483.810,00 dilaksanakan tanpa pertangungjawaban semestinya. Akibatnya pengeluaran tersebut belum dapat dipertanggungjawabkan dan berindikasi merugikan keuangan daerah.
Realisasi belanja daerah pada Dinas Kelautan dan Perikanan belum dipertanggungjawabkan Rp6.605.326.070,00 dan terindikasi disalahgunakan dan merugikan keuangan daerah.
Pengeluaran belanja bantuan sosial organisasi kemasyarakatan Rp185,5 juta tidak sesuai ketentuan. Akibatnya, pengeluaran tersebut belum dapat dipertanggungjawabkan dan dapat disalahgunakan. Pengeluaran belanja bantuan partai politik Rp400 juta belum dipertanggungjawabkan dan belanja tidak terduga Rp337 juta belum didukung dengan bukti yang lengkap. Kondisi tersebut mengakibatkan pengeluaran Rp737 juta yang terdiri dari bantuan keuangan kepada Parpol sebesar Rp400 juta dan belanja tidak terduga Rp337 juta berpotensi disalahgunakan dan tidak mencapai sasaran yang direncanakan.
Menanggapi LHP BPK RI atas LKD Pemkab Kep. Mentawai tersebut, Sekretaris Umum LSM IACS Sumbar Amsir Rustam, SE, Senin (4/1) mengatakan, berpijak dari temuan BPK RI Perwakilan Sumbar tersebut, sudah seharusnya Kejaksaan Tinggi Sumbar membentuk tim penyidik untuk mengusut setiap penyimpangan keuangan daerah dan Negara yang terjadi di lingkungan Pemkab Kep. Mentawai.
“Kita meminta Kejaksaan untuk turun tangan. Dengan adanya temuan BPK RI ini, tentunya akan mempermudah Kejaksaan untuk mengungkap kasus dugaan korupsi yang terjadi di bumi Sikere tersebut,” ujarnya. (BY)
Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »
Next Post »