Demokrasi Indonesia Dibajak Gerakan Fundamentalisme Agama dan Ideologi Fundamentalisme Pasar

Demokrasi Indonesia Dibajak Gerakan Fundamentalisme Agama dan Ideologi Fundamentalisme Pasar
BENTENGSUMBAR.COM - Tahun 2016 diwarnai narasi penonjolan politik identitas yang rentan menggerogoti sendi-sendi konsensus nasional berdasarkan Pancasila sebagai kalimatun sawa’. Perhelatan politik Pilkada DKI dan konflik Timur Tengah dieksploitasi sebagai bahan bakar untuk menyulut benih-benih perpecahan antarelemen bangsa. 

"Media sosial tidak menjelma sebagai arena pertarungan opini yang konstruktif, tetapi justru malah menjadi panggung provokasi fitnah dan kebencian. Polarisasi tersebut melibatkan penggunaan sentimen SARA untuk tujuan politik yang sesungguhnya berbahaya bagi kelangsungan sendi-sendi konsensus nasional," kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dalam refleksi akhir tahun di Gedung PBNU, Jakarta, Jumat, 30 Desember 2016.

PBNU mengingatkan semua pihak untuk kembali kepada jati diri bangsa yang mengakui kemajemukan, dalam wadah perjanjian yang diikat dengan semangat Bhineka Tunggal Ika. Perbedaan adalah tambahan energi untuk melipatgandakan kekuatan, bukan benih untuk menumbuhkembangkan perpecahan.

PBNU mengingatkan bahwa demokrasi yang tengah dikonsolidasikan sebagai sistem untuk mengalokasikan kesejahteraan publik berpotensi dibajak oleh gerakan fundamentalisme agama dan ideologi fundamentalisme pasar. Kebebasan telah memberikan panggung kepada kelompok radikal mengekspresikan pikiran dan gerakannya yang berpotensi menggerogoti NKRI melalui isu SARA, provokasi permusuhan, dan terorisme.

Dunia maya berkembang pesat sedemikian rupa menjadi panggung penyebaran kabar-kabar bohong dan berita-berita palsu untuk mengadu domba antarelemen bangsa dan mengobarkan permusuhan antargolongan.

PBNU melihat pemerintah gagap membangun counter-narrative sehingga radikalisme dapat tumbuh subur di dunia maya. Moderatisme dan toleransi digempur setiap hari oleh tayangan dan konten radikal yang begitu mudah disebar dan viral di media sosial.

PBNU mengimbau kepada netizen untuk bijak dan arif dalam menggunakan media sosial sebagai arena berbagi ilmu dan kebaikan, bukan wahana penyebaran fitnah dan kontes permusuhan. Gerakan digital literacy (melek digital) perlu digalakkan, termasuk melalui instrumen pendidikan formal, agar dunia maya berfungsi konstruktif sebagai agen kohesi sosial.

Di sisi lain, fundamentalisme pasar telah ‘memperalat’ demokrasi sebagai sistem yang melayani kepentingan modal. Demokrasi berubah menjadi demokrasi pasar yang menempatkan modal sebagai tuan, bukan rakyat yang datang ke bilik suara dalam pemilu. Rakyat memang telah memilih pemimpin dan wakil-wakil mereka secara langsung, tetapi episentrum kebijakan masih berpusat di tangan pemilik kapital. 

Regulasi dibuat tidak sepenuhnya mengabdi kepada kepentingan rakyat, tetapi kepada pemilik modal. Rakyat tetap di pinggir dan tak berdaya di tengah sumber daya alam yang habis terkikis. Hutan-hutan gundul, flora-fauna rusak, air tercemar limbah, dan suhu bumi naik karena pemanasan global.

Fundamentalisme pasar menyisakan ketimpangan sosial. Ketimpangan langgeng di dalam sistem pasar bebas yang membiarkan konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang yang menguasai aset-aset ekonomi dan alat-alat produksi. Di semua negara, radikalisme tumbuh bersemi di tempat yang gagal mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan juga ketimpangan. (bs)

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »