Catatan Joko Yuliyanto: Lika-Liku Kentut

Catatan Joko Yuliyanto: Lika-Liku Kentut
DI pagi buta, mobil berkapasitas 15 orang itu mejeng di depan ruko. Dari persimpangan jalan, aku lihat teman-teman kantor sedang nyaman ngobrol seputar tempat wisata. Minggu ini, kami berencana menghabiskan akhir pekan dengan liburan ke Pacitan, Jawa Timur.


Pantai Srau dan Klayar adalah primadona bagi buruh-buruh pabrik seperti kami. Selain pemandangannya enak di mata, jarak dari rumah ke pantai juga tidak terlampau jauh alias ngirit biaya. Kami pun mufakat untuk menggunakan mobil tanggung untuk mengangkut ke Pacitan.


Selintas perjalanan, beberapa teman sibuk memainkan gadgetnya. Aku menyandarkan kepala di kaca jendela mobil, melihat lalu lalang kendaraan di jalan raya. Adaptasi berkumpul dalam satu mobil yang lumayan berdesakan membuat suasana tidak semanarik ketika di ruangan kantor atau di cafe pas buka bersama.


Sampai kemudian ada yang nyletuk, “Siapa yang kentut?” diikuti dengan arah gerakan tangan menutup mulut dan hidungnya. Serasa membangkitkan gairah untuk meramaikan suasana di dalam mobil, semua orang refleks menutup mulut dan hidungnya masing-masing.


Tidak ada pelaku, karena belum ada yang mengaku. Selanjutnya adalah sikap saling menuduh satu sama lain. “Baunya sih, arahnya dari depan.” ujar penghuni jok belakang. Sedangkan penghuni jok depan mengelak, “Enggak. Baunya dari samping kiri.” Aku masih diam menyandarkan kepala di kaca jendela mobil dengan menutup hidung. Merenung, “Masak kentut bisa dideteksi dari arahnya? Emang kelihatan?”


Saking baunya dan tak kunjung ditemukan tersangka kentut ilegal tersebut, pak sopir menghentikan mobil di pom bensin. Segera semuanya membuka fentilasi udara di dalam mobil. Bahkan ada yang muntah karena menyengatkan bau yang bersumber dari dubur salah seorang tersebut.


15 menit kemudian kami melanjutkan perjalanan dengan tetap mencari tahu pelaku kentut yang sudah memakan banyak korban. Bahkan sekonyong-konyong ada yang menyumpah bagi yang tidak mengaku pantatnya akan dobolen. Entah itu istilah dari mana, dobolen merupakan sumpah serapah yang memasyarakat di Jawa untuk dijadikan momok pelaku kentut. Meskipun setelah disurvei, banyak yang tidak paham apa itu dobolen.


***


“Yang jelas bukan aku”


Pulang dari liburan sehari di Pacitan. Aku dan temanku satunya mampir di rumah menunggu jemputan. Cerita kebahagiaan berwisata seolah lenyap digantikan dengan gibah pelaku kentut pagi tadi. “Menurutku sih pelakunya Mawar, toh dari raut mukanya terlihat seperti orang yang mau menahan eek!” 


“Kok kalau aku sebaliknya ya?! Menurutku yang kentut itu mas Anto.”


“Lha bukannya dia yang pertama kali menuduh kentut berasal dari depan? Dari nada bicaranya sih, sepertinya dia bukan pelakunya”


“Justru yang paling pertama itu. Dia berusaha menyembunyikan rasa malunya dengan menuduh orang lain. Logikanya, kalau dia yang pertama mengetahui bau kentut, berarti kentut itu berasal dari dia dong?!”


Lama perbincangan kami, akhirnya jemputan datang. Ia berpamitan meninggalkan teka-teki siapa pelaku kentut yang sesungguhnya. Sedemikian rapat untuk tidak mengakuinya meskipun disumpah aneh-aneh oleh seluruh penumpang mobil. Rela pantatnya rusak berantakan daripada menanggung malu karena bau kentutnya yang sungguh membuat mata pedas.


Aku masuk rumah dan mandi. Setelahnya rebahan di depan TV. Aku kentut berulang kali. Katanya semakin jahr suara kentut baunya lebih soft daripada suara kentut yang sirr. Mendesis tapi bikin menangis. Sedangkan analisis secara medis tergantung yang dikonsumsi. Kalau makannya singkong, ketela, telur busuk ya kentutnya akan menyengat. 


Aroma kentut sendiri juga terasa lebih akrab di indera penciuman kita. Tidak kaget. Kebebasan berkentut ria saat sendiri adalah kebiasaan yang tidak semencekam ketika berada di dalam mobil. Kentut bukan sedekah yang ketika dibagi bakal membuat bahagia penerima. Kentut adalah instrumen biologis manusia yang ketika dibuang melegakan bagi si pemilik dan menyengsarakan bagi si penerima.


***


Menyangga kepala dengan tangan kanan, aku bersila memperhatikan khotbah salat Jumat dengan setengah sadar. Selain lama, nada bicara khatib juga mendayu-dayu mengajak jamaah lainnya untuk tidur berjamaah.


Aku mencoba menyegarkan pandangan mata agar lebih fokus memperhatikan isi ceramah. “Jadi kita harus bersyukur, karena Allah telah menyembunyikan aib kita. Bayangkan jika seluruh aib kita dibukakan oleh Allah......” Khatib menjelaskan dengan disertai dalil-dalil untuk melegitimasi kelayakannya berdiri di mimbar khotbah Jumat.


Seketika pikiranku melayang untuk mengorelasikan antara aib dan kentut. Ketika sendiri, kita sering berperilaku tanpa malu karena merasa aib kita sedang tidak diketahui banyak orang. Namun ketika di tengah masyarakat, kita berusaha menyembunyikan erat aib agar tetap terlihat sebagai manusia yang sempurna.


Ketika aib kita terbongkar, maka akan dengan cepat tersebar disertai gunjingan, gibah, dan sumpah serapah. Demikian yang menjadikan orang-orang mempunyai etos untuk menyembunyikan aib, sekalipun disumpah celaka. Aib adalah sesuatu yang pasti dimiliki manusia. Intensitas banyak dan sedikit tergantung seberapa sering aib kita terbongkar di depan publik.


Kadang aib menjadi hal biasa untuk dipamerkan kepada sahabat karib. “Ya beginilah aku, apa adanya.” Tapi menjadi tabu ketika terlihat oleh mereka yang baru dikenal atau masyarakat luas yang bisa mengubah persepsi tentang karakter seseorang. Kentut adalah fenomena naluriah manusia yang menyiratkan pesan tentang seberapa penting aib kita tertutupi.


“Aib orang lain baunya jauh lebih menyengat dari pada aib diri sendiri”, tutup khatib Jumat saat itu. 


“Mungkin kentut kita lebih bau dari yang lain, tapi mem-bully kentut orang lain punya cita rasa dan kepuasan tersendiri.”


*Penulis adalah Joko Yuliyanto, Penggagas Komunitas Seniman NU. Penulis buku dan naskah drama. Aktif menulis opini di media daring dan luring. 

Silakan baca konten menarik lainnya dari BentengSumbar.com di Google News
BERITA SEBELUMNYA
« Prev Post
BERITA BERIKUTNYA
Next Post »